Yang Berumah Bambu

975 kali dibaca

“Ah, sialan…” gumam Indu dengan sisa permen karet disudut bibirnya.

Begitulah Indu mengingat masa usia tanggungnya dulu. Saat itu ia salah memilih bambu di tepi kali yang bukat. Mereka adalah empat bocah yang ditemani sebentuk golok yang seakan-akan seperti hendak menetak apa saja yang ada di hadapannya. Mereka menuju ke sebuah rumah kosong terbengkalai yang mereka anggap taman bermain. Dengan kaki telanjang dan disambut senyum kecil mentari, Indu lantas mengagah-gagahkan diri selagi golok berada di genggamannya, bagaikan Jalal di kisah Jodha Akbar.

Advertisements

“Apa target kita hari ini?” tanya Enes dengan gaya yang biasa saja.

Indu otomatis menoleh ke temannya yang lain. “Bagaimana kalau kita mencari bambu?”

“Mau kita apakan bambu itu?” sahut Enes cepat sekali.

“Kita bakar nasi di dalam bambu, tampaknya enak,” potong seorang anak yang lain.

Mereka pun setuju dengan rencana Indu untuk berburu bambu. Indu dan teman-temannya pun menuju ke warung kecil Mbok Minah untuk membeli sebungkus nasi yang dibalut daun pisang sedikit menguning. Warung kecil yang tak terlalu jauh dari tepi kali yang merupakan habitat dari segudang bambu.

“Mbok… simbok… tumbas,” kata Enes dengan suara keras.

“Sekejap le,” sahut Mbok Minah dengan nada suara yang sudah melemah.

Mengenakan ciput warna hijau kesukaannya yang melingkupi rambut berwarna putih dengan tubuh yang setengah membungkuk, Mbok Minah menghampiri Enes dengan sebuah pertanyaan.

“Mau beli apa?”

“Beli nasi sebungkus Mbokkk.”

“Mau buat apa? Kalian berempat, kok cuma beli nasi sebungkus?” tanya Mbok Minah sembari membuka ceting yang ia tutup dengan daun pisang.

Enes tampak merasa bingung menjawab pertanyaan Mbok Minah sembari memutar badan sambil mengusap-usap kening.

“Anu… mbok, di-disuruh ibuk…,” alasan Enes dengan tergagap-gagap.

“Oh, ya sudah, ini ambil saja tidak usah bayar, salam buat ibuk ya.”

“Baik Mbok, terima kasih banyak.”

Enes lantas menghampiri teman-temannya dengan perasaan bersalah karena telah berbohong kepada Mbok Minah.

Keempat bocah itu lantas melangkah menuju ke tepi kali dengan perasaan senang bukan kepalang. Segala peralatan berburu bambu sudah siap di tangan. Selepas berlanglang selama lima menit, terdengar suara tarian jejeran bambu yang gemulai seakan-akan menyambut datangnya keempat bocah itu.

Sesampainya mereka dihadapan bambu yang sangat padat, pandangan Indu langsung tertuju ke sebuah bambu yang sudah sangat tua, yang posisinya berada di paling ujung tepi kali. Tanpa berpikir lama, anak-anak itu langsung menghampiri bambu yang seakan-akan memanggil-manggil.

“Sudah, kalian jangan dekat-dekat. Kejatuhan bambu pasti susah bangkitnya,” ucap Indu disusul tawa lebar. Indu bergegas mengambil golok di balik baju bola kebanggaannya. Dan, sekali tebas, crakkk! Bambu itu terbelah dua.

“Tenagamu kuat sekali Indu,” komentar Enes.

“Gimana gak kuat, dia udah gak sabar melahap nasi bakar,” potong seorang anak yang disusul tawa yang lain.

“Ta-tapi, kenapa air bambu ini keluarnya warna merah layaknya darah?” sahut Indu dengan nada gemetar.

Air berwarna merah itu terus mengucur dengan deras bagaikan darah segar yang keluar dari kulit yang disobek atau leher yang digorok. Warnanya kental kemerahan dan bebau amis yang menyengat sangat. Bukan seperti air dari dalam bambu seperti biasanya, melainkan lebih seperti darah. Badan Indu gemetar sangat kencang. Wajahnya pucat karena cemas, dan pandangannya mulai kabur. Kicau burung seketika sorak sorai tak ada habisnya.

Cahaya putih secara kilat tiba-tiba menghantam badan Indu. Hantaman itu begitu keras layaknya seperti hantaman penuh kemurkaan. Indu pun langsung tergeletak tak sadarkan diri.

Melihat kejadian itu, Enes langsung bergegas lari meminta ke arah warung Mbok Minah untuk meminta pertolongan. Enes ditemani dua bocah lainnya.

“Mbok, Mbok… Indu…,” ucap Enes dengan terbata-bata dengan tubuh menggigil.

“Kenapa? Kenapa Indu?”

“Indu tak sadarkan diri Mbok, di tepi kali.”

“Aduh Gusti…,” jawab Mbok Minah dengan perasaan cemas.

Mbok Minah lantas berlari begitu kencang hingga melupakan pembeli di warungnya. Sepasang kaki yang beralaskan bakiak kuno seperti memberikan tenaga lebih kepada tulang kakinya yang sepuh. Tak lama, Mbok Minah yang dikuntit tiga bocah dengan perasaan takut, tiba di tepi kali dengan suasana yang gamang. Indu dengan tatapannya yang tajam, seketika ia berteriak. Lalu menjatuhkan golok dan memegang jemarinya dengan sangat gemulai layaknya perempuan berparas cantik. Cahaya putih tadi tampaknya bukan hanya menghantam Indu, namun juga merasukinya.

“Mengapa rumahku kalian rusak?” ucap Indu yang berubah suaranya menjadi suara perempuan.

Mendengar suara itu, Mbok Minah tersentak sembari berkata, “Dia kembali!”

Mbok Minah lantas mengeluarkan secarik kertas putih kuno bertuliskan lafaz Arab gundul dari saku kebaya berbahan tipis dengan corak bunga-bunga yang biasa ia kenakan. Mbok Minah membaca lafaz itu dengan bibir yang hampir tak terbuka, suaranya pun begitu lirih layaknya pendosa yang sedang berdoa.

Mereka pun bergelut. Enes dan dua bocah lainnya disuguhi tontonan pergelutan batin yang ketat. Burung-burung serentak bergerombol beterbangan di udara, seakan-akan mengintimidasi siapa pun yang melihatnya.

“Pergi! Carilah bambu-bambu lain yang kau anggap rumah ke tempat lain! Atau kau akan kubuat sakit yang sangat amat perih,” teriak Mbok Minah.

Indu pun berteriak dan memberontak sejadi-jadinya. Disusul suara tangis yang mulai mengaung dengan keras seperti menusuk indera pendengaran bagi yang mendengarnya. Lalu terlihat cahaya putih keluar dan berlarian tak karuan dari tubuh Indu. Bocah-bocah itu merasa ngeri seperti mengalami mimpi. Indu lagi-lagi tergeletak, tubuhnya yang kecil tak kuasa menerima kekuatan energi yang sangat dahsyat dari cahaya yang merasukinya.

Tak lama lantas Indu pun tersadar. Tak ada lagi sisa-sisa teriakan dan erangan seperti tadi. Hanya saja bahunya yang masih gemetar.

“Siapa tadi yang masuk ke ragaku Mbok?” tanya Indu. Seorang bocah yang tak tahu seperti apa yang sebenarnya terjadi.

“Tidak, bukan siapa-siapa, le,” ucap Mbok Minah seraya membetulkan ciputnya yang sedikit miring.

“Kenapa Mbok Minah jadi irit sekali berbicara,” potong seorang anak sambil berbisik.

“Entah, Mbok Minah terlihat lelah sekali,” jawab Enes.

“Sudah, lain kali kalau datang ke tempat yang baru, kita harus sopan dan jangan berbuat sembarangan ya le. Cepat kemasi barang kalian! Lihat, awan sudah lindap, nanti keburu turun hujan,” ucap Mbok Minah dengan sehelai rambut putihnya yang keluar dari ciput diterpa angin.

Mbok Minah dengan empat bocah itu lantas berjalan beriringan berbalik pulang. Bibir Mbok Minah terangkat dengan senyum tipis, lega karena pertarungan telah berakhir dan tidak ada sesuatu yang buruk terjadi.

Kejadian itu mustahil terabai dari ingatan Indu. “Bah… setiap kali melihat bambu, kejadian tak menyenangkan itu pasti teringat. Tapi tak apa, setidaknya tubuhku pernah satu tubuh dengan wanita cantik.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan