Wisata (Kok) Halal…

849 kali dibaca

Sebenarnya sudah cukup lama saya agak risau dengan segala sesuatu yang di-branding dengan label “halal”, seperti wisata halal. Sudah cukup lama juga saya mencari-cari referensi apa sebenarnya yang dirujuk oleh istilah wisata halal ini.

Apakah dengan menerapkan syariat Islam di kawasan wisata sehingga tempat wisatanya disebut wisata halal? Jika begitu, untuk wisatawan golongan mana tempat wisata itu dibuat? Apakah, karena seekor anjing najis menurut syariat, maka ia tak boleh berada di suatu tempat yang dijadikan destinasi wisata halal dan karena itu harus disiksa atau dibunuh? Apakah anjing yang najis itu akan mengotori label “halal”  tempat wisata itu?

Advertisements

(Bandingkan dengan seekor anjing yang terpotret sedang berjalan-jalan santai di Masjidil Haram; apakah menodai kesucian masjidnya? Bandingkan juga dengan hadis sahih tentang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi minum anjing yang kehausan; apakah menodai kesahihan hadis Nabi?)

Baru belakangan, saya agak ngeh terhadap apa yang dimaksud dengan wisata halal itu. Merespons meruyaknya kasus penyiksaan seekor anjing sampai mati yang berada di tempat wisata di Aceh Singkil baru-baru ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menegaskan bahwa wisata halal bukan berarti mensyariatkan tempat wisata atau memberlakukan syariat di tempat wisata. Namun, sebatas menyiapkan fasilitas kenyamanan bagi wisata muslim.

Rupanya, Sandiaga sendiri terkesan galau dengan tren branding “wisata halal” beberapa tahun belakangan. Sejumlah daerah berlomba-lomba membuat wisata halal. Tentu, dengan branding wisata halal, orang akan berasosiasi dengan kelompok agama tertentu, katakanlah penerapan syariat Islam di destinasi wisata halal itu. Inilah yang kemudian “dikoreksi” Sandiaga.

Rupanya, yang dimaksud dengan wisata halal sebatas membuat destinasi wisata yang friendly atau ramah terhadap wisatawan muslim. Misalnya, tersedia pilihan makanan halal dan tempat ibadah yang representatif. Tersedia hotel yang baik dan tertib, yang biasanya juga di-branding dengan “hotel syariah” —bukan penginapan mesum.

Tapi, kalau persoalannya cuma itu, kenapa harus diberi label “wisata halal”? Sebab, di Indonesia, yang nota bene mayoritas populasinya muslim, di tempat-tempat wisata hampir seluruh penjuru negeri, rasanya kita tak akan pernah kesulitan untuk menemukan makanan halal. Justru yang aneh kalau kita kesulitan menemukannya. Juga nyaris tak ada destinasi wisata yang tak dilengkapi dengan tempat ibadah. Berwisata ke Bali sekalipun, yang mayoritas penduduknya Hindu, kita tak pernah kesulitan menemukan makanan halal dan tempat ibadah.

Destinasi wisata publik adalah area publik, yang mau tak mau juga harus diatur dengan hukum publik. Dan jika hukum publik itu tegak sebagaimana mestinya, dengan sendirinya, semua yang ada dan terjadi pada destinasi wisata sesungguhnya perkara halal belaka tanpa perlu diberi embel-embel atau branding “wisata halal”.

Bagaimana kita membaca tren pem-branding-an segala hal dengan idiom-idiom keagamaan tertentu, seperti “halal”, “syariah”, atau “islami”?

Mungkin saja itu sekadar “kegenitan religius” untuk gagah-gagahan biar terkesan agamais. Mungkin saja itu dimaksudkan sebagai bagian dari syiar. Mungkin saja itu dimuati motif ekonomis agar dengan branding “wisata halal” semakin banyak wisatawan muslim berwisata sehingga memberikan keuntungan bagi pengelolanya. Mungkin saja itu motifnya memang ingin menegakkan syariat di tempat-tempat wisata —yang justru dirisaukan Sandiaga Uno tadi.

Tapi bisa juga kita membacanya sebagai hal serius jika meneropongnya dengan teori-teori sosial. Tren pem-branding-an “wisata halal” itu tampak sebagai fenomena dari pucuk gunung es. Misalnya, ada ekonomi syariah dan bank syariah yang diafirmasi memang memiliki potensi kekuatan ekonomi sangat besar. Ada pula hotel-hotel syariah, salon kecantikan syariah, bahkan panti pijat syariah. Entah di berbagai daerah, tapi di kota-kota besar seperti di wilayah Jabodetabek sudah banyak bermunculan permukiman-permukiman baru yang ekseklusif khusus untuk kaum muslim. Anda yang nonmuslim tidak mungkin bisa bermukim di situ. Sebab, ketika Anda akan membeli rumah di sana, pertanyaan pertama yang diajukan adalah “apa agama Anda”, bukan dengan cara bagaimana Anda akan membayar.

Jika kita mengamati fenomena puncak gunung es tersebut, bukan tidak mungkin hal itu justru akan menggiring sebagian umat Islam menjadi kelompok-kelompok ekseklusif atau masyarakat tertutup karena memutus relasi dengan masyarakat nonmuslim.

Bayangkanlah jika fenomena puncak gunung es tersebut benar adanya: tempat wisatanya khusus muslim; hotelnya khusus muslim; permukimannya khusus muslim. Maka, dalam masyarakat yang seharusnya sudah lintas batas ini, justru akan terbentuk semacam ghetto-ghetto atau enclave-enclave baru, tempat kelompok-kelompok masyarakat muslim “menyurukkan diri” menjadi masyarakat tertutup. Dan itu sesungguhnya tidak berkesesuaian dengan sifat Islam yang sejak mula dideklarasikan sebagai agama universal, agama terbuka. Sejak kapan pergaulan sosial, yang merupakah masalah muamalah, dibatasi oleh sekat-sekat agama.

Maka, di balik maraknya branding dengan idiom-idiom agama yang terlihat keren itu, terbersit kekhawatiran semacam ghetto-ghetto atau enclave-enclave baru yang akan mendorong sebagian dari umat Islam menjadi masyarakat tertutup. Padahal, sejarah mengajarkan, termasuk apa yang pernah terjadi di Indonesia, kemajuan dan kemakmuran selalu dimulai dari kelompok-kelompok masyarakat terbuka. Itulah kenapa di masa lalu kemajuan lebih dulu muncul di daerah-daerah pesisir atau aliran sungai —karena masyarakatnya lebih terbuka dengan dunia luar.

Jika kita mengikuti pada paradigma yang dibangun Karl Popper melalui bukunya Open Society and Its Enemies (Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya), maka keberadaan masyarakat terbuka (open society) harus dijaga dengan berbagai cara. Sebab, kunci kemajuan peradaban manusia memang tergantung pada tegaknya open society ini. Begitu masyarakat berubah menjadi tertutup, menjadi kelompok-kelompok yang saling menutup diri, maka tatanan sosial akan rusak, berpotensi memantik konflik sosial, dan kemunduran pun mengintai.

Salah satu musuh open society ini adalah ideologi totaliter, yang dalam era sekarang mirip-mirip ideologi ekstremisme. Karena itu, kita harus hati-hati menyikapi tren pem-branding-an segala hal dengan idiom-idiom keagamaan yang ekselusif. Di belakangnya ada ideologi yang mendorongnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan