Wayang, Haram dan Harus Dimusnahkan?

1,913 kali dibaca

Tak lekang oleh ingatan kita perihal kasus pembuangan sesajen oleh seorang laki-laki yang sempat menyita perhatian publik beberapa waktu lalu. Baik di sosial media maupun realitas kehidupan. Kini, publik Indonesia digegerkan kembali dengan pernyataan salah seorang ustaz, sebut saja Khalid Basalamah dalam salah satu pengajiannya yang diunggah di kanal Youtube beberapa hari ini.

Dalam potongan video yang beredar, Ustaz Khalid Basalamah menyatakan bahwa wayang hukumnya haram dalam Islam. Dan karena itu, perlu untuk dimusnahkan sebab bertentangan dengan ajaran Islam. Menurutnya, sebagai seorang muslim seharusnya menjadikan Islam sebagai budaya, bukan sebaliknya, yakni mengismlamkan budaya, maka akan susah dikarenakan banyaknya budaya.

Advertisements

Pernyataan Ustaz Khalid Basalamah ini kemudian menuai polemik dan kontroversial di tengah masyarakat. Pasalnya, apa yang dicintai dan dijaga hidup-mati, justru disuruh dimusnahkan. Nenek moyang Indonesia berusaha semaksimal mungkin melestarikannya, namun kini malah disuruh dimusnahkan. Tak ayal, beragam tanggapan bermunculan, baik dari tokoh agama, budayawan, akademisi, dan lain-lain.

Sementara itu, pernyataan Khalid Basalamah tersebut juga memberikan pelajaran berharga dan amat penting bagi kita semua: bahwa betapa pentingnya konsep dakwah dan metode berdakwah secara santun, menghargai perbedaan, dan mampu merawat kearifan lokal yang tengah mengakar di tengah masyarakat sejak beribu-ribu tahun lamanya. Apalagi, Indonesia sebagai bangsa yang plural dan multikultural, tentu saja, meniscayakan hal ihwal dalam kehidupan sehari-hari.

Wayang Dilestarikan

Dalam konteks sejarah, wayang adalah termasuk salah satu budaya kesenian tradisional masyarakat Indonesia yang diperkirakan telah ada sekitar abad ke-15 M, tepatnya sebelum Islam berkembang pesat di bumi Nusantara. Wayang sendiri merupakan bentuk kesenian yang menampilkan adegan drama bayangan boneka yang terbuat dari kulit binatang, berbentuk pipih, diwarna dan bertangkat. Dalam wayang, juga dikenal istilah dalang (aktor yang memainkan wayang) dan lakon (tokoh yang diperankan).

Pada dasarnya pertunjukan wayang termasuk bagian dari sisa-sisa upacara atau pagelaran keagamaan orang Jawa kuno, yang kala itu masih menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Tidak mengherankan, apabila mereka acap membuat alat-alat pemujaan berupa patung sebagai alat untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan Hyang. Hyang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, selain juga terkadang bisa menghukum dan mencelakakan mereka. Dan wayang, saat itu dijadikan media untuk memanggil roh atau arwah nenek moyang tersebut.

Namun demikian, setelah Islam masuk ke Nusantara, wayang mengalami perubahan dan perkembangan mendasar dan cukup signifikan, sehingga dalam beberapa bentuk dapat kita ketahui seperti sekarang ini. Yang awalnya wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari samping. Warnanya semula putih dan hitam, dikembangkan menjadi berbagai warna, dan perubahan lainnya.
Lebih dari itu, wayang juga dijadikan sebagai salah satu media untuk menyebarkan agama Islam terhadap masyarakat Nusantara, selain pernikahan, perdagangan, dan pendidikan. Di antara tokoh para penyebar Islam yang berperan penting dalam dakwah Islam dengan menggunakan kesenian wayang ini, adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Seperti diketahui bersama bahwa Sunan Bonang merupakan salah seorang Walisongo yang menguasai beragam ilmu. Mulai dari fikih, ushuludin, tasawuf, seni, sastra, dan arsitektur. Dalam berdakwah, ia menggunakan pendekatan seni dan sastra.

Tidak mengherankan, jika Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk atau tembang tamsil. Salah satunya adalah Suluk Wijil yang tampak dipengaruhi kitab Al-Shidiq karya Abu Sa’id Al-Khayr (wafat pada 899). Dan, suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau, atau burung laut.

Selain itu, sebagai seorang ulama dan seniman, Sunan Bonang juga memiliki keterampilan dalam hal pewayangan. Dalam pentas pewayangan, ia adalah sosok dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Misalnya, kisah perseteruan antara Pandawa dan Kurawa, oleh Sunan Bonang ditafsirkan sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).

Sementara Sunan Kalijaga, dalam berdakwah memiliki pola yang sama dengan guru dan sahabat dekatnya, yaitu Sunan Bonang. Misalnya, ia juga memilih kesenian dan kebudayaan (seperti wayang, seni ukir, gamelan, serta seni suara suluk) sebagai sarana atau media untuk berdakwah.

Karena itu, Sunan Kalijaga dikenal sebagai sosok yang sangat toleran terhadap budaya lokal, terutama masyarakat Jawa. Menurutnya, masyarakat akan semakin menjauh jika diserang pendiriannya (keyakinan dan tradisi), sehingga mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhinya. Sebab Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

Dengan pendekatan dan media itu, dakwah Sunan Kalijaga dapat dengan mudah dipahami dan diterima. Karena cara itu dianggap cukup efektif dan berhasil menarik banyak penduduk setempat memeluk agama Islam. Tidak mengherankan, apabila sebagian besar adipati di Jawa memeluk agama Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya: Adipati Pandanaran (Semarang), Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang, sekarang Kotagede, Yogyakarta.

Dari sini, jelaslah bahwa argumentasi Ustaz Khalid Basalamah di atas keliru, cacat dan bermasalah, sebab mempertautkan antara wayang dan Islam sehingga harus dimusnahkan atau dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Karena itulah, wayang harus tetap dipertahankan dan dilestarikan sampai kapanpun. Selain termasuk warisan budaya lokal tradisional masyarakat Indonesia, juga termasuk warisan budaya yang bernuansakan riligiusitas para Walisongo. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan