War Takjil: Berburu Hidangan, Bertarung dengan Diri Sendiri

83 views

Menjelang Maghrib di bulan Ramadan, ada satu ritual yang hampir pasti dilakukan umat muslim Indonesia: berburu takjil. Aktivitas ini bukan sekadar mampir ke warung terdekat untuk membeli sekotak es buah atau sepotong gorengan, tapi lebih menyerupai ekspedisi berburu harta karun—penuh semangat, perhitungan, dan terkadang, sedikit kegilaan.

Di media sosial, fenomena ini punya nama keren: War Takjil. Kata “war” di sini bukan main-main. Ia menggambarkan suasana yang tak jauh berbeda dengan peperangan: antrean panjang, gerak cepat, strategi cerdas, dan dalam beberapa kasus, sedikit drama.

Advertisements

Saya pernah menjadi salah satu prajurit dalam perang ini. Sore itu, di sebuah bazar Ramadan yang ramai, saya melihat seorang ibu muda dengan wajah penuh tekad. Tangannya cekatan mencomot risoles, lemper, dan pastel, sementara matanya masih menelusuri meja, mencari buruan lain. Seorang bapak di sebelahnya—mungkin suaminya—sibuk menggenggam sekantong besar es pisang ijo. Di belakang mereka, seorang anak kecil merajuk minta es cendol tambahan.

Adegan itu mungkin tampak biasa. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, kita akan sadar: ini bukan sekadar soal makanan. Ini soal psikologi.

Seni Berburu di Ladang Takjil

Setiap Ramadan, bazar makanan menjelma jadi arena pertempuran manusia melawan hasrat. Sejak siang, kita menahan lapar dan haus. Lalu, saat menjelang berbuka, kita mendadak berhadapan dengan deretan makanan yang menggiurkan. Saat itulah insting dasar kita mengambil alih kendali: semua tampak lezat, semua terasa perlu, dan tanpa sadar, kita mulai menumpuk makanan lebih banyak dari yang bisa kita habiskan.

Bagi sebagian orang, tantangan War Takjil tidak hanya terjadi di bazar Ramadan, tapi juga di dunia digital. Setiap Ramadan, berbagai aplikasi makanan online menawarkan diskon menggoda. Kadang harga satu porsi nasi padang bisa turun sampai setengahnya. Wajar kalau orang-orang tiba-tiba berubah jadi sniper promo: siap menembak pesanan sebelum stok habis.

Tapi seperti perang lainnya, War Takjil juga punya korban. Ada yang batal dapat promo karena server down. Ada yang kecewa karena takjil idaman sudah ludes sebelum dia sempat antre. Dan tentu saja, ada yang akhirnya kelebihan stok makanan di meja makan, lalu hanya bisa menyesali diri sambil menatap lemper yang tak tersentuh.

Berakhir di Tempat Sampah

Di balik keseruan War Takjil, ada satu ironi yang sulit dihindari: pemborosan.

Saya pernah melihat seorang ibu membeli plastik besar berisi aneka gorengan, es campur, dan bubur sumsum. Tapi setelah berbuka, ternyata hanya separuh yang disentuh. Sisanya dibiarkan begitu saja di meja. Es campur mencair, gorengan melempem, dan akhirnya, semua berakhir di tempat sampah.

Fenomena ini bukan hal langka. Banyak orang, entah karena lapar mata atau terjebak dalam euforia Ramadan, membeli makanan lebih banyak dari yang bisa mereka makan. Kita sering lupa, bahwa berbuka puasa bukan soal balas dendam terhadap rasa lapar, melainkan soal mensyukuri rezeki yang cukup.

War Takjil memang menyenangkan, tapi seharusnya kita tidak kehilangan kendali dalam pertempuran ini.

Tetap Bermakna

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar ritual berburu takjil tetap bermakna. Pertama, belilah dengan sadar, bukan karena lapar. Ingat, perut kita punya kapasitas terbatas. Jika biasanya kita cukup dengan sepiring nasi dan segelas teh manis, tidak perlu tiba-tiba menumpuk lima jenis takjil sekaligus.

Kedua, jangan menganggap promo sebagai misi hidup dan mati. Diskon memang menggoda, tapi jika akhirnya hanya menumpuk pesanan yang tidak kita butuhkan, apakah itu masih disebut untung?

Ketiga, jaga etika di medan perang. Antrean panjang dan suasana bazar yang padat bisa membuat emosi memuncak. Tapi Ramadan bukan sekadar tentang menahan lapar dan haus, melainkan juga menahan ego dan amarah. Jangan sampai War Takjil membuat kita lupa dengan esensi ibadah itu sendiri.

Pada akhirnya, Ramadan adalah latihan pengendalian diri. Jika War Takjil justru membuat kita semakin tidak terkendali—dalam lapar, belanja, atau emosi—mungkin ada yang perlu kita perbaiki. Karena sejatinya, Ramadan bukan soal memenangkan perang melawan sesama manusia di lapak gorengan, tapi tentang menaklukkan musuh yang lebih sulit: diri sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan