Vaksinasi Kiai-kIai di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur

Vaksinasi dan Tawazun dalam Beragama

749 kali dibaca

Setahun lebih pandemi Covid-19 menyebar di Indonesia sejak terdeteksi pertama kali pada bulan Maret 2020. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, masyarakat Indonesia yang terinfeksi Covid-19 per tanggal 6 Juli 2021 berjumlah 2.345.081 dengan kasus aktif total 324.597 dan meninggal 61.553 jiwa.

Data tersebut menggambarkan bagaimana kolapsnya sistem kesehatan kita, baik dari sisi masyarakat maupun infrastruktur kesehatan. Dan tidak cukup pada sistem kesehatan, tetapi sistem pemerintahan, pendidikan, sosial keberagamaan, dan ekonomi juga mengalami kolaps serupa.

Advertisements

Kurva kasus infenksi Covid-19 dalam setahun terakhir mengalami naik turun dengan pelbagai faktor. Dalam pertengan tahun 2021 ini, kita tahu terjadi lonjakan kasus yang luar biasa. Lonjakan kasus ini terbilang parah, mengingat pemerintah sudah menjalankan program vaksinasi yang dimulai sejak bulan Januari. Dengan golongan prioritas penerima vaksin adalah para pelayan publik seperti dokter dan tenaga kesehatan, aparatur sipil negara (ASN), para pekerja, hingga tokoh agama.

Ikhtiar vaksinasi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 yang ditujukan pada golongan prioritas dan yang hari ini sudah disuntikkan bagi masyrakat luas tidak begitu saja melegakan kondisi yang ada. Karena sampai hari ini proses vaksinasi masih dianggap problematik di sebagian masyarakat. Ada sebagian masyarakat kita yang mayoritas muslim masih ragu dan bahkan menolak untuk divaksin. Dan yang paling mencengangkan adalah adanya tokoh-tokoh agama yang ikut andil dalam suara penolakan vaksinasi.

Sebagai contoh adalah salah satu tokoh agama, Ustaz Alfian Tanjung (UAT) yang dalam kanal Youtubenya menjelaskan bahwa masyarakat tidak perlu ikut vaksin. Alasannya, vaksin itu haram dan membahayakan. Ia merujuk pada vaksin Sinovac produksi China. Pendapatnya ini didasarkan pada RRC yang berpaham komunis. Dan UAT ini hanya salah satu tokoh agama yang tersorot media. Sejujurnya, masih banyak tokoh agama yang serupa dengan UAT di tengah-tengan masyarakat, dengan suara yang sama.

Vaksin dalam Tinjauan Syariat Islam

Dewan Fatwa Syariah Nasional (Majelis Ulama Indonesia) maupun dewan fatwa negara-negara mayoritas Islam sudah mengeluarkan fatwa atau sikap soal hukum vaksin. Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor 2 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac, menyimpulkan: vaksin Sinovac tidak memanfaatkan (Intifa’) babi atau bahan yang tercemar babi, Juz’ minal ihsan (bagian anggota tubuh manusia), dan Tathhir syar’i (memnuhi ketentuan kesucian secara syar’i). Sehingga ditegaskan suci dan halal.

Kemudian ada Fatwa Nomor 13 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Astra Zenaca adalah haram, tetapi mubah; boleh digunakan. Karena mengandung tripsin dari pankreas babi guna memisahkan sel inang virus dengan micro virus (bukan bahan utama). Hal ini diperbolehkan karena dalam keadaan darurat.

Fatwa ini didasarkan pada dalil naqli bahwa tim khusus MUI dengan Bio Farma terbang langsung ke China untuk melihat proses produksi vaksin Sinovac pada 12 Oktober 2020. Kemudian, dasar naqli-nya bersandar pada hadis berikut:

إنَّ اللهَ تعالى أنزَل الدَّاءَ والدَّواءَ، وجعَل لكلِّ داءٍ دواءً، فتداوَوْا، ولا تَداوَوْا بالحرامِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit: maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram”. (HR. Abu Darda’: 2).

Selain itu, juga merujuk pada kaidah fikih:

الضررُ يُزالُ

Artinya: “Kemudharatan harus dihilangkan”.

يتحمّلٌ الضَّررُ الخاصُّ لِدَفعِ الضَّرَرِ العَامّ

Artinya: “Mengambil kemudharatan tertentu demi mencegah kemudharatan yang merata”.

Sementara itu, dewan fatwa negara mayoritas Islam lainnya, seperti Pusat Fatwa Uni Emirat Arab (al-Markaz al-Rasmiy Lil Ifta’) yang dilansir dari media Al-Arabiya juga menyimpulkan: Vaksin Covid-19 pada dasarnya bertujuan menjaga kelangsungan hidup manusia (hifdz an-nafs) yang juga salah satu dari tujuan dari maqashid syri’ah.

Fatwa-fatwa di atas juga senada dengan fatwa yang dikeluarkan Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Iffta), Dewan Mufti Kerajaan Arab Saudi (Hai’ah Kibaril Ulama), dan negara mayoritas muslim lainnya, kecuali Iran yang menggunakan vaksin produksi dalam negeri. Yang kesemuanya menegaskan bahwa vaksin suci dan boleh digunakan, sekalipun ada dzat yang haram, karena dalam kondisi darurat.

Al-Tawazun (Keberimbangan)

Kembali lagi pada pandangan tokoh-tokoh agama yang menyuarakan penolakan vaksinasi. Secara tidak langsung mereka menjadi penggiring opini bagi jamaah atau masyarakat awam. Terlebih harus diakui bahwa masyarakat kita rentan termakan hoaks dan juga tokoh agama yang menjadi teladan dalam sosial keberagamaan masyarakat. Sehingga setiap kata dan perilakunya sedikit banyak diikuti oleh masyarakat.

Penggiringan-penggiringan opini dan sikap beragama yang tidak berdasar tentu semakin memperkeruh keadaan yang sudah kolaps seperti ini. Terlebih mayoritas yang bersuara adalah muslim. Maka al-tawazun dalam menyikapi hal-hal seperti ini menjadi urgen.

Al-Tawazun sendiri adalah sisi lain dari mafhumul wasatiyyah. Al-tawazun sendiri bermakna keberimbangan, proporsi, balancing. Yang mana al-tawazun ini berfungsi sebagai key word dalam praktik atau sikap wasatiyyah. Yakni, keseimbangan pemahaman dalam memaknai, melihat, dan menyikapi masalah dunia dan akhirat. Yang mana ada kalanya pikiran dan keputusan itu harus memiliki proporsi terhadap maslahat dunia. Berusaha bijak dalam memahami kondisi yang ada.

Landasan dari sikap al-tawazun ini tertera pada Q.S. al-Isra ayat 35:

وَأَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا۟ بِٱلْقِسْطَاسِ ٱلْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Fokus pada redaksi wazinu bil qistasil mustaqim, Ali as-Shabuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafasir, menafsirkan redaksi ini dengan:

ي زنوا بالميزان العدل السوي بلا احتيال ولا خديعة

Artinya: “Timbanglah suatu hal dengan timbangan yang adil, bukan dengan penipuan dan kemunafikan

Para ulama menjelaskan al-tawazun sebagai sikap yang perlu ada dalam diri seorang muslim. Bahwa, segala sesuatu harus dilihat apa adanya, dibicarakan sesuai faktanya, segala sikap harus memiliki dasar dan tujuanya. Dan al-tawazun bertolak belakang dengan hal-hal tipu muslihat, kemunafikan, maupun ketidakadilan.

Kontekstualisasi al-tawazun dalam hal ini adalah pandangan bijak dan proporsional dalam melihat vaksinasi sebagai ikhtiar untuk menjaga dan menyelamatkan kehidupan masyarakat manusia. Di mana, kita harus memaknai situasi dan kondisi yang ada secara real dan berdasar. Bahwa Covid-19 ini nyata adanya, dan vaksin adalah salah satu upaya terdepan dalam menangkal penyebarannya, yang dalam kurun bulan terakhir ini kasusnya melonjak begitu drastis. Salah satu orientasi berpikir al-tawazun dalam konteks ini adalah bagimana ibadah aktivitas keseharian cepat kembali normal. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang bentuknya berjamaah atau kolektif segera bisa dijalankan.

Maka seorang muslim yang dengan sadar ingin dan bersedia divaksin adalah seorang muslim yang mempraktikkan konsep al-tawazun ini. Bahwa dia sadar dengan vaksinasi keadaan akan menjadi lebih baik. Penyebaran Covid-19 akan terputus dan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada akhirat maupun dunia akan kembali normal seperti semula.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan