Urgensi Peran Santri di Era Digital

936 kali dibaca

Yang paling ditakutkan oleh Nabi atas umatnya, jauh sebelum benar-benar terjadi, adalah ulama’suu, yaitu ulama yang sesat.

Abu Dzar mengatakan: “Dahulu saya berjalan bersama Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda: “Sungguh, tidaklah Dajjal yang lebih aku takutkan atas umatku, dan mengulang perkataan tersebut sebanyak tiga kali. Maka saya bertanya: “Wahai Rasulullah, lantas apa yang paling engkau takutkan atas umatmu?” Beliau menjawab: “Para tokoh yang menyesatkan.”

Advertisements

Keberadaan ulama adalah acuan daripada eksintensi agama di setiap tempat. Ulama adalah pewaris para Nabi. Sehingga di mata masyarakat awam, apa yang diucapkan dan dipraktikkan akan ditiru. Lalu apa jadinya jika ada ulama yang mengatakan bahwa hukum menelan darah yang ada di gusi saat puasa tidaklah membuat batal.

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur pernah mengatakan: “Hanya di Indonesia, mantan preman, orang yang tidak sekolah, bisa disebut ustaz.” Gus Dur tidak mengecam dan menegaskan dengan kata “salah”, tapi hanya menegaskan keadaan sosial-kultural di masayarakat Indonesia.

Apalagi saat ini, di era gencar-gencarnya teknologi, keilmuan bisa dimanipulasi; membaca hukum-hukum agama di Google –yang kadang-kadang salah kaprah dan kontroversial– lalu diinterpretasikan di media-media online. Viral. Lalu macam membalik telapak tangan, diundang dan diwawancarai sana-sini. Di televisi-televisi dan kanal-kanal sesak oleh berita orang itu. Konteks dalil-dalil disalahartikan dan dipresentasikan tidak menurut muqtadhol halnya (sesuai konteksnya).

“Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama, dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama.” Sabda Nabi Muhammad Saw ini diriwayatkan oleh ad-Darimi. Sekali ulama yang mempunyai pengikut banyak mengatakan suatu hukum, maka akan dianut oleh mereka.

Ironisnya lagi, tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab, menabrakkan pendapat ulama satu dengan yang lain dengan cara menjadikannya slide-slide berbeda dalam satu video, yang padahal tidak ada kesinambungan dan keterkaitan antara objektivitas dan orientasi dari pada para ulama tersebut. Imbasnya, dengan sempit, masyarakat awam terbawa oleh manipulasi konflik-konflik antarulama itu.

Beberapa bulan lalu, saya membaca esai yang ditulis oleh Mbah Nun di situs resminya, bahwa salah satu faktor yang menjadikan tidak akurnya ulama adalah kejahilan tangan-tangan editor konten-konten yang menabrakkan ulama satu dengan ulama lain.

Salah satu contoh, ketika ada satu ulama memaparkan qoul dho’if (pendapat yang lemah), yang pada dasarnya hanya untuk lingkup tertentu, para tangan editor itu mengunggahnya di media massa, sehingga ulama lain menganggap bahwa tidaklah pantas ulama mengatakan dalil-dalil dho’if dan mengimprovisasikannya ke ruang publik.

Maka, haruslah bijak-bijak kita dalam menyikapi konten-konten keislaman di media-media sosial. Karena di sana, martabat, muru’ah (jati diri), dan kharisma para ulama seperti tak ada harganya sama sekali.

Maka, ulama milenial – yang benar-benar ulama – haruslah ditampakkan di media-media sosial. Sebab kalau tidak, media akan disesaki oleh kajian-kajian yang tidak jelas sumber dan dalilnya. Jalan dakwah seperti yang disampaikan oleh Habib Umar bin Salim bin Hafidz, “Jadikanlah media sosial sebagai jalan dakwahmu kepada Allah dan Rasulullah” perlu diimplementasikan oleh para santri.

Akhir kata, saya sangat setuju dengan manhaj ulama yang menggunakan media massa sebagai ajang dakwah di samping secara tatap muka. Salah satu kaidah fikih menyebutkan: “Ridho bis syai’ ridho bima yutawalladu minhu.” Artinya, keridaan kita terhadap konten-konten keislaman yang radikal di media sosial, adalah bentuk keridaan kita terhadap umat dalam mengikutinya.

Maka, sebagai santri, hendaknya kita persiapkan itu semua untuk menyongsong tantangan dakwah ke depan. Bagaimana cara kita untuk mengisi dan menyuguhkan Islam yang damai, Islam yang sejuk, dan Islam yang toleran. Sehingga, tidak ada perseteruan lagi di antara sesama kaum muslimin di Indonesia.

Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan