Turats dan Dinamika Pesantren

1,676 kali dibaca

Pesantren selalu identik dengan pengajaran kitab klasik, dalam hal ini dikenal dengan turats. Kita sudah sangat mafhum bahwa kitab-kitab klasik itu juga dikenal dengan sebuta kitab kuning.

Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan pesantren lebih banyak mengajarkan tentang kitab-kitab klasik yang ditulis dan berpahamkan mazhab Syafi’i. Namun, dalam perkembangannya, lebih-lebih di masa kini, kitab-kitab yang dipelajari di pesantren sudah cenderung sangat beragam.

Advertisements

Tujuan pengajaran kitab-kitab berhaluan Syafi’i saat itu adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Sehingga, pemahaman tentang ulama dalam hal ini adalah selayaknya guru di lembaga-lembaga formal, namun memiliki kekhususan dalam bidang keagamaan dan keberagamaan.

Pesantren di masa-masa kolonial menyampaikan kajian tentan jihad fi sabilillah, hal ini menjadi sangat wajar karena situasi dan gerak sosial yang melatarbelakanginya. Maka tidak aneh, kalau di masa yang hiruk-pikuk dengan ragam kemajuan teknologi, akses informasi yang sangat mudah, justru di pesantren banyak muncul kajian-kajian tentang tasawuf dan tauhid.

Dengan mengamati pemilahan gerak sosial, kajian pesantren, dan output yang akan dilahirkan, maka pesantren dan kitab kuningnya benar-benar memberi ruang gerak yang fleksibel terhadap dinamika sosial yang ada.

Artinya, pesantren berhak mendapatkan peringkat munasib fi kullizzaman, sesuai dengan perkembangan sosial dari masa ke masa. Hal ini dapat kita lihat pada kurikulum yang hampir sama antara pesantren satu dengan lainnya. Kitab-kitab yang diajarkan hampir sama: diawali dengan kitab yang berkaitan dengan teks, kemudian ushul, kemudian fikih, lalu dikembangkan lagi dengan tasawuf dan tauhid.

Hal ini pernah disinggung oleh Zamakhsyari Dlofier, bahwa kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran di lingkungan pesantren tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultur, dan praktik-praktik keagamaan di kalangan kiai dan santri di seluruh Nusantara. Karena homogenitas tersebut terbangun secara mapan pada tingkat tinggi di Makkah dan Madinah. (Zamakhsyari D. 2015:88).

Oleh karena terbentuknya kemapanan yang sejak dahulu, pesantren sedikit banyak pasti terpengaruh oleh pola kaderisasi atau pergerakan dalam pengajaran kitab-kitab dan ilmu pengetahuan dari Timur Tengah. Kita perlu menyepakati bahwa Timur Tengah pernah mengalami puncak keemasan dan renaisans yang sangat mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan, baik Islam secara nilai atau secara dogma.

Dinamika sosial tentu akan sangat beragam pergerakannya, tidak jumud begitu saja. Jika pesantren di masa Mbah Hasyim dan Mbah Wahab turut serta dalam mempertahankan negara dan mengususng kemerdekaan secara langsung, saat ini pesantren dapat berkolaborasi dengan ragam perkembangan untuk turut serta dalam kemajuan dan peluang-peluang yang sangat lebar.

Walaupun turats sebagai teks bersifat mati, namun hidup secara arti. Di mana tafsir selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu ia selalu berfungsi baik dalam penataan mental dan moral para santri. Turats dapat berkembang secara makna dan tafsirnya, sehingga tidak jumud dan kolot pada satu pemahaman saja.

Homogenitas hanya terdapat pada sistem pengajaran dan jenis kitabnya, namun heterogenitasnya adalah pada sudut pandang kontekstualisasinya. Hal ini senada dengan pandangan Fazlurrahman, bahwa tafsir dari sebuah teks dapat berkembang dan beragam objeknya, waktu dan tempatnya, oleh karenanya teks secara tafsir sangatlah fleksibel. (Fazlurrhman, 1995: 135).

Oleh sebab itu, jika pernah ada singgungan tentang pendapat tradisionalisme dan statisnya sistem pengajaran pesantren, maka pandangan ini dibantah oleh Zamakhsyari. Menurut penelitiannya, pesantren dalam pengajarannya tidak hanya sekadar membicarakan bentuk (form) dengan melupakan isi (content) ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab yang diajarkan, namun juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun pola bahasa pada teks. (Zamakhsyari D. 2015: 87-88).

Dengan demikian, kitab-kitab yang diajarkan di pesantren pasti mengalami interpretasi melalui interaksionisme simbolik yang disebabkan oleh perkembangan zaman. Karena memang gerak sosial selalu berputar seiring dengan perubahan dan kemajuan zaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan