Bayangkan seseorang berdiri di tepi jurang yang dalam nan gelap gulita (poek mongkleng). Ia membawa oncor (lentera kecil). Ia mengintip dasar jurang dengan cahaya yang kecil itu. Ia mencondongkan tubuh, memicingkan mata, tetapi yang tampak hanya pekat yang tak menyisakan siluet apa pun. Maka, pilihan terbaiknya bukan melompat, tapi mundur, duduk, dan merenung. Seperti itulah posisi akal ketika ingin menjangkau hakikat Zat Allah Yang Maha Tinggi. Ia hanya obor kecil yang tak pernah mampu menembus kedalaman misteri Ilahiah.
Namun jangan buru-buru mematikan lentera itu. Karena walaupun ia tak bisa menjangkau Tuhan dalam Zat-Nya, ia bisa menjadi alat penting untuk menyelami kedalaman firman-Nya, menggali ilmu, hikmah dan pelajaran dari ciptaan-Nya, dan mengurai petunjuk-petunjuk kehidupan yang termaktub dalam kalam-Nya- Al-Qur’an.

Inilah bedanya akal yang beriman dengan akal yang pongah: yang satu berlutut untuk merenung, yang satu berdiri untuk menantang.
Akal yang Tunduk, Tapi Tidak Mati.
Rasulullah Saw sudah memberi panduan jernih:
> تفكروا في خلق الله، ولا تتفكروا في الله.
Artinya: “Renungilah ciptaan Allah, dan jangan renungi Zat Allah.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw menegur keras para sahabat yang berdebat tentang takdir. Wajah beliau sampai memerah dan berkata:
“أبهذا أمرتم؟ أم بهذا أرسلتم؟ إنما هلك من كان قبلكم حين خاضوا في هذا الأمر.”
Akal memang tidak dilarang berpikir, justru diperintah untuk memaksimalkannya. Tapi kita harus tahu medan mana yang boleh disusuri, dan mana yang haram dijelajahi. Jangan terjebak dalam pikiran tentang anatomi Tuhan, tapi gunakanlah akal untuk merenungi anatomi kalam Tuhan. Sebab, ketika seseorang memahami kalam-Nya dengan sungguh-sungguh, maka secara otomatis dia akan mengenal siapa Tuhannya—dalam sifat, kehendak, dan kebijaksanaan-Nya.
من عرف نفسه فقد عرف ربّه
Siapapun yang lihai menggunakan secara maksimal perangkat jiwanya (salah satunya akal), maka ia akan mengenal siapa Tuhan-nya.
Tafsir bukanlah sekadar upaya mengurai makna lafaz. Ia adalah seni menyentuh cahaya, menggali pelita, dan membimbing jiwa menuju Tuhan. Akal menjadi jembatan antara teks dan kesadaran, antara huruf dan hakikat.
Akal, bila digunakan melampaui batas, seperti kaca pembesar yang diarahkan ke matahari—tidak menambah terang, malah membakar. Tapi bila diarahkan ke ayat-ayat-Nya, baik yang tertulis maupun yang terbentang di semesta, justru akan memperbesar suatu hal yang kecil, menemukan suatu hal yang hampir tak terlihat, menjadi peta cahaya: menunjukkan arah kemajuan, kemaslahatan, dan keselamatan umat manusia.
Al-Qur’an sarat dengan isyarat-isyarat saintifik, sosial, dan peradaban. Ia menantang kita:
> قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
(QS. Az-Zumar: 9)
“Tantanglah mereka dengan menunjukkan argumen dalam menyangkal bahwa “samakah antara orang yang berhasil menggunakan akal dan tidak?”
Maka gunakanlah akal bukan untuk menjebol tabir Tuhan, tapi untuk menangkap isyarat kemajuan, sesuai trayeknya. Bangunlah peradaban dari wahyu. Bangunlah teknologi dari ayat-ayat-Nya. Gali kedalaman sains dan sistem sosial dari struktur kalam-Nya yang sempurna.
Inilah yang saat ini harus kita galakkan, jangan hanya berkutat pada suatu hal yang stagnan atau bahkan menjadikan Al-Qur’an sebagai pusat doktrin semata.
Dalam ilmu ushul fikih, terdapat kaidah penting:
> “ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب”
“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak bisa ditunaikan, maka ia pun menjadi wajib.”
Maka jika membangun peradaban, menghidupkan keadilan, dan menciptakan kesejahteraan adalah perintah Allah, maka penggunaan akal dan ilmu untuk mencapainya pun menjadi fardhu kifayah atau bahkan fardhu ‘ain dalam konteks tertentu.
Ulama seperti al-Ghazali dan al-Razi telah menegaskan, bahwa menjaga akal adalah bagian dari maqashid al-syari’ah, (hifdzul aql), dan menggunakan akal adalah bagian dari menjalankan amanah kekhalifahan. Maka merawat akal, menyuburkannya dengan ilmu, riset, analis, penelitian dan bahkan perbandingan, artinya menjadikannya alat untuk menyelami Al-Qur’an dan menyusun solusi bagi umat, adalah bagian dari perintah agama.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ تِبْيَـٰنًۭا لِّكُلِّ شَىْءٍۢ وَهُدًۭى وَرَحْمَةًۭ وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Annahl 89
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk, rahmat, serta solusi bagi orang-orang yang berserah diri.”
Akal adalah alat untuk menjadi khalifah, bukan untuk menjadi tuhan. Bukan hanya untuk menghakimi salah dan benar, bukan hanya tentang indoktrinasi. Maka ketika akal digunakan untuk meneliti, mencipta teknologi, membangun sistem ekonomi yang adil, menciptakan perangkat sosial yang menjamin kesejahteraan—itulah akal yang beriman.
Al-Qur’an tidak mengajarkan stagnasi. Ia mengajarkan gerak, inovasi, dan keterbukaan. Maka akal harus digunakan untuk mengembangkan pertanian, memberdayakan ekonomi, menciptakan alat kesehatan, bahkan membangun teknologi digital yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Santri hari ini bukan hanya penjaga kitab kuning. Ia adalah penjaga peradaban. Ia harus bisa membaca Shahih Bukhari dan membaca kode Python. Ia harus bisa mengkaji Nailul Authar dan sekaligus mengupas algoritma machine learning. Semua itu adalah bentuk dari ibadah tafakkur yang sejati.
نَرْفَعُ دَرَجَـٰتٍۢ مَّن نَّشَآءُۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌۭ
“Kami angkat derajat orang-orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan ada yang Maha Mengetahui.”
Jika pertanyaan tentang “Siapa yang menciptakan Tuhan?” membawa kita ke jalan buntu, maka pertanyaan “Apa yang Tuhan ingin aku lakukan?” membuka ribuan jalan peradaban.
Tugas akal bukan membongkar Tuhan, tapi memahami kehendak-Nya. Tugas akal bukan mencipta Tuhan, tapi menyambut petunjuk-Nya. Maka tunduklah, wahai akal. Tapi jangan mati. Karena justru dalam sujudmu, peradaban akan dibangun.
Cipasung, 20 April 2025.