Tugu Bayangan

2,943 kali dibaca

Sebuah cerita kadang tak perlu masuk akal. Toh, adakalanya yang tak masuk akal justru menjadi awal dari babakan sejarah. Cerita ini salah satunya.

***

Advertisements

Desa itu akhirnya diberi nama Tugu Bayangan karena keganjilannya. Semua bermula dari apa yang terjadi di sebuah jalan setapak. Jalan setapak itu membelah ladang dan sawah, sejak dari ujung sebuah dusun terpencil di sisi Utara, yang sesekali berkelok-kelok hingga berakhir di sisi Selatan di batas luar hutan Alas Purwo. Jika musim kemarau, jalan tanah itu akan memamerkan banyak rekahan yang menganga. Sebaliknya, jika musim hujan tiba, ia akan menjadi jalan berlumpur.

Jalan setapak itu biasa dilintasi orang-orang yang hendak bercocok tanam di ladang atau di sawah. Lebih dari itu, jalan setapak itu juga menjadi jalan masuk ke kedalaman hutan bagi orang-orang dusun yang hendak sekadar mencari kayu bakar, atau memotong pohon-pohon jati untuk mendirikan rumah, atau mencari batang-batang bambu untuk membuat gedek, atau berburu bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan liar, atau mencari belalang kayu untuk digoreng sebagai hidangan makan.

Hari itu, Paimin yang berjalan cepat menuju hutan hendak mencari kayu bakar tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika sudah mencapai lebih dari separo jalan. Matanya membelalak menatap apa yang tersuguh di depannya. Sebuah bayang-bayang, tentu saja berwarna hitam. Ia mengira entah ada sebuah benda atau binatang atau orang di depannya. Tapi, ketika matanya menyapu ke sekeliling arah, Paimin tak menemukan apa-apa, tak melihat siapa-siapa. Begitu pula ketika ia mendongak ke atas, yang terlihat hanya kekosongan. Kecuali Matahari di kejauhan sana yang menatap tajam dirinya.

Ketika ia kembali mendaratkan pandangan matanya pada jalan di depannya, bayang-bayang itu masih berada di tempatnya semula, seakan memotong jalan setapak itu. Ia jongkok, lalu tangannya meraba bayang-bayang hitam yang terhampar di jalan itu. Hanya ada tanah yang tertutup bayang-bayang itu. Tak ada benda lain. Ia melihat tangannya yang gemetar, sebagian lengannya ikut tertutup bayang-bayang itu. Lalu ia mendongak lagi, masih suwung.

Paimin kemudian berdiri, mundur dua langkah, lalu berbalik arah, dan berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Dengan napas ngos-ngosan dan tubuh penuh peluh, Paimin langsung menyemburkan kata-kata yang ditahannya selama dalam perjalanan kepada orang pertama yang dijumpainya di ujung dusun.

“Pak Wiroooo… tunggu sebentar!” Paimin berteriak memanggil tetangganya yang sudah sepuh itu. Saat itu, Pak Wiro sedang berjalan entah dari mana dan hendak membelok ke rumahnya. Pak Wiro kemudian duduk di emperan rumahnya, menunggu orang yang memanggil namanya.

“Ada apa, kamu seperti orang kesurupan begitu?” Pak Wiro menyapa tamunya.

Paimin duduk di lincak di samping Pak Wiro, mengelap keringatnya sembari mengatur napas. “Apa yang pernah diceritakan peziarah yang pernah mampir ke dusun kita dulu itu ternyata benar. Tadi saya melihatnya sendiri,” Paimin mengawali ceritanya.

“Yang mana?”

“Itu, bayangan di tengah jalan menuju hutan.”

“Kamu jangan ketularan orang gila,” Pak Wiro menyergah.

“Disambar geledek! Saya sampai memegangnya dengan tangan sendiri. Ini, tangan saya masih gemetaran,” Paimin meyakinkan lawan bicaranya.

Sudah agak lama berlalu, menjelang musim penghujan tiba, memang ada orang asing yang mampir, ngaso sebentar di dusun itu. Orang asing itu, yang mengaku dirinya seorang peziarah, baru keluar dari hutan. Si peziarah itu mengenakan pakaian serba putih, dan rambutnya yang penuh uban dibiarkan terurai panjang sampai ke pinggang. Dalam perjalanan dari hutan menuju dusun itu, si peziarah mengaku menjumpai keganjilan. Di jalan setapak itu, si peziarah mengaku melihat bayang-bayang, namun tak tahu bayangan benda apa bayang-bayang itu. Sebab, ia tak menemukan benda apa pun yang bisa menudung cahaya matahari.

Namun, warga dusun tak memercayai cerita orang asing yang mengaku sebagai peziarah itu. Warga dusun menganggapnya sebagai khayalan belaka, dan memperlakukan si peziarah itu layaknya orang-orang dari jauh yang habis bertapa di Alas Purwo. Di kedalaman hutan Alas Purwo itu memang sering dijadikan tempat bertapa oleh orang-orang yang entah datang dari mana. Sepulang dari bertapa, biasanya ada saja dari mereka yang mampir ke dusun itu, lalu menceritakan hal-hal aneh yang dialami. Warga dusun itu sudah kenyang akan cerita-cerita aneh dari para pertapa, sehingga menganggap angin lalu cerita yang dibawa oleh orang asing yang mengaku sebagai peziarah tersebut.

Setelah si peziarah meninggalkan dusun itu, datang musim penghujan. Alam diguyur hujan saban hari dalam waktu yang lama. Selama musim penghujan itu tak ada warga dusun yang melintas di jalan setapak itu untuk pergi sampai ke hutan. Setelah musim penghujan berlalu, Paimin adalah orang pertama yang melintasi jalan setapak itu.

“Kalau Pak Wiro tak percaya, ayo kita buktikan,” Paimin menantang.

Bayang-bayang hitam itu masih di sana ketika Paimin tiba di tempat itu untuk kedua kalinya dengan mangajak Pak Wiro. Berselang-seling Pak Wiro memandangi wajah Paimin dan bayang-bayang itu. Ia kemudian jongkok, seperti yang dilakukan Paimin sebelumnya, lalu tangannya meraba-raba tanah di depannya di jalan setapak itu. Ia lalu mendongak, dan suwung.

“Mungkinkah ada makhluk gaib, atau benda takberwujud, di sekitar sini?” Pak Wiro menggumamkan pertanyaan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Kalau yang gaib, atau lelembut, mana mungkin bisa memunculkan bayang-bayang seperti ini,” Paimin menimpali.

Mata Paimin memeriksa dengan teliti bayang-bayang itu. “Sepertinya ada yang berubah, atau bayang ini bergerak,” kata Paimin. Ketika Paimin melihatnya pertama kali, bayang-bayang itu lebih banyak melewati batas sisi barat jalan setapak itu. Kali ini, bayang-bayang itu lebih banyak melewati batas sisi timur jalan.

“Itu karena matahari sudah bergeser ke barat,” Pak Wiro menyahut.

“Berarti sumber bayangan ini tak bergerak,” kata Paimin.

“Coba besok kita periksa lagi, apakah masih ada bayang-bayang ini,” ajak Pak Wiro.

Di langgar dusun, sehabis salat Isya, Paimin menceritakan keganjilan itu pada warga lainnya. Ada yang terkejut penasaran. Ada yang menganggapnya sebagai khayalan seperti yang mereka dengar dari para pertapa.

“Ada saksinya. Saya tadi kembali ke sana dengan mengajak Pak Wiro. Dan kami memeriksanya lagi bersama-sama. Dan itu benar adanya,” Paimin meyakinkan pendengarnya. Seorang warga ada yang berinisiatif menyusul Pak Wiro. Ketika tiba, Pak Wiro yang tak pernah menampakkan batang hidungnya di langgar itu membenarkan cerita Paimin. Mereka akhirnya berembuk, besok akan bersama-sama memeriksa bayang-bayang ganjil itu.

Menjelang tengah hari, warga dusun itu sudah berkumpul mengerumuni bayang-bayang itu, berjubel mememuhi jalan setapak itu. Di tengah terik matahari, semua orang yang berkumpul di situ memiliki bayang-bayangnya sendiri. Tapi tetap saja ada satu bayang-bayang yang tidak bertuan, yang membuat mereka berkerumun di situ. Bayang-bayang itu menjadi tontotan semua orang. Tapi sebegitu lama, tak ada yang berani mengambil kesimpulan benda apa yang memunculkan bayang-bayang itu.

“Ini mungkin yang dimaksud oleh para raja, para kaisar, atau para khalifah ketika dulu mereka mengatakan bahwa dirinya adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi ini,” seseorang nyeletuk di tengah kerumunan. Nadanya setengah bercanda. Beberapa orang tertawa mendengarnya. Tapi ada seseorang yang serius memberi tanggapan.

“Tuhan, kan, tidak berwujud tidak berbentuk, itu kata guru ngaji saya. Jadi mana mungkin memunculkan bayang-bayang seperti ini.”

“Lha.. iya-ya…,” beberapa orang bersahutan.

“Lelembut juga tidak mungkin memantulkan bayang-bayang seperti ini.”

“Seperti pernah melihat wujud lelembut saja….”

Percakapan warga dusun yang berkerumun itu akhirnya lebih menyerupai pasukan lebah berdengung. Tak ada alurnya. Tak ada ujung pangkalnya. Hingga matahari lingsir di ufuk barat, mereka masih belum bisa memecahkan misteri itu. Mereka akhirnya pulang ke dusun dengan menggendong pertanyaan di punggung masing-masing.

Malam harinya, warga dusun itu kembali berkumpul di langgar, termasuk Pak Wiro. Mereka masih memperdebatkan benda apa yang tak kelihatan wujud fisiknya tapi bisa memunculkan bayang-bayang.

“Bagi saya tak penting itu benda apa. Yang penting, jangan sampai di situ menjadi tempat pemujaan baru atau tempat pertapaan baru. Yang mau bertapa biarkan tetap di dalam hutan saja,” Pak Wiro berusaha menyudahi perdebatan.

“Terus kita harus bagaimana?” Paimin menyahut.

“Kita buatkan bendanya, agar bayang-bayang itu memang bayangan dari wujud bendanya. Agar orang tak berpikir aneh-aneh,” kata Sumarno.

“Tapi kita akan membuat apa di sana? Kita belum tahu itu bayang-bayang dari benda seperti apa?” sahut yang lain.

“Itu Nuroji kan pernah mondok, belajar ilmu falak, pasti bisa ngukur bayang-bayang itu. Kalau memang itu bayang-bayang sebuah benda, bisa diketahui ukurannya seperti apa,” ucap Sumarno dan semua orang memandang ke arah Nuroji. Nuroji hanya tersenyum.

“Ya, benar,” Pak Wiro menimpali. Lalu, “Biar nanti Karwo yang menggambar modelnya, kan, dia tukang bangunan, pasti bisa itu.”

“Ya, saya setuju. Besok kita ke sana lagi, kita periksa lagi. Setelah ketemu ukuran dan model bendanya, baru kita buat,” Karwo mengiyakan.

Hari berikutnya, hampir seharian, beberapa warga dusun berada di sekitar bayang-bayang tak bertuan itu. Di jalan setapak itu, Nuroji menghitung sudut dan posisi matahari, dan kemudian setelah melihat bayang-bayangnya sendiri sama persis dengan ukuran tubuhnya, ia meminta orang lain untuk membantu mengukur panjang dan lebar bayang-bayang itu. Nuroji kemudian melakukan perhitungan dan memberitahukan hasilnya. Menurut perkiraannya, tinggi bayang-bayang itu dua meter dengan lebar lima puluh sentimeter.

Dari hasil perhitungan Nuroji, Karwo kemudian mulai membuat sket, menggambar di kertas dengen pensil yang dibawanya dari rumah. Karwo menyelesaikan tugas sekitar dua jam. Gambar kasar di kertas Karwo itu menunjukkan sebuah gambar tugu lengkap dengan ukuran tinggi dan diameternya.

“Berarti kita akan membangun tugu,” kata Pak Wiro setelah melihat gambar yang dibuat oleh Karwo.

“Di sini? Di tengah jalan ini?” tanya Paimin.

“Ya, sesuai dengan hasil pengukuran dan gambarnya, agak tidak meleset,” jawab Nuroji.

Warga dusun akhirnya bersepakat, keesokan harinya akan dimulai pembangunan tugu di jalan setapak itu sesuai dengan ukuran yang dihitung Nuroji dan gambar yang dibuat oleh Karwo. Pada hari ketiga, ketika surup tiba, tugu itu pun jadi ketika bayang-bayang tak bertuan itu telah ditelan bumi. Di situ langsung diadakan selamatan sebagai tanda peresmian pembangunan tugu itu. Namun, mereka belum bisa melihat apakah tugu itu akan memunculkan bayang-bayang persis sama dengan yang mereka lihat sebelumnya.

Keesokan harinya, ketika cahaya matahari telah menyinari bumi, warga dusun sudah berkerumun mengitari tugu itu dengan jarak tertentu. Betapa takjubnya mereka, bayang-bayang yang dimunculkan oleh tugu itu sama persis dengan bayang-bayang tak bertuan yang selama ini membuat mereka penasaran. Antara tugu baru itu dengan bayang-bayangnya begitu presisi, bahkan sejak pagi hingga sore hari.

Misteri bayang-bayang tak bertuan yang akhirnya dibuatkan tugu itu tersebar dari mulut ke mulut begitu cepat, sampai ke dusun-dusun lain, sampai ke desa-desa yang jauh. Makin hari kian banyak orang yang melintasi jalan setapak itu, demi menyaksikan bayang-bayang yang semula tak bertuan itu. Banyak mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh hanya untuk menyaksikan apa yang mereka anggap sebagai keajaiban: bayang-bayangnya muncul lebih dulu ketimbang bendanya.

Keajaiban itu tentu mengundang keramaian baru. Di sekitar tempat itu mulai muncul gubuk-gubuk sederhana tempat orang berjualan minuman dan makanan, lalu juga muncul permukiman baru di lahan yang sebelumnya berupa sawah itu. Orang-orang kemudian mengenalnya sebagai desa Tugu Bayangan. Entah siapa orang yang pertama memberinya nama itu.

***

Jika suatu hari nanti menyusuri kawasan hutan Alas Purwo itu, bisa jadi Anda akan menemukan Tugu Bayangan itu, sebuah desa yang semakin hari kian ramai dan maju laiknya kota yang baru tumbuh. Kota baru yang lahir dari bayang-bayang yang gaib.

ilustrasi: sindonews.com

Multi-Page

Tinggalkan Balasan