Kaidah usul menyebut: الحكم يدور مع علته (Hukum (bersifat fleksibel) sesuai kausalitasnya (sebab-akibat) atau kondisinya). Dengan kata lain, peran santri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat juga berkembang sebagaimana hukum.
Tugas santri yang pada zaman penjajah adalah berjihad di bawah komando dan titah sang guru, kini lebih luas maknanya. Salah satunya —dari perspektif sosial— adalah menulis di media sosial.
Dari sinilah kemudian saya tergerak menulis untuk sekadar mempresentasikan keresahan itu. Saya sering menjumpai dalil-dalil tentang keislaman yang banyak dimanipulasi, diselewengkan, hingga terjadi disorientasi hukum yang konkret menurut syariat.
Ironisnya, perbedaan pendapat tersebut memicu konflik antara golongan satu dengan golongan lain. Fanatisme memicu adanya perpecahan di mana-mana. Golongan A nyinyir karena pendapat golongan B berseberangan. Karena tidak terima, golongan B membalas balik dengan yang lebih pedih.
Misalnya, di beberapa media sering kita jumpai banyak dalil mengatakan bahwa ini haram, itu haram, sedikit-sedikit haram, yang justru membuat resah kaum awam. Hukum itu bidah, ini bidah, dan apa pun yang tidak ada pada zaman rasul adalah bidah.
Padahal, bila kita kaji dalam banyak literatur agama, bidah itu dibagi menjadi beberapa macam, satu di antara adalah bidah hasanah, yaitu bidah yang baik. Salah satu bidah yang baik adalah disunahkannya salat tarawih secara berjamaah.
Untuk menjawab tantangan ini, kaum santri digadang dapat membentengi dan memandu masyarakat dengan argumen-argumen kuat yang disebar di media sosial sebagai jawaban atas keresahan masyarakat tentang hukum-hukum Islam. Kaum santri diharapkan menjadi tameng terjadinya keretakan hukum-hukum fundamental di tengah berkembangnya teknologi.
Jika dulu pada zaman Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari tugas santri adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan bacaan wirid dan bambu runcing, maka sekarang lebih ke tinta untuk menulis argumen-argumen tentang persoalan masyarakat.