Tradisi Tellasan Topak di Madura

2,109 kali dibaca

Di Madura, masyarakat muslim sangat menanti-nantikan Hari Raya Ketupat (Tellasan Topak). Terutama bagi mereka yang melakukan puasa sunah Syawal selama enam hari. Meski tidak dianjurkan di dalam Islam, Lebaran Ketupat yang jatuh setiap tanggal 7 Syawal dalam setiap tahunnya, merupakan tradisi bernapaskan Islam.

Mengapa Tellasan Topak dikatakan tidak dianjukan di dalam Islam? Karena, sebenarnya, Lebaran/Hari Raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Pada dua hari raya ini umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan salat sunah “ied” (hari raya).

Advertisements

Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau bersabda, aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu Idul Fitri  dan Idul Adha (hari Nahr).” (HR An-Nasai no 1556 dan Ahmad 3:178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana kata Syekh Syu’aib Al-Arnauth).

Meski demikian, di Indonesia, khususnya di Madura, Lebaran Ketupat diadakan sebagai tradisi turun temurun. Lebaran Ketupat, menurut Fadly Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), sudah ada sejak zaman Hindu-Budha tepatnya pada abad ke-15 sampai 16 Masehi.

Pada waktu itu, ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam di Indonesia. Karena sudah mengakar kuat itulah, Lebaran Ketupat dianggap sebagai tradisi Islam di bumi Nusantara. Sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa waktu perayaan lebaran, ketupat sendiri merupakan singkatan sebuah frasa berbahasa Jawa, yaitu “ngaku  lepat” yang artinya mengakui kesalahan. Ada juga yang mengartikan istilah itu sebagai “laku papat” yang berarti empat tindakan.

Ngaku lepat ini dilakukan dengan tradisi sungkeman kepada kedua orang tua sebagai permohonan maaf. Hal ini mengajarkan anak untuk selalu menghormati orang tua dan saling mengasihi antara mereka. Sungkeman juga dilakukan kepada sanak famili dan tetangga. Hal ini menuntun kita umat Islam agar saling memaafkan. Karena, sejatinya, manusia tidak luput dari kesalahan dan lupa. (Al-insaanu mahallul khata’ wan-Nisyan).

Laku papat yang berarti empat tindakan di sini memiliki empat arti bagi masyarakat Jawa (termasuk Madura). Pertama, lebaran yang berarti usai, menandakan bahwa puasa Ramadan telah berakhir. Kedua, adalah luberan atau melimpah seperti air yang tumpah. Luberan ini memiliki makna, bahwa  orang-orang yang mampu atau memiliki kelebihan harta berbagi kepada fakir miskin. Ketiga, yaitu leburan memiliki makna untuk meleburkan dosa dengan saling bermaaf-maafan satu sama lain. Dengan begitu, dosa yang telah diperbuat dapat melebur dan kembali suci. Dan yang keempat,  adalah laburan. Kata ini berasal dari kata labor atau kapur. Makna laburan ini adalah hati seorang muslim akan kembali jernih dan suci dengan berbagai ibadah yang telah dilakukan.

Bagi masyarakat Madura, Lebaran Idul Fitri rasanya kurang lengkap tanpa adanya hari raya ketupat.  Maka terkait hal itu, masyarakat Madura mempunyai tradisi tersendiri dalam merayakannya. Di antaranya sebagai berikut:

Per-peran

Pada hari raya ketupat, warga Pamekasan mempunyai tradisi per-peran, yakni tradisi naik kendaraan bernomor di jalan desa bersama keluarga dan semua warga setempat. Tradisi ini biasanya digelar oleh warga pesisir pantai bagian selatan Pamekasan.

Ada tiga desa di Kabupaten Pamekasan yang menggelar tradisi per-peran, yakni Desa Ambat, Desa Kramat, dan Desa Bandaran. Tiga desa ini berada di Kecamatan Tlanakan.

Pada awalnya, tradisi per-peran dikenal dengan tradisi kar-dokaran, karena kendaraan yang digunakan pada waktu itu adalah dokar. Lalu seiring dengan perkembangan transportasi modern, maka warga mulai naik becak, yang oleh masyarakat setempat disebut “per”, sehingga kemudian disebut dengan istilah “per-peran.” Hal ini diceritakan langsung oleh teman penulis bernama Muazzah, dari Kabupaten Pamekasan.

Tradisi per-peran, menurut Ice’, begitu ia disapa, merupakan tradisi yang dapat merekatkan persaudaraan sesama warga Pamekasan. Karena warga yang awalnya tidak saling mengenal menjadi kenal. Dan yang sudah kenal menjadi tambah erat.

Ketupat  Besar

Di Kabupaten Sampang, khususnya di Kecamatan Camplong, Desa Tandan merayakan Tellasan Topak (Hari Raya Ketupat) dengan membuat ketupat super jumbo atau berukuran sangat besar. Berat ketupat  tersebut mencapai bobot 10 kg.

Dalam membuat ketupat besar ini dengan cara menjahit. Cangkang ketupat tersebut menggunakan bahan dari janur siwalan. Setelah cangkang ketupat selesai dibuat, lalu warga Sampang mengisinya dengan beras seberat enam kilogram.

Ketupat besar tersebut dimasak di atas tungku menggunakan bahan bakar kayu kering. Awalnya, ketupat besar ini dibuat untuk menghormati tokoh masyarakat yang disegani masyarakat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, tradisi ini menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Sampang setiap Tellasan Topak.

Ketupat besar dibuat untuk melambangkan suatu penghormatan antar sesama warga Sampang. Belakangan, menurut Aminatut Taqiyah, warga Sampang membuat ketupat dengan bentuk unik, yakni menyerupai bebek.

Topak Ladeh

Berbeda dengan tradisi lebaran di kabupaten Pamekasan dan Sampang, di Kabupaten Bangkalan ada tradisi membuat topak ladeh. Ketupat ini oleh warga Bangkalan dibuat dengan sayur yang mirip dengan ladeh.

Ketupat ladeh yang sudah dipotong-potong lalu disirami kuah ladeh yang merupakan perpaduan santan, kelapa sangrai, dan bumbu dari rempah-rempah yang sangat khas. Di dalamnya ada potongan daging, jeroan sapi seperti usus, babat, dan paru. Ditambah lagi potongan kacang hijau atau manisa.

Sajian topak ladeh memang hanya dibuat oleh masyarakat Bangkalan saat Lebaran Ketupat. Menu yang penuh lemak ini membutuhkan waktu yang lumayan cukup lama dan cara yang rumit, sehingga masyarakat Bangkalan jarang sekali membuat topak ladeh selain pada hari raya ketupat.

Topak ladeh dengan rempah-rempah yang bermacam-macam tersebut mempunyai filosfi yang menggambarkan sifat,  karakter dan kebiasaan manusia yang bermacam-macam. Namun meskipun demikian, mereka tetap bersatu dalam ikatan persaudaraan antar sesama warga Bangkalan secara khusus dan sesama umat Islam secara umum.

Pesta Ketupat

Di Sumenep, tempat penulis tinggal, ada tradisi Pesta Ketupat. Di kota yang berada di paling ujung timur Pulau Madura ini juga mempunyai wisata pantai yang cukup banyak. Oleh karenanya, wajar jika Pemerintah Kabupaten Sumenep hampir setiap tahun Lebaran Ketupat (kecuali pada masa pandemi Covid-19) menyelenggarakan Pesta Ketupat bersama masyarakat Sumenep di beberapa destinasi wisata. Destinasi wisata yang paling sering dijadikan tempat pesta ketupat adalah Pantai Lombang dan Pantai Salopeng. Pada Lebaran tahun ini (2022 M/1443 H), kegitan tersebut diselenggarakan kembali.

Dalam pesta ketupat ini biasanya dimeriahkan oleh sajian hiburan Nusantara, mulai dari penampilan tari hingga musik nasional dan tradisional. Di antara kesenian khas Kabupaten Sumenep yang  biasanya diselenggarakan pada pesta ketupat adalah penampilan musik Tong-tong, Jaran Serek, Topeng Dalang, Sintung, Tari  Topeng, dan Tari Muang Sangkal. Tak ketinggalan, didatangkan pula orkes dangdut (sebagai warisan budaya tak benda asli Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO) untuk memeriahkan acara tersebut.

Selain itu, di tempat-tempat wisata ini warga Sumenep kerap menikmati sajian ketupat di pinggiran pantai atau di rest area bersama keluarga dan sanak famili, bahkan para tetangga dekat dan jauh sambil menikmati suasana pantai dengan bermain pasir, menunggang kuda dan naik perahu.

Pesta Ketupat menurut Hananah (warga Sumenep), merupakan momen yang dinanti-nantikan dalam setiap tahunnya, karena di sana ia dapat berkumpul dan bergembira bersama sanak famili dan para tetangganya. Menurutnya, hal itu jarang sekali dinikmati pada hari-hari lain di luar Lebaran Ketupat karena kesibukan masing-masing.

Tradisi Tellasan Topak di Madura sudah semestinya dijaga dan dilestarikan secara terus menerus dan turun temurun karena didalamnya mengandung banyak sekali kebaikan dan nilai filosofis mendalam. Semoga bermanfaat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan