Dari berbagai tempat di Asia Tenggara, manuskrip dalam bentuk mushaf merupakan jenis naskah yang paling banyak disalin oleh para ulama pada masa lampau. Alasannya adalah kedudukan kitab Al-Quran yang begitu penting dalam masyarakat muslim, baik sebagai pedoman hidup atau sebagai medium dalam penyebaran ajaran-ajaran yang tertulis di dalamnya.
Semaraknya kegiatan penyalinan mushaf ini dikarenakan kaum muslim tidaknya hanya dituntut membacanya, tetapi juga harus memiliki mushaf tersebut. Tradisi seperti ini tampaknya sangat lazim diterapkan pada masa lampau. Dalam Hikayat Abdullah yang ditulis abad ke-19, Abdullah mendeskripsikan bahwa orang Islam sedari kanak-kanak sudah mengaji dan belajar menyalin ayat-ayat suci Al-Quran.
Mushaf di sini ditempatkan dalam pengertian kitab yang berisi ayat-ayat Al-Quran yang dikumpulkan atau dibukukan secara sistematik dan teratur, yang mengarahkan pada tradisi menyalin dan menulis Al-Quran pada masa lampau.
Salah satu kecenderungan penyalinan mushaf dan ayat-ayat suci Al-Quran lainnya adalah menghiasi bagian pinggir dari halaman awal atau akhir. Instrumen hias ini lebih dikenal dengan iluminasi, yang berarti menyebutkan hiasan dalam naskah, atau gambar dalam naskah (Kamus Filologi, 2018).
Beberapa ragam hias mushaf yang akan dijelaskan di sini dengan mengambil masing-masing satu naskah dari Jawa Barat, Aceh, Thailand Selatan, dan Trengganu (Malaysia). Pembahasan ini hanya sebagian kecil dari keragaman ragam hias yang ada, sehingga tidak merepresentasikan sepenuhnya akan keragaman dan keindahan mushaf di negara-negara Asia Tenggara.
Jawa Barat
Salah satu mushaf dari Jawa Barat yang menarik dalam pembahasan ini adalah mushaf koleksi Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Kabupaten Subang. Naskah yang ditulis menggunakan kertas Eropa ini diketahui berasal dari tahun 1283 Hijriah atau 1866 Masehi. Keterangan tersebut ditemukan bagian akhir yang tertulis sebagai berikut.