Toleransi di Kampung Sawah Bekasi

400 kali dibaca

Malam Ahad (4/11/2023), saya memenuhi undangan ulang tahun ke-25 Gereja Kristen Jawa di Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Baru sampai parkiran, suasana ramah langsung menyergap, tepatnya ketika anak-anak kecil yang sedang bermain itu menyapa.

“Ini Pak Ustaz ya?” “Eh ada Pak Ustaz.” “Pak Ustaz Islam ya.” Begitu mereka yang tiba-tiba mengerubungi saya.

Advertisements

“Kok tahu?” jawab saya sambil mengelus-elus kepala mereka.

“Tahu dong, kan makai sarung,” jawab mereka polos.

Respons anak-anak ini menunjukkan sudah tidak asing dengan kehadiran orang muslim. Mereka tidak ada rasa curiga apalagi takut, padahal jelas tampak perbedaan yang mencolok di antara kami; ya saya Islam dan mereka Kristen, tapi mereka enjoy, friendly, nampak sudah ada harmoni di antara perbedaan yang ada.

Di teras gereja, sudah menunggu pendeta-pendeta. Sore sebelumnya saya memang sudah datang di gereja ini untuk mengantar tumpeng kiriman Pak Hery dan Pesantren Aksara Pinggir, sekaligus menyampaikan permohonan maaf karena Pak Hery selaku pengasuh Pesantren Aksara berhalangan hadir dan diwakili saya. Maka ketika bakda maghrib bertamu lagi, saya disambut hangat.

Setelah itu saya diarahkan ke tempat duduk khusus tamu undangan. Tidak lama kemudian, Romo Eko, pendeta dari Gereja Servatius Kampung Sawah, menghampiri saya, sekaligus duduk di samping saya. Romo yang juga seorang penulis aktif dan mantan jurnalis ini berbincang-bincang banyak dengan saya, tentu sambil mengikuti khidmatnya acara.

Ternyata yang muslim di acara itu tidak hanya saya. Ada Kiai Muqorobin, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bekasi, Kiai Ramadhin Afif dari Ponpes Yasfi, Bu Lurah dan beberapa lainya.

Setelah acara selesai, tamu undangan diarahkan ke sebuah gazebo untuk sarasehan. Sekali lagi, chemistry para tokoh lintas agama di Kampung Sawah ini teramat harmoni, sudah di atas level toleransi. Terlihat dari obrolan yang begitu akrab dan banyak tawa, nyaris tiada obrolan yang mengernyitkan dahi.

Interakasi hangat saya dengan non-muslim tidak hanya malam itu. Beberapa waktu sebelumnya saya juga pernah diundang ke acara ulang tahun Gereja Katolik Servatius yang berdiri sejak abad ke-19 itu. Juga pernah diundang untuk mengisi sebuah acara di SMA Katolik Pangudiluhur, yang kesemuanya mewakili Pesantren Aksara Pinggir.

Saling mengundang ini sudah menjadi tradisi di Kampung Sawah. Maka tidak salah ketika kami, Pesantren Aksara Pinggir, pada acara Maulid Nabi juga mengundang sesepuh-sesepuh lintas agama. Selain itu, Pesantren Aksara juga kerap menerima tamu non-muslim dengan niat dan tujuannya masing-masing.

Menurut Romo Eko, toleransi di Kampung Sawah inilah yang mengantarkan Bekasi menjadi Kota nomor tiga paling toleran di Indonesia dengan indeks 6.080 versi Setara Institut. Romo Eko kerap menyatakan kepada kami, bahwa level Kampung Sawah bukan lagi toleransi, melainkan harmoni. Karena, kalau toleransi berarti ada yang ditoleransi, ada yang menoleransi. Tapi di Kampung Sawah sudah menjadi sesuatu yang alami, tanpa ada intervensi maupun paksaan.

Fenomena sosial di Kampung Sawah ini merupakan pengalaman tersendiri bagi saya yang sepuluh tahun hidup di lingkungan homogen, pondok pesantren, kemudian saya harus diterjunkan di tempat yang super heterogen ini. Fenomena sosial Kampung Sawah ini juga mengajari saya, bahwa untuk mempelajari dinamika sosial di Indonesia, tidak cukup dari kajian pustaka di pondok pesantren atau ruang-ruang perpustakaan, melainkan harus terjun dan ikut merasakan di dalamnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan