Tolak Badriyah (Bagian 1)

2,296 kali dibaca

Menjelang pergantian tahun ajaran, beberapa santri baru diantar oleh keluarga masing-masing untuk mondok di pesantren kami. Di daerah kami, ada kebiasaan di mana pengantaran santri mondok dilakukan oleh banyak orang. Satu orang santri diantar tidak saja oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah dan ibu serta saudara kandung, tetapi juga oleh keluarga nenek dan kakek dari ayah ibu masing-masing, ditambah paman-bibi-keponakan baik dari jalur ayah maupun ibu. Kadang-kadang, tetangga dekat rumah pun turut mengantar juga ke pesantren. Sehingga, dalam pengantaran satu santri, ada sekitar 50-an tamu yang turut serta mengantar dan bahkan seringkali lebih banyak dari itu. Meskipun pesantren di tempat kami tidak besar-besar amat, tetapi setiap tahunnya selalu ada saja santri baru yang mendaftar. Jumlah total santri putri paling sekitar 40-an orang dan santri laki-laki sekitar 20-an orang saja.

Hari itu, di hari terakhir pendaftaran santri baru, ketika semua orang sudah begitu lelah melayani tamu-tamu yang mengantarkan santri baru sejak pagi, khususnya santri dapur yang harus selalu cekatan membuatkan minum, kudapan, dan makan berat, terdengar suara salam lagi dari halaman. Puluhan tamu dengan usia beragam datang mengantarkan salah satu kerabat mereka yang ingin mulai mondok; seorang perempuan kecil yang tampak sedikit ganjil bagi kami. Perempuan itu baru berusia sekitar 12 tahun. Wajahnya lebar berbentuk nyaris kotak, matanya bulat besar, hidungnya pesek melesak ke dalam. Satu hal yang membuat kami sedikit tersihir dengan wajahnya adalah senyum yang tidak pernah meninggalkan sepasang bibirnya.

Advertisements

Keluarga kami menyambut kedatangan santri baru yang mendaftar di pengujung hari terakhir pendaftaran itu dengan senang hati. Mbah dan ummi asyik mengobrol dengan para tamu yang mengantarkan santri tersebut, sementara saya lebih sering bolak-balik ke dapur untuk memastikan jumlah cangkir teh sudah sesuai dengan jumlah tamu yang hadir. Setelah mengobrol, menikmati kudapan, dan makan, para tamu itu berpamitan sambil memasrahkan si santri baru. Begitu semua tamu berpamitan, sayup-sayup, saya menangkap suara mbah yang ditujukan pada pengurus pondok putri untuk memperlakukan santri ini secara khusus, karena “dia agak spesial” begitu tutur beliau.

Karena saya sibuk dengan perkuliahan, apalagi sudah menjelang masa-masa skripsi, saya mulai jarang berurusan dengan pondok putri, hingga suatu sore, ketika saya sedang khusyuk mengetik proposal skripsi di kamar, saya mendengar suara bentakan nyaring dari halaman samping. Saya langsung melongokkan kepala untuk mencari tahu apa yang terjadi. Saya melihat salah seorang sepupu saya sedang menceramahi seorang santri tentang adab kepada orang tua. Bagaimana ia harus menunduk dan jangan mengangkat kepala di hadapan orang tua. Bagaimana ia harus berbicara menggunakan bahasa krama paling halus atau krama inggil. Bagaimana ia harus bersuara pelan dan tidak berteriak. Lalu saya berpaling ke arah santri yang sedang diceramahi dan tertegun melihat wajahnya. Iya, wajah itu, wajah lebar nyaris kotak, sepasang mata yang bulat dan besar, dan hidung pesek yang melesak ke dalam. Serta senyum yang tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ia santri baru yang diantarkan di hari terakhir pendaftaran santri baru sebelum ditutup.

Saya memanggil salah seorang santri yang sedang menyapu dari jendela.

“Mbak, itu siapa namanya yang sedang diceramahi Ning Arum?”

“Oh, itu namanya Tolak, Ning…”

“Tolak?” saya mengernyit.

“Anu Ning, nama aslinya Badriyah. Tetapi dipanggil Tolak. Dia sendiri yang meminta begitu.”

Saya mengangguk-angguk dan menyuruh santri itu untuk melanjutkan menyapu dengan isyarat tangan. Saya tertegun sejenak dan bergidik. Panggilan “Tolak” punya cerita yang panjang di daerah kami. Lalu, saya memandang perempuan itu lagi dari kejauhan. Tolak Badriyah.

Gambar: Eva Maulidiyah

Multi-Page

Tinggalkan Balasan