Toa dan Wajah Kita

2,780 kali dibaca

Dulu, semasa masih menjadi santri langgaran, kami menyebutnya corong. Atau juga halo-halo. Sekarang, orang-orang menyebutnya toa.

Sesungguhnya, Toa adalah merek paling popular dari pengeras suara (loudspeaker atau megaphone) yang diproduksi di Jepang. Begitu popularnya, hampir semua masjid atau musala di Indonesia menggunakan pengeras suara bermerek Toa ini. Karena itu, orang-orang kemudian menyebut pelantang suara ini dengan istilah toa.

Advertisements

Sebagai santri langgaran, corong itulah salah satu daya tarik kami lebih sering, atau lebih senang, berada di masjid atau musala ketimbang di rumah —lebih-lebih ketika bulan puasa tiba. Kami sering berebut halo-halo, mic/microhpone maksudnya, untuk mengumandangkan azan.

Mic adalah salah satu benda yang sering kami perebutkan di masjid atau musala selain pemukul beduk. Berebut menabuh beduk yang menjadi penanda waktu-waktu salat telah tiba adalah keasyikan lain lagi bagi kami anak-anak langgaran.

Keasyikan akan bertambah-tambah ketika Ramadan tiba. Sebab, menjelang atau setelah tarawih berjamaah, durasi penabuhan beduk boleh lebih lama. Di sanalah kami berebut tongkat dan menabuh beduk beramai-ramai. Sebuah permainan yang mengasyikkan.

Usai acara pemukulan beduk, kami biasanya akan berebut duduk di lantai melingkari meja bersegi panjang berkaki pendek. Di atas meja itu sudah tersedia beberapa eksemplar Al-Quran dan, tentu saja, teronggok sebuah halo-halo itu, mic itu. Pada mic itulah seluruh perhatian kami tertuju; menunggu giliran memegangnya, dan dengan hati berdebar-debar membuka mulut, mendaras Al-Quran, lalu senang dan bangga ketika suara kami terpancar keras-keras melalui toa, didengar kuping semua orang dari rumah-rumah yang jauh.

Namun, ada saat-saat yang membuat kami kehilangan gairah. Waktu itu, belum semua masjid atau musala atau rumah-rumah penduduk teraliri listrik. Jadi, untuk menghidupkan si toa itu, kami menggunakan aki. Di tengah tadarus, misalnya, ketika setrum aki abis, si toa tak bisa melantangkan suara, maka kami berhenti tadarus. Kurang asyik jika tadarus tanpa pelantang suara. Begitu juga dengan azan atau iqomah. Kami tak lagi berebut azan dan iqomah jika halo-halo itu sedang tak berfungsi.

Tapi, sungguh, itu cerita kanak-kanak di masa lalu. Kami melakukan untuk sebuah keasyikan permainan. Sebab, bagi kanak-kanak, termasuk para santri langgaran, semua adalah bagian dari permainan.  Dosa dan pahala masih jadi ikhwal sulit dipahami. Apalagi yang disebut jihad dan syiar agama.

Tak terbayang waktu itu bahwa penggunaan toa, pelantang suara, di masjid-masjid atau musala-musala, adalah bagian dari syiar agama. Sama absurdnya jika penggunaan toa di masjid-masjid atau musala-musala saat ini dilihat dari kaca mata masa itu; betapa tiba-tiba toa menjadi identik dengan syiar agama. Nun di sana terbayang ada surga dan neraka.

Hari-hari ini, melarang penggunaan toa sama artinya dengan melarang orang beragama. Mengatur penggunaan toa sama artinya dengan membatasi orang beribadah. Siapa yang berani bicara tentang si toa ini akan dicap sebagai orang yang fobia pada syiar dan kejayaan Islam. Bahkan akan dikelompokkan ke dalam barisan orang-orang kafir.

Itulah kenapa di banyak tempat sering terjadi insiden, gesekan sosial, pertengkaran, dan masalah hukum lainnya hanya gara-gara penggunaan toa di tempat-tempat ibadah. Tak hanya di Indonesia, di sejumlah negara juga mengalami hal yang sama. Hingga, Arab Saudi pun, yang menjadi rujukan umat Islam dunia, baru-baru ini terpaksa mengeluarkan larangan penggunaan toa secara sembarangan. Pelantang suara ini hanya boleh digunakan untuk azan dan iqomah, itu pun dengan batasan pada volume tertentu agar tidak menimbulkan kebisingan. Aturan itu disertai dengan ancaman sanksi yang cukup keras.

Lain Arab Saudi, lain di sini. Di sini, kita pura-pura budek, pura-pura tak pernah mendengar bahwa ada sejumlah negara Islam yang sudah membuat aturan ketat soal penggunaan pelantang suara di tempat-tempat ibadah dengan tujuan untuk menjaga tertib sosial. Kita tetap merasa bahwa toa adalah bagian dari syiar, yang tanpanya Islam akan tenggelam. Kita lupa si toa ini datang dari mana.

Itulah yang membuat saya bingung ketika harus menjawab suara azan yang bersahut-sahutan, beradu lantang dari segala penjuru. Sebingung saya membandingkan masa kanak-kanak dulu dengan sekarang. Dulu itu si toa ini untuk senang-senang dan gagah-gagahan anak-anak langgaran. Entahlah sekarang.

Multi-Page

One Reply to “Toa dan Wajah Kita”

Tinggalkan Balasan