Toa dan Wajah Kita

2,760 kali dibaca

Dulu, semasa masih menjadi santri langgaran, kami menyebutnya corong. Atau juga halo-halo. Sekarang, orang-orang menyebutnya toa.

Sesungguhnya, Toa adalah merek paling popular dari pengeras suara (loudspeaker atau megaphone) yang diproduksi di Jepang. Begitu popularnya, hampir semua masjid atau musala di Indonesia menggunakan pengeras suara bermerek Toa ini. Karena itu, orang-orang kemudian menyebut pelantang suara ini dengan istilah toa.

Advertisements

Sebagai santri langgaran, corong itulah salah satu daya tarik kami lebih sering, atau lebih senang, berada di masjid atau musala ketimbang di rumah —lebih-lebih ketika bulan puasa tiba. Kami sering berebut halo-halo, mic/microhpone maksudnya, untuk mengumandangkan azan.

Mic adalah salah satu benda yang sering kami perebutkan di masjid atau musala selain pemukul beduk. Berebut menabuh beduk yang menjadi penanda waktu-waktu salat telah tiba adalah keasyikan lain lagi bagi kami anak-anak langgaran.

Keasyikan akan bertambah-tambah ketika Ramadan tiba. Sebab, menjelang atau setelah tarawih berjamaah, durasi penabuhan beduk boleh lebih lama. Di sanalah kami berebut tongkat dan menabuh beduk beramai-ramai. Sebuah permainan yang mengasyikkan.

Usai acara pemukulan beduk, kami biasanya akan berebut duduk di lantai melingkari meja bersegi panjang berkaki pendek. Di atas meja itu sudah tersedia beberapa eksemplar Al-Quran dan, tentu saja, teronggok sebuah halo-halo itu, mic itu. Pada mic itulah seluruh perhatian kami tertuju; menunggu giliran memegangnya, dan dengan hati berdebar-debar membuka mulut, mendaras Al-Quran, lalu senang dan bangga ketika suara kami terpancar keras-keras melalui toa, didengar kuping semua orang dari rumah-rumah yang jauh.

Namun, ada saat-saat yang membuat kami kehilangan gairah. Waktu itu, belum semua masjid atau musala atau rumah-rumah penduduk teraliri listrik. Jadi, untuk menghidupkan si toa itu, kami menggunakan aki. Di tengah tadarus, misalnya, ketika setrum aki abis, si toa tak bisa melantangkan suara, maka kami berhenti tadarus. Kurang asyik jika tadarus tanpa pelantang suara. Begitu juga dengan azan atau iqomah. Kami tak lagi berebut azan dan iqomah jika halo-halo itu sedang tak berfungsi.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

One Reply to “Toa dan Wajah Kita”

Tinggalkan Balasan