Titik Nadir

1,696 kali dibaca

Matahari mulai bersandar di kaki langit. Semburat cahaya merah jingga menghias senja, berebut ruang dengan sorot lampu-lampu neon yang menerangi sudut-sudut jalan, sudut-sudut rumah, dan tiap sudut-sudut gelap. Jalanan tak pernah sepi. Mobil-mobil susul-menyusul melintas, saling berebut sudut-sudut ruang, saling berebut sudut-sudut waktu. Gerak manusia juga semakin cepat, saling berebut tiap sudut kehidupan. Mereka berpacu meniti hari, menjemput sejuta mimpi, menyusul sejuta yang mati.

Perempuan yang berada di dalam taksi yang sedang meluncur di jalanan itu adalah yang juga sedang berada di tengah gerak-pacu, menjemput sejuta mimpi, menyusul sejuta yang mati. Di dalam taksi bersama sopir yang baru beberapa hari dikenalnya itu, dia sedang berebut sudut-sudut ruang, sudut-sudut waktu, dan setiap sudut kehidupan. Sebagaimana jalannya taksi yang hendak membawanya ke arah yang dituju, perempuan itu beringsut atau bergeser ke lain tempat jika ruang yang dituju tak lagi kosong. Perempuan itu akan mempercepat atau memperlambat gerak langkahnya, jika tidak ada lagi sudut-sudut waktu yang dituju. Perempuan itu sering menekan sejumlah keinginannya, bila banyak orang telah menguasai sejumlah hal yang diinginkannya. Perempuan itu memang hanya bisa berebut, tetapi tidak banyak hal yang bisa ia kuasai.

Advertisements

“Kita akan menuju ke arah mana?” tanya Suparto saat memperlambat laju taksinya dua ratus meter menjelang persimpangan.

“Aku ingin lekas istirahat, carilah hotel terdekat,” sahut Yumna sambil menyandarkan kepala dan meluruskan kakinya. Selain kondisi tubuhnya lelah karena sejak pagi buta telah berjalan menyusuri sudut-sudut ruang untuk sebuah harapan, perempuan itu juga merasa jenuh lantaran lama menunggu jemputan Suparto yang begitu lambat. Sehingga, untuk waktu yang lama Yumna harus berdiri mematung di sebuah trotoar, di mana sopir taksi itu harus menjemputnya.

Sesampai di sebuah hotel, mereka langsung memesan kamar. Dan, Yumna memang benar-benar ingin istirahat, membuang segala lelah, membuang segala keluh-kesah. Suparto, yang belum banyak mengenal jati diri perempuang yang sedang berbaring lesu di sisinya itu, hanya memandangi dan sesekali matanya menerawang. Memang, bagi orang-orang seperti Suparto, jati diri untuk setiap perempuan yang biasa dikencani tidaklah penting. Hanya, di matanya, Yumna memang berbeda dari sekian perempuan yang pernah tidur bersamanya.

Yumna bukanlah pelacur, yang mau bergumul dengan setiap lelaki untuk sesuap nasi. Yumna hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang sedang mencari dasar pijak yang kokoh untuk kedua kakinya. Kaki yang terombang-ambing derasnya gelombang kehidupan. Dan, sepertinya Suparto memahaminya, sehingga ia tidak memperlakukan Yumna sebagai perempuan nakal. Mereka berada di kamar hotel bukan karena telah mengadakan transaksi seks, melainkan sekadar untuk beristirahat, membuang segala lelah, membuang segala keluh-kesah, meskipun pada akhirnya mereka intim juga.

***

Ketika rambatan malam sampai pada puncaknya, Yumna terjaga dari tidurnya. Lelaki yang terbaring di sisi kanannya, dibiarkannya lelap dalam tidur. Setelah menyibak selimut, perlahan Yumna turun dari ranjang, dengan punggung dan kaki yang masih dibiarkan telanjang. Setelah melangkah perlahan ke segenap arah, perempuan itu memilih duduk terpaku, sebab untuk kembali naik ranjang, kantuk tak lagi datang. Lama sekali perempuan itu duduk mematung. Dengan itu, malam terasa semakin senyap. Hanya desah napas Suparto, yang mungkin dipacu oleh sejumlah mimpi, dan suara detak jantungnya sendiri, yang mampu ia tangkap dengan jelas.

Pandangan perempuan itu beralih ke ranjang, mendapati sesosok tubuh yang membujur lesu. “Kenapa dalam tidurmu pun, kau masih tampak gelisah,” katanya dalam hati. Sambil menahan senyum sinisnya, perempuan itu beranjak, perlahan melangkah ke arah jendela. Dari jendela kamar yang berada di lantai ketiga itu, Yuma melepas pandang: kota tidur dalam selimut malam. Hanya lampu-lampu yang terjaga, mengaburkan cahaya bulan. Perempuan itu melihat dadanya yang masih telanjang, dipercantik cahaya bulan yang menerobos dari celah kelambu yang tersibak tangan. Dari jendela itu, Yumna menebar pandang ke sudut-sudut ruang, ke sudut-sudut kota, sejauh daya jangkau pandangan matanya.

Di sudut-sudut ruang, di sudut-sudut kota yang terjangkau mata, Yumna merasa tidak menemukan tempat yang mau menerima kehadirannya. Dalam tidurnya kota yang diselimuti malam pun, terasa tak ada sudut-sudut kehidupan yang mau menerima keberadaannya. Perempuan itu menarik napas panjang. “Ya, kalau memang setiap sudut ruang, kalau memang setiap sudut kehidupan, tak sudi menerima dan mengakui keberadaanku, kenapa aku memaksakan diri untuk hidup di kota ini,” Yumna berucap lirih.

Dalam kebisuan selimut malam yang juga tak menjanjikan banyak hal, perempuan akhirnya menyadari bahwa keputusannya untuk meninggalkan tanah kelahirannya hampir setahun lalu itu memang bukan untuk berebut sudut-sudut ruang, sudut-sudut waktu, dan setiap sudut kehidupan kota. Dada telanjangnya yang sedari tadi membusung menahan gejolak hati, kini mulai mengendur. Semangatnya untuk merebut sebuah sudut kehidupan di kota mulai reda. Terlintas dalam benaknya, sebuah dusun di kaki gunung yang asri, yang lebih banyak menjanjikan kenyamanan hidup.

“Ya, kenapa aku harus ikut berebut sudut-sudut waktu dan setiap sudut kehidupan bila akhirnya aku toh tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menguasainya,” guman Yumna, mengengadahkan wajah, menatap langit malam yang menua.

Yumna juga mulai teringat ayah, ibu, dan adik lelakinya yang masih baru trantanan saat ditinggal pergi. Akhirnya Yumna bertekad, paling tidak pada akhir pekan sudah harus pulang kampung. Dengan begitu, ia akan bisa kembali membantu orangtuanya menanam atau memanin padi. Adik lelakinya akan diajarinya mengeja alif, ba, ta… sebagaimana dulu pernah diajarkan ibunya kepadanya. Sesuai shalat subuh, ia akan menyusuri jalan setapak menuju sungai yang airnya bening. Di sana ia akan mencuci pakaian, dan berendam mandi pagi. Namun, ketika ingatannya terpusat pada sungai yang airnya bening itu, tiba-tiba mata Yumna membelakak, nanar, dadanya membusung naik turun, dan tangannya terkepal membatu.

Yumna teringat saat-saat paling memilukan dalam hidupnya, di mana dalam sekejap masa depannya terampas dan terkoyak. Bukan hanya itu, keberadaannya sebagai seorang perempuan telah tercerabut. Ia telah kehilangan segalanya. Kehilangan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya adalah seseorang yang patut diakui sebagai perempuan. Dengan gigi yang bergemeretak, perempuan yang punggung dan kakinya masih dibiarkan telanjang itu teringat akan ketidakmampuannya mempertahankan segalanya. Saat pagi masih buta, saat dirinya berendam mandi pagi sehabis mencuci pakaian, tiba-tiba dari arah yang tak diketahuinya seseorang dengan beringasnya menyerbu, mendekap, dan akhirnya merampas kesuciannya sebagai seorang gadis.

Tak seorang pun yang mengetahui peristiwa memilukan itu, kecuali dirinya dan sang durjana. Karena itu, ketika berpamitan hendak pergi ke kota, orangtuanya tak menaruh rasa curiga sedikit pun. Sesungguhnya Yumna berangkat ke kota bukan untuk mengadu nasib —berebut sudut-sudut ruang, berebut sudut-sudut waktu, dan berebut setiap sudut kehidupan— seperti alasan disampaikan kepada orangtuanya ketika berpamitan. Ia berangkat ke kota lantaran tak kuasa menahan amarah dan dendamnya terhadap Marji, lelaki yang telah merobek batas-batas kesuciannya. Amarah dan dendamlah yang sebenarnya menuntun langkah perempuan itu menyusuri jalan berebut sudut-sudut ruang, sudut-sudut waktu, dan setiap sudut kehidupan kota. Dan tiap arah dari langkah kakinya yang dituntun amarah dan dendam itu hanya memiliki satu tujuan: membunuh lelaki yang telah membuat kelabu masa depannya.

Namun, apa yang didapat? Meskipun telah sekitar setahun menyusuri sudut-sudut kota di mana, konon, Marji menyembunyikan diri, perempuan itu tak pernah berhasil mengendus jejaknya. Akhirnya, mau tak mau, Yumna harus mengikuti arus deras gerak masyarakat urban, berebut sudut-sudut ruang, berebut sudut-sudut waktu, dan berebut setiap sudut kehidupan kota.

“Tidak! Tidak boleh aku pulang. Karena di sana juga tidak akan ada sudut-sudut ruang yang sudi menerima kehadiranku,” tiba-tiba Yumna mengerang, berbalik memunggungi jendela.

“Biadab!” ia berteriak karena merasa melihat sosok Marji sedang terbujur tidur dalam gelisah. Dengan gerakan cepat, Yumna telah menggenggam sebilah pisaun yang selalu disimpan dalam tas pinggangnya. Ia tak kuasa lagi mempertahankan kesadarannya, sebab amarah dan dendam telah merebut sudut-sudut ruang kemanusiaannya yang paling dalam. Dan, ketika azan subuh merobek perut malam, darah segar seorang sopir taksi yang sedang tidur dalam gelisah mengucur dari luka perutnya yang nganga. Saat sinar matahari mulai menerangi kaki langit, satu nyawa telah melayang dari gerak tangan ringkih seorang perempuan yang tak memiliki kekuatan apa pun untuk menguasai dirinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan