Titik Nadir

1,680 kali dibaca

Matahari mulai bersandar di kaki langit. Semburat cahaya merah jingga menghias senja, berebut ruang dengan sorot lampu-lampu neon yang menerangi sudut-sudut jalan, sudut-sudut rumah, dan tiap sudut-sudut gelap. Jalanan tak pernah sepi. Mobil-mobil susul-menyusul melintas, saling berebut sudut-sudut ruang, saling berebut sudut-sudut waktu. Gerak manusia juga semakin cepat, saling berebut tiap sudut kehidupan. Mereka berpacu meniti hari, menjemput sejuta mimpi, menyusul sejuta yang mati.

Perempuan yang berada di dalam taksi yang sedang meluncur di jalanan itu adalah yang juga sedang berada di tengah gerak-pacu, menjemput sejuta mimpi, menyusul sejuta yang mati. Di dalam taksi bersama sopir yang baru beberapa hari dikenalnya itu, dia sedang berebut sudut-sudut ruang, sudut-sudut waktu, dan setiap sudut kehidupan. Sebagaimana jalannya taksi yang hendak membawanya ke arah yang dituju, perempuan itu beringsut atau bergeser ke lain tempat jika ruang yang dituju tak lagi kosong. Perempuan itu akan mempercepat atau memperlambat gerak langkahnya, jika tidak ada lagi sudut-sudut waktu yang dituju. Perempuan itu sering menekan sejumlah keinginannya, bila banyak orang telah menguasai sejumlah hal yang diinginkannya. Perempuan itu memang hanya bisa berebut, tetapi tidak banyak hal yang bisa ia kuasai.

Advertisements

“Kita akan menuju ke arah mana?” tanya Suparto saat memperlambat laju taksinya dua ratus meter menjelang persimpangan.

“Aku ingin lekas istirahat, carilah hotel terdekat,” sahut Yumna sambil menyandarkan kepala dan meluruskan kakinya. Selain kondisi tubuhnya lelah karena sejak pagi buta telah berjalan menyusuri sudut-sudut ruang untuk sebuah harapan, perempuan itu juga merasa jenuh lantaran lama menunggu jemputan Suparto yang begitu lambat. Sehingga, untuk waktu yang lama Yumna harus berdiri mematung di sebuah trotoar, di mana sopir taksi itu harus menjemputnya.

Sesampai di sebuah hotel, mereka langsung memesan kamar. Dan, Yumna memang benar-benar ingin istirahat, membuang segala lelah, membuang segala keluh-kesah. Suparto, yang belum banyak mengenal jati diri perempuang yang sedang berbaring lesu di sisinya itu, hanya memandangi dan sesekali matanya menerawang. Memang, bagi orang-orang seperti Suparto, jati diri untuk setiap perempuan yang biasa dikencani tidaklah penting. Hanya, di matanya, Yumna memang berbeda dari sekian perempuan yang pernah tidur bersamanya.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan