Peringatan Hari Santri 2023 dan launching buku karya santri.

Tirakat Literasi Santri Baitul Kilmah

401 kali dibaca

“Sopo Sing Gelem Tirakat, Bakale Keramat” ‑Anonymous‑

Bagi santri, sebutan tirakat tak asing di benaknya. Sebab, kata tirakat yang merupakan penjawaan dari kata thariqah (jalan yang dilalui), memiliki makna tersendiri pada santri. Tirakat boleh didefinisikan sederhana sebagai bentuk lakon khusus agar seorang santri dipermudah dalam hajatnya baik itu berupa kecerdasan, ilmu yang manfaat, kesabaran, hafalan yang kuat, dan sebagainya.

Advertisements

Maknanya, tirakat itu merupakan serangkai laku yang harus dikerjakan oleh santri sebagai bentuk penempaan ruhani dan jasmani. Penempaan ruhani berupa menjaga diri dari syahwat negatif yang menggebu. Sedang penempaan jasmani bisa beupa ketahanan diri agar tak melangkah kepada hal-hal yang maksiat.

Tirakat ada bermacam-macam. Dalam beberapa pesantren ada yang melakukan tirakat dengan menjaga sholat berjamaah misalnya, sebagian lagi ada yang dengan cara puasa senin-kamis, ada lagi yang puasa dawud, membaca hizib atau wirid 40 hari, dan lain sebagainya.

Namun sebenarnya dimensi tirakat amatlah luas. Tak bisa kita reduksi maknanya dalam kategori yang begitu-begitu saja; puasa, wirid, dll. Sebab masing-masing santri punya bentuk laku tirakat sendiri.

Katakanlah Mbah KH Maimoen Zubair. Beliau pernah dawuh bahwa tirakat santri tak perlu aneh-aneh, dengan belajar yang tekun itu saja sudah tirakat berat. Dari situ kita bisa memahami bahwa dawuh Mbah Moen adalah menekankan santri agar tak terlibat laku tirakat yang aneh-aneh; puasa mutih, ngrowot, atau wirid malam misalnya. Tapi menekankan pada proses belajar santri seperti hafalan, keistqamahan nderes kitab, tak meninggalkan pengajian. Itu saja, dengan begitu santri tersebut bisa merengkuh hasil tirakatnya.

Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Bantul, Yogyakarta yang diasuh oleh sastrawan nasional Kiai Aguk Irawan MN, memiliki tirakat yang unik untuk memberdayakan santrinya. Apa tirakat santri Baitul Kilmah?

Mengutip kata Gus Dur, “Tirakat santri yang paling utama adalah membaca, ibadah santri yang paling membekas adalah menulis.”

Di Baitul Kilmah para santri diberdayakan untuk membiasakan baca tulis. Tak ada hari tanpa membaca, tak ada waktu tanpa menulis. Barangkali itu motto yang tepat untuk santri di sini. Santri Baitul Kilmah memang diberdayakan untuk cinta terhadap kegiatan baca tulis. Bukan tanpa alasan mengapa pesantren ini mengutamakan baca tulis sebagain main branding.

Ada beberapa alasan. Pertama, baca tulis adalah warisan ulama salaf. Kita bisa berkaca pada kebesaran khazanah Islam zaman dulu. Banyak ulama yang arif dan bijak dengan produktivitas menulisnya. Abu Hamid Al Ghozali, Ibnu Sina, Ibnu Katsir, Imam At-Thabari, dan lainnya. Mereka adalah sederet nama yang masyhur sebab karya tulisnya yang terus dikaji sepanjang zaman.

Kedua, membaca adalah perintah Allah yang utama dan pertama. Wahyu pertama yang turun adalah Iqra’ yang berarti “bacalah!”. Wahyu tersebut senyampang dengan visi yang diusung oleh ponpes kreatif Baitul Kilmah. Yakni bagaimana agar membuat kegiatan membaca bukan lagi sebagai hobi, tapi kebutuhan.

Ketiga, tulisan adalah warisan. Mengutip apa yang dikatakan oleh sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah.” Perkataan Pram tersebut memiliki indikasi yang jelas yakni barangsiapa yang mencurahkan hidupnya untuk menulis maka dia akan memiliki sebuah warisan (legacy) yang ditinggalkan untuk anak cucunya esok.

Apa yang ditulis oleh santri Baitul Kilmah saat ini akan menjadi warisan yang bisa ditularkan kepada anak cucunya kelak. Catatan apa saja yang telah digoreskan saat ini akan menjadi penopang anak cucu atau generasi berikutnya agar mampu belajar dari masa lalu.

Begitulah alasannya. Kemudian, apa yang dilakukan oleh santri di sini untuk menggarap kesemuanya itu? Tentu saja dengan tak meninggalkan buku dan kegiatan mengetik di laptop (baca: menulis). Misalnya, setiap minggu para santri memiliki kegiatan “ngaji sastra” yang dibimbing oleh Kiai Aguk Irawan MN langsung. Dari ngaji tersebut Kiai Aguk meminta kepada santri agar mengirimkan karyanya untuk dikasih masukan, saran, dan kritik.

Bagaimana jika tidak bisa? Kiai Aguk memberi jaminan asal santri berani mulai untuk menulis. Seiring berjalannya waktu pasti kegiatan itu akan terasa ringan. Namun perlu ditekankan ‑meminjam istilahnya Kiai Aguk‑ bahwa menulis tidak bisa dikerjakan secara “bim salabim”. Menulis harus melalui serangkaian proses panjang trial and error. Harus berani mencoba dan terus mencoba. Dengan begitu lambat laun santri akan mencintai proses menulis dan mampu membuahkan karya.

Setiap tahunnya santri di Baitul Kilmah mengadakan peringatan hari santri sekaligus peluncuran buku-buku karya santri selama setahun. Ada banyak buku-buku karya santri dari yang tipis hingga yang tebal. Dari novel hingga ensiklopedia, dari puisi ke kumpulan cerpen. Beberapa karya yang menjadi best seller, misalnya Enskiklopedia Ulama Sufi 4 jilid, Terjemahan Tafsir Al-Jilani 12 jilid, dan masih banyak lagi. Itulah tirakat santri Baitul Kilmah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan