Tipologi Ulama dalam Menyikapi Pandemi

769 kali dibaca

Kita sebagai umat muslim rasanya tidak mungkin untuk tidak menghormati atau tidak mengikuti ulama. Karena, dari ulamalah kita mengambil dan memahami nilai, juga tafsir-tafsir agama. Ulama sendiri adalah “men of knowledge”, yakni orang-orang yang berilmu dan memahami agama. Yang mana turunan atau keberadaannya kita pahami sebagai ustaz, gus, kiai, tuan guru, buya, dan semacanya (penamaan sesuai daerah).

Ulama sebagai penerus estafet kenabian (waratsatul al ambiya) tentu membawa amanat dan tanggung jawab yang tidak ringan. Karena, dalam kehidupannya, kalam Allah dan ajaran Nabi yang harus disampaikan. Termasuk, mengangkat manusia (pemahaman; kesadaran; keinginan) dari lubang kegelapan atau kesalahan ke tempat yang sesuai dengan kalam Allah dan ajaran Nabi.

Advertisements

Tugas ini membuatnya harus menghindari dusta, caci maki, juga eksploitasi opini. Dan hal ini tidak praktis begitu saja, karena kesiapan dan kredebilitas seorang ulama itu salah satu kunci dari keberhasilan tanggung jawab ini. Yang mana, dalam bahasa fikih disebut dakwah-berdakwah.

Sebagai tokoh masyarakat atau sosial, sering kali ulama menjadi penggerak dalam kegiatan multidemensial. Hal ini juga seiring dengan perkembangan umat, ilmu pegetahuan, juga kebutuhan umat itu sendiri. Dalam arti, ulama punya andil dalam berbagai lini, sebut saja: pendidikan, sosial, kebudayaan, hingga politik.

Dan dari titik ini timbulah dua sisi. Pertama, hal ini menjadi capaian bagus dalam rangka kebutuhan dan pemenuhan dakwah yang berdimensi luas, sehingga edukasi maupun sosialisasi pada umat menjadi lebih kompleks. Kedua, menjadi bermasalah jika berlebihan, salah tupoksi, dan salah penempatan. Biasanya hal ini didukung oleh arogansi opini sepihak, tidak berdasar, dan tidak paham konteks-keilmuannya.

Kenyataan itu tidak bisa dielakkan begitu saja, mengingat keleluasaan dan seperangkat panggung bersuara di negara demokrasi ini. Kita tahu banyak ulama yang berbicara mengenai hal tersebut, dan umat menjadi lebih terbuka dan berwawasan. Dan menjadi goals dalam proses dakwah itu sendiri.

Tetapi, jika ada yang berbicara sembrono dan tidak paham konteks-keilmuannya, kita juga tahu bahwa umat sedikit banyak ada yang terpedaya dan tergiring opininya. Implikasinya pada tindakan dan sikap yang salah, bahkan perbedaan pemahaman dan sikap dari para ulama itu sendiri. Seperti apa yang sudah dicatat dan dilihat bersama dalam beberapa kurun waktu terakhir ini.

Tipologi Ulama

Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa virus yang mematikan kehidupan, tetapi secara langsung dan tidak langsung juga membawa huru-hara kehidupan lainnya. Keadaan dan suasana ini menjadi pemantik polemik yang kompleks. Tetapi setidaknya huru-hara yang diangkut oleh pandemi bukanlah hal baru. Sejarah Islam maupun sejarah Barat mencatat, di tiap merebaknya pandemi pasti diikuti huru-hara lainya. Bagaimana benturan agama dengan sains, pihak atau kelompok yang tidak percaya atau sepaham. Dan jika di Barat adalah para ilmuan yang banyak ambil bagian pada peta tersebut, maka di Islam adalah para ulama yang banyak ambil bagian.

Dalam konteks Indonesia sebagai mayoritas penduduk muslim, hal tersebut sudah kita lihat bersama. Setidaknya polemik dalam menyikapi pandemi secara langsung dan tidak langsung juga mencemari lini keagamaan.

Sebut saja awal pertama virus terdeteksi, ada ulama bernarasi bahwa hal tersebut adalah azab dari Allah, senjata pemusnah umat muslim. Tidak berhenti pada titik tersebut, ketika vaksin telah siap disuntikkan dengan segala kajian dan tinjauan hukum syariah yang jelas, hal tersebut masih dibelokkan dan disalahartikan.

Atau, yang lebih miris adanya narasi-narasi bahwa segala kebijakan dalam pandemi ini untuk menghalangi umat muslim beribadah. Ibadah haji yang sedari awal memang tidak dibuka karena pandemi, digoreng dengan isu penghalangan umat untuk ibadah. Dan dalam hal ini, ketika seorang ulama bernarasi seperti ini, yang nota bene sebagai penggerak sosial, maka terbawalah segelintir umat kepada salah pemahaman dan sikap ini.

Namun, tidak ada segala perbuatan makhluk yang tidak memiliki pembandingnya. Meskipun, ulama model tersebut bertebaran dan memiliki panggung suara. Syukurnya, masih banyak ulama dengan keasadaran dan pengetahuanya mengedukasi umat dengan tepat sasaran. Yang menegaskan patuh pada protokol kesehatan, menjadi teladan kepatuhan bagi umat, hingga bekerja sama dalam menangani pandemi. Dan dampaknya sangat positif bagi kehidupan beragama juga bernegara dalam masa pandemi ini.

Dari dua sampel atau model ulama tersebut, setidaknya ada tiga tipologi untuk memahaminya. Pertama, ulama yang bernarasi bahwa pandemi dan sebagainya ini hanya akal-akalan. Ini adalah tipologi ulama sembrono. Telisiknya, sebagian besar pihak yang menarasikan ini bertujuan untuk eksploitasi opini dan massa dengan memanfaatkan kepanikan situasi dan kondisi yang ada. Orientasinya secara garis besar pada ranah politik, yakni menyerang pemerintahan dengan kebijakan yang diberlakukan. Tipologi pertama ini sangat ekstrem dan krusial, dampaknya pada aksi-aksi anarkis dan opini-opini radikal yang salah.

Tipologi kedua adalah ulama yang tetap “menerabas” aturan dengan dalih keimanan beragama. Pihak ini mengedepankan keimanan atau teologi, tetapi tidak bisa menilai situasi. Jika pihak yang sembrono orientasinya pada eksploitasi opini dan massa, namun untuk pihak ulama yang mengedepankan keimanan dan teologi ini berorientasi pada ranah ibadah. Biasanya pihak ulama yang seperti ini kita jumpai di desa-desa yang agak jauh dari hingar bingar media. Alhasil, umat juga menjadi ikut-ikutan main terabas pada aturan yang ada.

Tipologi ketiga adalah ulama yang lebih menekankan kepada pencarian jalan keluar yang berasas humum syariat (maqasid syariah), yang bukan hanya atas pembenaran keimanan atau teologi semata. Pihak ini menjadi lebih adem dan preventif dalam berdakwah dan menangani umat di masa pandemi. Termasuk, menjadi garda terdepan dan teladan mengenai keberagamaan dalam masa pandemi. Lebih lanjut, pihak ini dapat menilai situasi yang ada dan dapat mengkontekstualisasi pemahaman dan ajaran agama kepada umat.

Perspektif ketiga tipologi tersebut tidak dipetakan berdasarkan keilmuanya (expertise), melainkan lebih pada posisi dalam menyikapi dan merespons pandemi ini. Ulama yang sembrono lekat dengan kesan orientasi politik dan gagal pahamnya. Ulama yang mengedepankan dalih keimanan atau teologi adalah pihak yang “terjebak” dalam stagnasi pemahaman keagamaan. Dan ulama yang menekankan pada pencarian jalan keluar berdasar hukum syariat adalah ulama yang moderat. Dalam arti, mereka sadar dan dapat menilai situasi yang ada, sekaligus mampu memberikan kontekstualisasi pemahaman dan ajaran agama kepada umat.

Dari analisis tersebut, yang perlu ditekankan adalah, bagaimana kita sebagai umat juga pintar dan jeli. Pertama dalam menilai dan menyikapi pandemi ini. Kedua, dalam memilih ulama atau panutan dalam berikap, kaitannya dalam urusan beragama di masa pandemi. Karena, sedikit salah melihat dan salah anut akan fatal jadinya. Jika salah melihat dan anut, huru-hara pandemi ini bisa menjadi tambah parah dan kita sendiri yang akan terus menderita.

Maka, sekali lagi, mari meneladani dan mengikuti tipologi ulama yang mampu menilai dan juga mampu memberikan kontekstualisasi pemahaman dan ajaran agama di masa pandemi ini. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan