Tertipu Pencuri yang Lihai

1,095 kali dibaca

Orang bilang, zaman ini pencuri sudah lebih cerdik dari polisi. Pencuri tampak berevolusi dari waktu ke waktu. Kini para pencuri telah memakai otak kepalanya menjalankan aksinya. Mereka kian berkembang dan berlomba-lomba untuk menjadi pencuri andal.

Sedang polisi, tampaknya kecerdikan yang dimilikinya dari hari ke hari semakin melorot saja. Di antara mereka banyak yang ditipu oleh penipu. Bahkan, dicuri oleh pencuri. Mereka terlihat dungu di hadapan para politikus, namun sok pongah kala di hadapkan dengan pencuri. Mereka bersikap seolah detektif piawai dalam mencari jejak pencuri. Akan tetapi, acap kali kasus ditutup karena tak berjejak.

Advertisements

Tak heran apabila polisi zaman ini seperti itu. Sebab, banyak yang jadi polisi dengan menggunakan uang sogokan. Bermodal orang dalam dan uang ratusan juta, mereka bisa dengan gampang masuk ke ranah kepolisian. Hal-hal seperti itu memang masih ada di negeri ini. Polisi pun cari pengganti uang sogokannya dengan cara merampas uang rakyat. Maka, uang perdamaian saat tilang pun jadi bisnis. Dan tanpa surat perintah operasi, polisi akan berkeliaran di jalanan. Mereka seperti serigala yang mencari mangsa.

Kata orang, pencuri dan polisi bagai tikus dan kucing. Keduanya harus gesit dalam bertindak. Tikus harus berlari tangkas, kalau tak mau diterkam oleh kucing. Begitupun dengan kucing, ia harus berlari lebih kencang kalau tak mau mati kelaparan. Hidup memang adalah perlombaan. Siapa lemah, ialah yang disingkirkan.

***

Nyanyian binatang malam mulai menciptakan hiruk-pikuk di perkampungan. Angin senantiasa menerpa dedaunan agar ikut bergoyang-goyang. Bulan serupa perahu yang tegap dan tak goyah. Di sisi bulan, ada beribu gemintang yang menemani. Malam setengah larut, para pemuda berkumpul di pos ronda.

Ada sekitar lima orang yang berjaga malam ini. Masing-masing membawa sarung dan satu senter. Di antara mereka, ada yang sudah menudungkan sarungnya ke tubuhnya. Angin malam ini memang menciptakan kedinginan. Jadi tak heran, apabila tubuh mereka agak menggigil.

Mereka duduk melingkar. Salah satu orang datang dengan membawa setermos kopi. Ah, kopi memang nikmat di malam hari. Apalagi, kopi buatan ibu yang tak pernah ada tandingannya.

“Jangan sampai tim kita kebobolan malam ini,” ujar Anwar selaku pemimpin ronda di malam Selasa.

Para pemuda Kampung Bejo sepakat untuk meronda saban malam secara bergantian. Mereka dibagi jadi beberapa tim —ada sekitar tujuh tim— untuk meronda. Setiap tim berisi empat anggota dan satu pemimpin. Pemimpin wajib memandu anggotanya dalam halnya meronda, dan juga harus membawa kopi. Memang harus ada kalau mau menjadi pemimpin, begitulah kata para pemuda.

Pemimpin dipilih secara voting. Biasanya para pemuda memilih pemimpin yang agak mahir berbicara. Sebab bagi mereka, yang mahir bicara juga mahir dalam bidang apa pun, menipu misalnya.

“Tim lain kewalahan menangkap pencuri di kampung kita. Hingga akhirnya nyaris saban malam ada warga yang kemalingan,” kata Beni membawa berita.

Memang akhir-akhir ini Kampung Bejo jadi sasaran pencuri. Anehnya, setelah berminggu-minggu kegiatan meronda dilakukan, mereka, para peronda, tak ada yang bisa menangkap malingnya. Perihal itu menghasilkan berita miring di kalangan warga. Ada yang menggunjingkan bahwa para pemuda tak becus dalam halnya meronda. Bahkan ada yang menuduh, sebenarnya para peronda itulah yang menjadi pencurinya.

Ada yang mengira, pencuri itu memiliki ilmu hitam. Para pencuri dianggap sakti mandraguna. Menurut kabar yang tak tahu dari mana asalnya, para pencuri masa kini bisa menghilang sebab ada persekongkolan dengan para setan. Jadi wajar, kalau meronda dianggap sia-sia.

“Tapi tim kita tak boleh kewalahan,” timpal Sodek. Tampaknya ia sangat bersemangat. Ia mengempaskan sarungnya dari tubuhnya. Tak peduli pada dingin yang kian menyerang, wajahnya garang seolah tak ada apa-apa.

“Betul!” Sabit ikut bicara walau singkat.

“Maka marilah wahai anggota-anggotaku, kita ….”

Anwar menyahut, tapi seketika suara tersekat. Ada suara kambing yang mengembik di tengah malam. Para pemuda yang meronda langsung mencurigai asal dari suara kambing itu. Tak sepantasnya kambing mengembik tengah malam. Kambing akan mengembik apabila ada orang yang sedang menyergapnya.

“Ini pasti pencurinya,” bisik Anwar.

Sodek memberi aba-aba, jari telunjuknya ia letakkan di depan bibir, sebagai petanda untuk yang lain agar tak membuat gaduh. Mereka beranjak dari pos ronda tanpa ada bunyi sedikit pun. Perlahan mereka melangkah, mencari asal muasal embikan kambing itu.

Mereka menyusuri jalan setapak dengan mengendap-endap. Mereka melangkah dengan perlahan. Mata mereka was-was dan awas. Jangkrik tak henti-hentinya mengerik seakan memang sengaja menambahkan kegentingan.

Anwar yang berada di paling depan barisan seketika terhenti. Membuat kawan-kawannya membenturnya sebab tak sempat mengerem. Mereka saling menyalahkan; nyaris mereka bertengkar satu sama lain. Namun Anwar tetap tenang. Lekas ia menyuruh kawan-kawannya untuk tidak berisik. Sontak mereka hening, menuruti kata pemimpin.

Mata Anwar menatap ke depan penuh selidik. Yang lain, malah masih dirundung kebingungan. Sejauh mata memandang, Anwar melihat sosok orang yang sedang menggendong sesuatu. Perihal itu tentu membuatnya curiga dan bertanya-tanya, siapa orang yang berjalan di tengah malam ini?

Tangan Anwar memberi perintah. Dalam gerak tangan itu, Anwar memerintahkan kawan-kawannya untuk mengepung orang yang mencurigakan itu secepat mungkin. Mereka mengangguk, dan secepat kilat mereka berlari ke arah sosok dalam remang malam yang mencurigakan itu.

Sosok itu adalah seorang lelaki yang memakai masker dan berpeci putih. Ia tampak batuk-batuk saat para pemuda mengepungnya. Lelaki itu menggendong anaknya yang bersarung dan berpeci hitam. Entahlah, apa yang dilakukan lelaki itu bersama anaknya di tengah malam seperti ini.

“Mohon maaf, Pak. Bapak hendak kemana malam-malam begini?” tanya Sodek dengan sopan. Ia merasa bersalah sebab mengepung orang yang masih belum tentu bersalah.

“Oh tak apa, Nak. Bapak habis dari desa sebelah. antar anak sunatan,” jawabnya tak kalah sopan.

Entah untuk apa bapak itu mengantar anaknya sunatan di malam hari. Dan untuk apa ia bermasker. Beni yang masih curiga, juga melemparkan sebuah pertanyaan pada lelaki itu. “Kenapa Bapak memakai masker?”

Lelaki itu terdiam sejenak. Kemudian dengan batuk-batuknya, ia menjawab, “Oh Bapak lagi sakit, Nak. Makanya Bapak mengantar anak sunatan di malam hari. Soalnya kalau siang takut digunjing tetangga. Biasalah, Nak, tetangga suka menggunjing yang macam-macam.”

Para pemuda itu jadi amat sangat merasa bersalah. Mereka terpengaruh dengan jawaban dan rautan memelas yang diberikan lelaki itu. Mereka pun membuka jalan, membiarkan lelaki itu lewat dengan tetap menggendong anaknya.

Lelaki itu menundukkan kepala sejenak. Ia pun pergi dengan langkah berat dan terseok-seok. Para pemuda mengiba. Dalam pikiran mereka, sungguh malang nasib lelaki itu yang memperjuangkan sunatan anaknya meski sudah sakit-sakitan.

Setelah tak berselang lama mereka merenungi nasib lelaki itu, si penggendong anak itu pun lenyap di telah malam. Kembali mereka meronda. Mereka melupakan perihal kambing yang mengembik, bahkan mereka bersikap seperti tidak apa-apa. Walau sebenarnya, ada perihal yang dirasa ganjil pada lelaki itu.

***

Esoknya, kala fajar menyingsing, ayam jantan berkokok bersamaan dengan teriakan histeris Pak Jamal di pagi buta. Ia panik, kala melihat kambingnya lenyap dari kandangnya. Ia berteriak “malinggggg!” walau sudah terlambat.

Orang-orang kampung berdatangan mengerumuni Pak Jamal. Mereka datang untuk turut berduka cita. Mereka bilang sabar, seolah Pak Jamal akan bersabar. Kambing itu adalah kambing satu-satunya miliknya. Kambing yang memang dikhususkan untuk mengakikahkan anaknya. Dan kini, harapan itu lenyap serupa lenyapnya kambingnya.

Para pemuda yang meronda tersentak kala mendengar kabar hilangnya kambing Pak Jamal tadi malam. Kini mereka benar-benar saling menyalahkan hingga bercekcok mulut. Pikiran mereka dihantui oleh lelaki yang mereka temui tadi malam. Lelaki yang menggendong anaknya yang baru sunatan. Mereka masih setengah tak percaya akan dugaannya. Mereka benar-benar ditipu dengan mata terbuka tadi malam. Ya, lelaki itu adalah pencurinya. Dan anak yang digendongnya bukanlah anak. Yang dibilang anak itu adalah kambing Pak Jamal yang diberi sarung dan peci hitam untuk mengelabui mereka. Ah, penyesalan memang selalu ada di akhir.

Nasi telah jadi bubur, para pemuda itu sudah tak bisa apa-apa lagi. Mereka mengutuk diri sendiri yang terlihat amat sangat bodoh. Tak berselang lama, mobil polisi datang ke rumah Pak Jamal. Para polisi beserta seragamnya datang dengan pongah. Para polisi itu dengan beribu alasan juga tak bisa apa-apa. Mereka datang seperti hendak bertamasya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan