Terputusnya Masjid dari Literasi

791 kali dibaca

Di pinggir aula salatan, atau di sudut dekat pengimanan, banyak masjid yang menyediakan Al-Qur’an. Ada juga sebagian masjid yang memiliki etalase kitab suci. Bila beruntung, kadang tersedia juga beberapa kitab hadist, tafsir, dan buku-buku agama. Setiap selesai solat, khususnya solat yang berada pada jam produktif, ada sebagian orang yang tekun membaca kitab suci di aula.

Potret tersebut mudah didapati di banyak masjid, khususnya di wilayah urban, dan sebagian kecil di wilayah rural. Masjid menjadi rutinitas yang sedemikian formal. Bila di luar waktu salat, masjid cenderung sepi. Kecuali masjid-masjid yang berada di pinggir jalan lintas kota, atau masjid-masjid kampung yang terhubung dengan madrasah diniyyah.

Advertisements

Namun dengan jumlahnya yang sedemikian banyak, dan distribusinya yang sedemikian luas, masjid pada dasarnya dapat dioptimalkan lebih dari sebatas tempat singgah ibadah atau tempat berburu pahala. Masjid pada dasarnya adalah tempat pencerahan yang lebih dari sekadar pencerahan religius. Atau lebih tepatnya, tempat pegulatan ilmu dan tempat orang merenungkan zaman.

Fungsi tersebut pernah bersemarak ratusan tahun silam dengan beberapa peninggalan yang kini kita kenal dengan Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Zaitunah di Tunisia, dan pusat keilmuan lain yang tersebar di semenanjung Arab-Mediterania. Begitu juga di Indonesia. Banyak pesantren tua yang kita kenal, mulanya adalah sebuah surau.

Masjid bagi masyarakat feodal merupakan tempat prestis. Eksperimen pemikiran, kajian fikih, telaah fisika, dan debat ilmiah adalah satu paket dengam imam beserta jajaran di bawahnya. Secara institusional, mereka mendapat dukungan, baik finansial ataupun keamanan, dari raja. Kisah ulama yang menjadi buron kerajaan karena pemikirannya, adalah soal hubungan relasi kuasa dengan ilmu pengetahuan. Masih ada kaitannya dengan pembahasannya ini, tapi lain cerita.

Istilah-istilah seperti cleric, ulama, scientist, (terlepas dari asal muasalnya dari Barat atau Timur) semuanya merujuk pada satu kesamaan, yakni kaum ‘literati’, atau mereka-mereka yang akrab dengan kertas, baca-tulis, dan perenungan. Aktivitas ini semua terjadi di selasar masjid, atau jika bukan, maka di balairung istana. Masjid adalah tempat para ‘nerd’, pecinta ilmu.

Dari segi kemasyarakatan, nasib masyarakat feodal terpusat pada keputusan kerajaan. Kebijakan publik adalah urusan keraton dengan bantuan masukan dari para mufti, ulama, imam, atau apapun istilahnya. Gerakan masyarakat yang bernuansa kritis nyaris mustahil ada karena tidak ada aktor tengah yang memobilisasi. Di lain pihak, kesadaran sipil juga masih minim karena tingginya kesenjangan pengetahuan antara rakyat biasa dan para elite kerajaan, termasuk para ulama.

Masjid memang tempat terbuka. Orang bisa keluar masuk majelis ilmu (diskusi) dengan bebas. Namun otoritas keilmuan para pemimpin masjid terproteksi oleh kerajaan dan rekan sejawat. Dengan kata lain, masjid adalah tempat yang steril dari suara-suara non-otoritatif. Perebutan masjid antarsekte memang ada. Namun ulama dari sekte tertentu harus memiliki dukungan politik dari sebagian elite kerajaan yang memang sepaham dengannya jika ingin mengakuisisi sebuah masjid.

Kondisi masjid berbeda saat era modern demokratis. Masjid, secara geografis, kini menjadi tempat merakyat yang tersebar di banyak sudut pemukiman, perkantoran ataupun perbelanjaan―tidak lagi terpusat di pinggir kraton. Berdirinya sebuah masjid juga tidak mesti inisiasi raja ataupun sekawanan ulama, melainkan bisa merupakan inisiasi masyarakat sipil.

Masyarakat modern demokratis mengindahkan prinsip perserikatan dan menghargai perbedaan, baik itu identitas ataupun ideologi. Untuk merebut sebuah masjid, tidak perlu lagi dukungan dari elite politik. Antar-ketua DKM masjid atau antar-ustaz cukup berebut pengaruh atas dasar bentuk religi apa yang dibutuhkan masyarakat.

Di lain pihak, lahirnya masyarakat modern demokratis juga bersamaan datangnya budaya konsumeris dari kapitalisme industri. Dua kata kunci utama dalam masyarakat ini adalah: hiburan dan kecemasan. Selama kaum non-literati mampu membahasakan agama dengan cara menghibur dan mendamaikan kecemasan, selama itu pula mereka mendapat ruang di masjid.

Masjid akhirnya menjadi ruang yang demokratis. Siapa saja boleh mengisi asal sesuai dengan ‘keinginan’ atau suatu sekte di masyarakat. Pada hubungan yang lebih luas, masjid sering menjadi bagian dari afiliasi atau gerakan politik tertentu. Adanya kesadaran sipil (terlepas dari apapun bentuk kesadarannya) yang disemai oleh ustaz memungkinkan masjid menjadi basis perlawanan.

Dalam masyarakat modern demokratis dan konsumeris jugalah makna masjid bergeser dari yang mulanya identik dengan kegiatan literati, menjadi identik dengan kegiatan ekonomi. Pergeseran tersebut mengenalkan kita pada, salah satunya, istilah ‘masjid wisata’. Rupa-rupa kegiatan ekonomi di sekitar sebuah masjid menarik perhatian banyak orang, dan idaman percontohan tentang imajinasi masyarakat muslim yang ‘sukses dunia akhirat’.

Kajian tentang ilmu memang ada, namun hanya sedikit masjid yang berani melampaui tema-tema agama. Masjid-masjid di sudut kota pendidikan atau masjid-masjid di universitas biasanya adalah pionir bagi tema-tema universal dan tema-tema yang sebenarnya biasa saja bagi debat ilmu, namun kontroversial bagi masyarakat umum.

Perbedaan satu dengan lain masjid dapat ditengarai dengan seberapa beragam etalase buku yang ada di sudut aula; apakah hanya terbatas pada lusinan Al-Qur’an? Atau ada koleksi lain yang lebih membumi? Dalam masalah ini, imajinasi modern-demokratis-konsumeris membedakan antara masjid sebagai tempat ibadah, dan masjid sebagai pusat pencerahan. Masjid akhirnya menjadi tempat yang sepi, selain suara adzan dan pengajian, yang tidak selalu terjamin otoritas keilmuannya.

Sebagai ruang terbuka, ada banyak hal yang bisa diinisiasi di masjid: diskusi ilmiah, evaluasi pemikiran-pemikiran lawas, konservasi kebudayaan, memfasilitasi dialog lintas agama, forum kajian musik, dan lain-lain. Dengan begitu, masjid bisa lebih hidup dan tak terbatas pada soal berburu pahala, melainkan bisa mengambil bagian pada kegiatan-kegiatan universal.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan