Terorisme Masuk Pesantren?

1,392 kali dibaca

Beberapa waktu lalu, serombongan kawan saya yang nonmuslim melakukan ziarah ke tempat-tempat atau situs-situs keramat di Pulau Jawa. Di antara tempat-tempat yang mereka kunjungi adalah makam-makam Wali Songo dan juga makam Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid di Jombang, Jawa Timur.

Oleh-olehnya adalah beragam cerita. Begini salah satu saja ceritanya: Rombongan ini tiba di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng Jombang hari sudah sore, pintu gerbang area pemakaman di mana Gus Dur dimakamkan juga sudah digembok. Namun, setelah dilakukan komunikasi dengan salah satu anggota keluarga Tebuireng, pintu menuju pemakaman Gus Dur akhirnya dibuka untuk rombongan ini.

Advertisements

Saat rombongan ini melintas di pelataran kompleks pondok untuk menuju pemakaman, beberapa santri sedang bermain bola. Para santri ini, ketika rombongan kawan-kawan saya yang nonmuslim ini melintas, menghentikan permainannya, membungkuk memberi hormat dengan mengulum senyum dan sorot mata yang teduh. Ketika rombongan peziarah ini sudah menjauh, mereka kembali meneruskan permainannya.

Salah satu anggota peziarah ini, kami biasa memanggilnya Koh Wi (aka. Kumala Wijaya), mengaku sangat kagum dengan sikap yang ditunjukkan oleh para santri Tebuireng yang sedang bermain bola itu. Betapa tidak? Anak-anak santri yang sedang asyik bermain bola ini rela menghentikan permainannya dan memilih membungkuk memberi hormat kepada orang-orang asing, orang-orang yang tak mereka kenal, yang sekadar melintas.

“Sungguh luar biasa sikap mereka. Demi Tuhan, saya sangat kagum. Saya merasa, inilah Islam yang sebenarnya. Masa depan Indonesia akan hebat jika nanti dipimpin oleh generasi-generasi seperti mereka ini,” katanya.

***

Sepenggal cerita tersebut mengingatkan saya akan kata kunci pendidikan di lingkungan pondok pesantren: akhlak. Sebagai orang yang pernah merasakan mondok walau sebentar, saya tahu, meskipun menyandang fungsi sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren ternyata lebih menomorsatukan akhlak ketimbang ilmu an sich. Pendidikan akhlak diutamakan, baru kemudian ilmu. Itu pun masih dengan catatan: ilmu yang bermanfaat; bermanfaat bagi orang lain.

Seluruh rangkaian proses pendidikan di lingkungan pondok pesantren itu, tersimpul dengan bernas dalam omelan ibu yang sering diteriakkan ketika saya masih sebagai kanak-kanak yang bandel. Begini kira-kira bunyinya: meskipun ilmumu setinggi langit, meskipun bekas sujudmu sedalam sumur, akan sia-sia belaka jika kamu tidak bersikap baik kepada orang lain! Masyaallah, saya baru mudeng sekarang, itulah yang disebut akhlak.

Itulah mengapa saya tak heran ketika Koh Wi bersama rombongannya itu, yang notabene orang asing bagi mereka, terkagum-kagum ketika memperoleh penghormatan yang tulus di lingkungan pesantren, dari para santri yang sedang bermain bola. Dan pengalaman semacam itu sudah pasti tak hanya bisa ditemukan di Tebuireng. Akan selalu ditemukan pengalaman serupa di berbagai pondok pesantren di mana pun. Sebab, begitulah tradisi pendidikan di lingkungan pondok pesantren sejak berabad-abad silam.

Tapi belakangan, citra pondok pesantren yang seperti itu mulai terganggu. Ada sinyalemen pondok pesantren mulai terintrusi paham-paham radikal, ekstremis, dan terorisme. Yang terbaru dan cukup mengagetkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap dugaan sejumlah pondok pesantren terafiliasi kelompok ekstremisme-terorisme, termasuk jaringan ISIS. Hal itu diungkapkan Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar pada rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada Selasa (25/1).

Tak tanggung-tanggung, ada ratusan pondok pesantren yang menurut BNPT terpapar atau terafiliasi dengan kelompok berpaham radikal, ekstremis, dan terorisme. Dalam catatan BNPT, ada 11 pondok pesantren terafiliasi Jamaah Anshorut Khilafah (JAK), 68 pondok pesantren terafiliasi jaringan kelompok terorisme Jamaah Islamiyah (JI) yang terkait dengan Al-Qaeda, dan 119 pondok pesantren terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau simpatisan ISIS.
Jika apa yang diungkapkan BNPT itu benar dan nyata adanya, tentu ini menjadi masalah yang sangat serius dan bisa merusak citra pondok pesantren yang selama ini dikenal memiliki tradisi pendidikan yang mengutamakan akhlak dan menghargai perbedaan dan keragaman. Wajar jika kemudian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta BNPT untuk menyebut nama-nama pondok pesantren yang terafiliasi dengan kelompok ekstremis-terorisme. Sebab, keberadaan pondok pesantren nyaris identik dengan NU karena sebagian besar pondok pesantren berada di bawah naungan NU dan basis NU memang di lingkungan pondok pesantren.

Berdasarkan data di Kementerian Agama, jumlah pondok pesantren di seluruh Indonesia yang terdaftar mencapai 26.973. Dari jumlah tersebut, sekitar 20.000 pondok pesantren berada di bawah naungan NU. Lalu, jika apa yang diungkapkan BNPT itu benar dan nyata adanya, pertanyaannya adalah: di mana ratusan pondok pesantren itu berada dan bagaimana penanganannya? Pertanyaan yang juga tak kalah penting adalah, bagaimana bisa ada pondok pesantren terafiliasi dengan kelompok ekstremis-terorisme?

***

Jika merunut sejarah dan tradisinya yang begitu mengakar, rasanya nyaris mustahil pondok pesantren terintrusi radikalisme-ekstremisme-terorisme. Itu jika dialamatkan kepada pondok pesantren dalam pengertian yang sebenarnya. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1983), apa yang disebut pondok pesantren minimal harus memenuhi lima unsur ini: kiai, santri mukim, masjid/musala, asrama/pondok, dan kajian kitab kuning.

Selain itu, jika dirunut dalam sejarahnya, proses berdirinya pondok pesantren pun tidak ujuk-ujuk seperti turun dari langit atau terbangun dari ketiadaan atau bim salabim. Selalu ada relasi antara satu pondok pesantren yang lama dengan yang baru. Mungkin anak seorang kiai atau menantu kiai diperintahkan untuk mendirikan pondok pesantren baru di tempat lain. Mungkin seorang atau beberapa orang santri dari sebuah pondok pesantren diberi ijazah untuk mendirikan pondok pesantren baru di tempat lain. Itulah genealogi pondok pesantren, garis silsilah pondok pesantren yang masih bisa ditelisik hingga berabad-abad ke belakang. Sanad keilmuan para kiai juga tak terputus hingga pada guru-guru yang paling silam.

Dengan genealogi atau garis silsilah seperti itu, dan sanad keilmuan para kiainya, nyaris mustahil pondok pesantren terintrusi radikalisme-ekstremisme-terorisme. Lalu lewat pintu mana kelompok-kelompok radikalisme-ekstremisme-terorisme itu menyusup ke dalam pesantren —jika itu benar dan nyata adanya?

Saya menduga inilah pintu masuknya: “menyaru” sebagai pondok pesantren. Beberapa tahun belakangan, banyak lembaga pendidikan yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk disebut pondok pesantren namun mendaku sebagai pesantren. Contohnya, lembaga tahfiz. Banyak kita temukan di berbagai daerah muncul lembaga tahfiz baru. Seperti jamur di musim hujan. Ujuk-ujuk ada. Kegiatannya hanya satu: menghafal Al-Quran. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi orang ramai sering salah kaprah dan menyebutnya sebagai pesantren. Di tempat seperti ini pula predator seks Herry Wirawan melakukan aksinya. Maka, sangat mungkin kelompok-kelompok radikalisme-ekstremisme-terorisme membangun kekuatan melalui lembaga seperti ini.

Tahun-tahun belakangan juga banyak berdiri apa yang memang seperti lembaga pesantren pada umumnya, namun proses pendiriannya tidak melalui genealogi dan ijazah laiknya pesantren zaman dulu. Tanpa diketahui sanad keilmuannya, misalnya, datang seseorang bergelar ustaz atau dai mendirikan pesantren di suatu tempat dan mengumpulkan santri. Rupanya kegiatan di situ hanya pengajian-pengajian umum tanpa ada pengkajian kitab-kitab kuning standar pondok pesantren yang muktabar. Tak ada pengutamaan pendidikan akhlak. Yang seperti ini sangat mungkin menjadi pintu masuk kelompok-kelompok radikalisme-ekstremisme-terorisme untuk membangun kekuatan dan menularkan pahamnya.

Apa yang diungkapkan BNPT tak bisa diangap remeh. Akan semakin beragam bentuk lembaga yang disarukan sebagai pondok pesantren, dan dari sanalah benih-benih radikalisme-ekstremisme-terorisme ditanam, kelompok-kelompok radikal-teroris membangun kekuatan. Menghadapi gejala seperti ini, semua pihak harus jeli mengantisipasi. Jangan sampai pondok pesantren rusak citranya oleh kepiawaian kelompok-kelompok radikal-ekstremis-teroris melancarkan propaganda. Jangan sampai pondok pesantren benar-benar terintrusi oleh radikalisme-ekstremisme-terorisme. Jangan sampai tak ada lagi santri yang memberi hormat kepada Koh Wi dan rombongannya di lain hari.

Multi-Page

One Reply to “Terorisme Masuk Pesantren?”

  1. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme/BNPT harus bertanggung jawab atas pernyataan bahwa ada banyak pondok pesantren yang terafiliasi jaringan terorisme. Meskipun dalam konteks logika, tidak mungkin sekelas badan BNPT akan mengeluarkan pernyataan tanpa adanya bukti yang dapat dipertanggung-jawabkan.

    Saya setuju dengan Kiai Mukhlisin bahwa temuan BNKT tidak dapat dipandang sebelah mata, diabaikan, atau remehkan. Meskipun pesantren mengedepankan nilai etik dan akhlak, bukan tidak mungkin ada orang yang berkepentingan untuk membuat kekeruhan dan mendeskriditkan eksistensi pondok pesantren.

    Menuntut BNKT untuk merilis pesantren yang terpapar, atau teriduksi paham ektrimisme, seakan sebuah nilai tanggung jawab atas pernyataan Boy Rafli Amar. Tetapi, kalau ditelisik lebih mendalam, mendaftar pondok pesantren yang terpapar radikalisme bukan solusi yang baik. Sebab merilis pesantren, yang note benenya, mereka bisa sangat niscaya tidak merasa teriduksi oleh paham kekerasan, akan menjadikan suasana yang semakin liar, keruh, dan melahirkan perseteruan. Siasat aling-idenitas merupakan satu hal yan seharusnya.

    Alangkah elok jika orang-orang yang punya otoritas, dari kalangan NU, ulama, ustaz, dan pemerhati pesantren berproaktif dengan cara “mujadalah hasanah” melakukan pendekatan terhadap BNPT untuk melakukan edukasi dan pemahaman Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Bersama-sama membangun suasana yang teduh, agar kondisi bangsa semakin menemukan titik kedamaian dalam suasana pluralisme yang begitu beragam. Wallahu A’lam!

Tinggalkan Balasan