Terorisme Masuk Pesantren?

1,361 kali dibaca

Beberapa waktu lalu, serombongan kawan saya yang nonmuslim melakukan ziarah ke tempat-tempat atau situs-situs keramat di Pulau Jawa. Di antara tempat-tempat yang mereka kunjungi adalah makam-makam Wali Songo dan juga makam Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid di Jombang, Jawa Timur.

Oleh-olehnya adalah beragam cerita. Begini salah satu saja ceritanya: Rombongan ini tiba di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng Jombang hari sudah sore, pintu gerbang area pemakaman di mana Gus Dur dimakamkan juga sudah digembok. Namun, setelah dilakukan komunikasi dengan salah satu anggota keluarga Tebuireng, pintu menuju pemakaman Gus Dur akhirnya dibuka untuk rombongan ini.

Advertisements

Saat rombongan ini melintas di pelataran kompleks pondok untuk menuju pemakaman, beberapa santri sedang bermain bola. Para santri ini, ketika rombongan kawan-kawan saya yang nonmuslim ini melintas, menghentikan permainannya, membungkuk memberi hormat dengan mengulum senyum dan sorot mata yang teduh. Ketika rombongan peziarah ini sudah menjauh, mereka kembali meneruskan permainannya.

Salah satu anggota peziarah ini, kami biasa memanggilnya Koh Wi (aka. Kumala Wijaya), mengaku sangat kagum dengan sikap yang ditunjukkan oleh para santri Tebuireng yang sedang bermain bola itu. Betapa tidak? Anak-anak santri yang sedang asyik bermain bola ini rela menghentikan permainannya dan memilih membungkuk memberi hormat kepada orang-orang asing, orang-orang yang tak mereka kenal, yang sekadar melintas.

“Sungguh luar biasa sikap mereka. Demi Tuhan, saya sangat kagum. Saya merasa, inilah Islam yang sebenarnya. Masa depan Indonesia akan hebat jika nanti dipimpin oleh generasi-generasi seperti mereka ini,” katanya.

***

Sepenggal cerita tersebut mengingatkan saya akan kata kunci pendidikan di lingkungan pondok pesantren: akhlak. Sebagai orang yang pernah merasakan mondok walau sebentar, saya tahu, meskipun menyandang fungsi sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren ternyata lebih menomorsatukan akhlak ketimbang ilmu an sich. Pendidikan akhlak diutamakan, baru kemudian ilmu. Itu pun masih dengan catatan: ilmu yang bermanfaat; bermanfaat bagi orang lain.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

One Reply to “Terorisme Masuk Pesantren?”

  1. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme/BNPT harus bertanggung jawab atas pernyataan bahwa ada banyak pondok pesantren yang terafiliasi jaringan terorisme. Meskipun dalam konteks logika, tidak mungkin sekelas badan BNPT akan mengeluarkan pernyataan tanpa adanya bukti yang dapat dipertanggung-jawabkan.

    Saya setuju dengan Kiai Mukhlisin bahwa temuan BNKT tidak dapat dipandang sebelah mata, diabaikan, atau remehkan. Meskipun pesantren mengedepankan nilai etik dan akhlak, bukan tidak mungkin ada orang yang berkepentingan untuk membuat kekeruhan dan mendeskriditkan eksistensi pondok pesantren.

    Menuntut BNKT untuk merilis pesantren yang terpapar, atau teriduksi paham ektrimisme, seakan sebuah nilai tanggung jawab atas pernyataan Boy Rafli Amar. Tetapi, kalau ditelisik lebih mendalam, mendaftar pondok pesantren yang terpapar radikalisme bukan solusi yang baik. Sebab merilis pesantren, yang note benenya, mereka bisa sangat niscaya tidak merasa teriduksi oleh paham kekerasan, akan menjadikan suasana yang semakin liar, keruh, dan melahirkan perseteruan. Siasat aling-idenitas merupakan satu hal yan seharusnya.

    Alangkah elok jika orang-orang yang punya otoritas, dari kalangan NU, ulama, ustaz, dan pemerhati pesantren berproaktif dengan cara “mujadalah hasanah” melakukan pendekatan terhadap BNPT untuk melakukan edukasi dan pemahaman Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Bersama-sama membangun suasana yang teduh, agar kondisi bangsa semakin menemukan titik kedamaian dalam suasana pluralisme yang begitu beragam. Wallahu A’lam!

Tinggalkan Balasan