Tentang Tafsir Indonesia Berbahasa Arab

352 kali dibaca

Dalam catatan sejarahnya, teks tafsir di Indonesia tidak hanya diproduksi dengan memakai bahasa nasional dan lokal, melainkan juga dalam bahasa Arab. Keberadaan Tafsīr Munīr Imām Nawawī al-Bantani menjadi bukti nyata atas kreativitas mufassīr asal Indonesia.

Tafsīr Munīr Imām Nawawī ditulis di Mekkah dan diterbitkan pertama kali di Mesir pada tahun 1936 M. Dengan demikian, menurut Islah Gusmian dalam buku Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi, tafsir ini bermuatan konteks sosial-budaya Mekkah. Artinya, tafsir tersebut kurang memiliki faktor genealogis dengan budaya dan kultur di Indonesia, kecuali tradisi mengkaji turats dalam kepesantrenan.

Advertisements

Tafsir Bahasa Arab di Indonesia

Memang tidak banyak teks tafsir bahasa Arab di Indonesia. Islah Gusmian hanya menyebutkan 8 mufasīr Indonesia yang tercatat menulis tafsir Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Yakni, Haji Habīb Ārif al-Dīn dengan Tafsīr al-Asrār (1782 M), Ahmad Nasrullah bin Abdurrahim Jombang dengan al-Tibyān fī Tafsīr Ayat al-Aḥkām min al-Qur’ān (1990 M), Ahmad Asmuni Yasin Kediri dengan Tafsīr Mu’awwidhatayn dan lainnya (1990-an), Oemar Bakry Padang dengan al-Tafsīr al-Madrasī (1940 M), Durus Tafsir al-Qur’an al Karim (1966 M) karya KH M Bashori Ali Malang, Tafsīr Jāmiʿ al-Bayān Min Khulāsat al-Suwar al-Qurʾān (1984 M) karya Muhammad Bin Sulaimān Solo, dan Tafsīr Marāh Lābid karya Imām Nawawī Banten (Islah 2021, xxx & 41)

Selain itu, ditemukan pula Tafsīr al-Khatīb al-Makkī (1947 M) karya Syaikh Ahmad al-Khatīb al-Minangkabawī (Ni’matul Maula 2022, 60), Tafsīr Ayat al-Aḥkām (1974 M) karya K.H. Abil Fadhal al-Senory (Moh. Asif 2022, 25), Tafsīr Firdaus al-Na’īm (2013 M) karya Thaifūr Alī Wafā Madura (Azwar Hairul 2017, 44), dan mungkin masih banyak lagi karya tafsir lain yang masih tertutup kabut tebal sejarah.

Hierarki Tafsir Berbahasa Arab di Indonesia

Islah Gusmian berpandangan bahwa tafsir Indonesia berbahasa Arab akan terlihat lebih elite daripada tafsir lainnya. Sebab, mayoritas masyarakat indonesia sangat sedikit yang menguasai bahasa Arab (Islah 2021, 46). Dari kondisi inilah tafsir akan memiliki hierarki, baik hierarki di antara kitab tafsir lain maupun sasaran pembaca.

Dijelaskan oleh Masrur, KH Shodiq Hamzah berpandangan bahwa tafsir bahasa Arab kurang bisa dipahami secara langsung serta tidak dapat dibaca oleh masyarakat awam, termasuk tafsir berbahasa Jawa yang ditulis dengan aksara pegon yang sama eksklusifnya dengan sekian kode dan simbol yang umumnya hanya bisa dipahami oleh kalangan terpelajar (Masrur 2022, 180-185).

Jika demikian, maka tafsir berbahasa lokal dengan aksara roman sebenarnya juga ekseklusif, sebab hanya akan bisa dibaca oleh pengguna bahasa tersebut. Sementara, tafsir berbahasa Indonesia dengan aksara roman juga hanya akan bisa dibaca di wilayah Indonesia. Adapun, tafsir berbahasa Arab sendiri, juga hanya akan bisa dikonsumsi oleh orang tidak asing dengan bahasa Arab dan kaidah yang mengitarinya.

Kesan elitis tafsir berbahasa Arab sebenarnya terletak pada jumlah pengakses yang akan lebih banyak ketimbang tafsir berbahasa lokal dan nasional. Sebab, bahasa Arab saat ini merupakan salah satu bahasa mayor di dunia. Ia menempati urutan kelima dari 20 bahasa dunia berdasarkan penuturnya. Sedangkan, dari segi pengguna, bahasa Arab menempati posisi ketujuh dan peringkat ketiga berdasarkan tempat peresmiannya di 22 negara (Ubaid Ridlo 2015, 215).

Didukung dari teknis penyusunannya, ada sekian proses panjang sehingga orang Indonesia akan memilih menulis karya dengan bahasa Arab, baik itu berkaitan dengan risiko kesalahan atau kecakapan intelektual, mengingat bahasa Arab juga merupakan bahasa Al-Qur’an dan hadis dalam Islam.

Fakta Menarik 

Jika diamati, terutama tafsir yang telah disebutkan di atas, kebanyakan ditulis oleh mufasīr yang berlatar belakang madrasah atau pesantren. Misalnya, Tafsīr al-Madrasī karya Oemar Bakry yang ditulis dari kegiatan belajar mengajar dari Kulliyah Mu’allimin al-Islamiyyah Padang (Dadan Rusmana 2020, 57). Demikian juga sebab tafsiri itu tidak ditulis dalam kepentingan dan kebutuhan akademika seperti skripsi, disertasi, atau juga kepentingan politik dalam konsepsi Islah Gusmian tentang asal-usul tafsir. Kesemuanya merujuk pada dedikasi pendidikan secara umum, meski proses dan latar belakang spesifiknya berbeda, seperti Tafsīr Marāh Lābid yang dalam mukadimah dikatakan bahwa ia menulis tafsir ini atas permintaan seseorang.

Fakta kedua, berdasar penelitian-penelitian terkait, kitab-kitab tersebut umumnya ditulis oleh mufasīr yang memiliki riwayat pendidikan di Timur Tengah. Hanya ada beberapa yang tidak. Misalnya, Tafsīr Ayat al-Aḥkām Abil Fadhal al-Senory yang menurut Moh. Asif ditulis oleh seorang yang hanya menempuh pendidikan di Jawa, yakni lebih banyak didapat dari KH Abd Syakur al-Senory, ayahnya (Asif 2022, 85). Atau, tafsir karya KH Ihsan Jampes berjudul Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur`an sebagaimana dikutip Moch. Arifin dari Syaikh Yasin al-Fadanī dalam al-‘Iqd al-Farīd min Jawāhir al-Asānid (Moh. Arifin, 2015, 63).

Yang perlu dicatat dari khazanah ini adalah ragam bahasa yang dipilih mufasīr Indonesia tidak selalu dimotori oleh latar komunitas dan riwayat pendidikannya. Buktinya, tidak semua tafsir pesantren berbahasa lokal-pegon. Misalnya, Tafsīr al-Bayān karya KH Shodiq Hamzah yang ditulis dengan bahasa jawa-latin. Begitu juga tidak semua alumni luar negeri menulis tafsir bahasa asing. Keberadaan Tafsir al-Misbah berbahasa Indonesia karya M Quraish Shihab dan Tafsīr Ayat al-Aḥkām karya KH Abul Fadhl al-Senory berbahasa Arab menjadi bukti bahwa pemilihan bahasa tafsir di Indonesia juga berkaitan dengan hal-hal lainnya, misalnya sasaran dan konteks pembaca yang dihadapi.

Dan dari sini juga membuktikan, bahwa sekali lagi sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya juga telah mencetak intelektual hebat dalam kajian agama tanpa harus jauh-jauh ke Timur Tengah. Dengan hanya belajar di Indonesia, kita juga dapat menjadi mufasir Al-Qur’an, bahkan memakai bahasa Arab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan