Tentang Anak Kita

1,228 kali dibaca

Pada mulanya adalah sebuah kehamilan biasa.

***

Advertisements

“Mas, aku hamil. Sudah dua pekan lalu mestinya aku menstruasi,” katamu pada suatu sore. Aku cuma tersenyum.

Usai mengguyur tubuhku di kamar mandi, kamu yang masih sibuk di dapur, kubopong menuju ke kamar tidur. Kamu tersenyum, matamu berbinar, dan menggeliat manja dalam gendonganku. Lalu kutelentangkan tubuhmu di kasur. Pelan-pelan kusingkap dastermu, dari bawah ke atas, sampai melewati pusar. Sorot matamu menduga aku sedang berahi. Tidak. Aku cuma ingin mencium perutmu. Pelan-pelan, pelan sekali, kusentuhkan bibirku pada perutmu yang putih bersih. Lalu sentuhan bibir itu kuberi tekanan hingga pucuk hidungku juga menyentuh perutmu. Pelan-pelan, dengan gerakan yang khusyuk, aku memutar bibirku tiga kali mengitari pusarmu, berlawanan dengan arah jarum jam. Setelah itu aku mengecup pusarmu. Sekali.

Kamu masih diam dengan sorot mata penuh duga bahwa aku sedang berahi. Lalu, telapak tanganku yang kanan mengusap perutmu, berputar tiga kali mengitari pusarmu, juga berlawanan dengan arah jarum jam. Telapak tanganku berhenti menutup pusarmu, aku mengecup keningmu sambil berbisik, “Bayi kita laki-laki.”

“Ah, kamu sok tahu, Mas.”

Aku cuma tersenyum. Kamu tak pernah tahu, bahwa untuk mengetahui jenis kelamin bayi yang ada dalam kandunganmu, aku tak membutuhkan teknologi. (Tapi aku juga tidak tahu kenapa aku bisa tahu. Bayi kita yang lahir dua bulan lebih awal itu ternyata memang laki-laki. Dan, ketika empat tahun kemudian tanpa kita sengaja kamu hamil lagi, setelah mencium dan mengusap perutmu, sambil mengecup keningmu aku berbisik, “Bayi kita kini perempuan.” Seperti pada kehamilanmu yang pertama, kamu juga mengabaikannya, “Ah, kamu sok tahu, Mas!” Akhirnya ia lahir dengan raut muka yang lebih cantik dari yang kubayangkan.) Kukira itu bukan sebuah keajaiban, bukan sebuah kesaktian, juga bukan sebuah kebetulan. Karena anak-anak kita adalah buah hati kita, maka untuk bisa mengenalinya, kemudian menyapanya, aku kira cuma dibutuhkan sebuah intuisi, sebuah titik sambung di antara hati kita.

***

Pada mulanya adalah sebuah kehamilan biasa. Sampai pada suatu pagi, ketika kita bangun tidur, kamu menyampaikan sebuah kabar yang membuatku terkejut, sebuah kabar yang bagi orang lain mungkin justru tak berarti apa-apa.

“Mas, semalam aku bermimpi ketemu Gus Dur.”

“Ah, yang benar.”

“Sejak kapan aku berbohong. Dia benar-benar datang, dalam mimpi itu, cuma untuk mengusap perutku,” katamu meyakinkan aku.

“Wah, bisa gawat ini!” kataku sambil tertawa kecut.

“Gawat bagaimana? Bukankah, jika mimpi ini sebuah perlambang, anak kita nanti juga akan menjadi orang cerdas, seperti dia juga?”

“Justru di situlah masalahnya.”

“Kok?”

***

Pada mulanya memang sebuah kehamilan biasa, tapi akhirnya berujung pada sebuah kelahiran dengan sejumlah catatan. Ketika itu usia kandunganmu baru tujuh bulan lebih beberapa hari. Ayahmu sudah yang kesekian kali meminta aku membawamu pulang agar kamu melahirkan di rumahnya. Orangtuaku berkali-kali menelepon ingin rumahnya menjadi saksi kelahiran cucu pertama dari anak lelakinya. Tapi malam itu tiba-tiba perutmu sakit, lalu kamu minta diantar ke rumah bidan.

“Ini belum waktunya lahir, Mas, baru dua bulan lagi,” kata bidan setelah memeriksa kandunganmu.

“Ah, mungkin karena terlalu banyak makan jagung bakar,” katamu setiba di rumah kontrakan kita, “sehingga perutku mules.”

Tapi menjelang tengah malam, perutmu kembali terasa mules, semakin terasa sakit sehingga kamu meringis dan berjumpalitan karena tidak kuat menahannya. Mendengar kegaduhan itu, seorang tetangga, seorang perempuan dalam usia senja, datang. Ia kemudian memeriksamu.

“Wah, ini sudah waktunya melahirkan, cepat bawa ke bidan,” katanya begitu mengetahui ada darah kental yang menetes. Dan kamu pun segera kularikan kembali ke rumah bidan. Bidan itu kaget, melongo, gugup.

“Oh, ia memang mau lahir lebih awal,” kata bidan sambil mempersiapkan tetek bengek persalinan dengan gegas.

Dan bayi laki-laki kita lahir lebih awal, lebih kecil, lebih ringan dari ukuran-ukuran normal. “Ia lahir dengan maunya sendiri, dengan pilihannya sendiri,” kataku sambil mencium keningmu. Kamu tersenyum, puas dan lega, juga bahagia.

***

Pada mulanya adalah sebuah pertumbuhan yang biasa, sampai kemudian orang-orang menganggap anak kita memiliki kelainan.

“Ia mungkin bisu. Ia tak bisa bicara meski sudah sebesar itu.”

“Tapi ia tidak budek, bukan? Ia masih bisa mendengar suara. Kalau dipanggil juga menoleh. Bukankah, biasanya, bisu itu gandengannya tuli? Kalau tidak budek, mestinya ia tidak bisu, to?”

“Iya, ya. Tapi kenapa ya, ia tetap tak bisa bicara.”

“Ah, mungkin ia menderita autis. Ah, itu, lo, anak-anak yang gagu dalam bicara dan kikuk dalam pergaulan. Anak-anak yang hidup dalam dunianya sendiri, yang abai pada lingkungannya. Biasa, penyakit modern.”

“Ah, aku tak paham soal-soal begitu. Mungkin saja ia kesambet, ketempelan jin atau setan entah dari mana. Mungkin juga arwah-arwah neneknya atau mbah buyutnya masih terus menempel, tak tega melepas kelucuan cucunya. Kalau begitu, harus diadakan selamatan secara khusus.”

“Kamu ini ada-ada saja.”

“Lalu apa bedanya dengan teorimu… apa tadi… oh, autis, penyakit modern; sama-sama tak bisa dinalar, bukan?”

“Ah, sudahlah. Toh, ia anak orang lain, bukan anak kita sendiri.”

***

Begitulah saban hari, dan tiada henti, orang-orang, tetangga-tetangga kita, bahkan saudara-saudara kita sendiri, bergunjing tentang kelainan anak kita. Pada mulanya kita, terutama aku, abai dalam soal itu. Karena, bagiku, setiap anak memiliki pertumbuhannya sendiri.

“Kamu ini bagaimana, sih, Mas, tenang-tenang terus, berusahalah agar anak kita lekas bisa bicara seperti anak-anak yang lain.”

Aku bisa mengerti bila kamu mulai uring-uringan begitu. Anak kita, si Nandung itu, usianya memang telah melewati tahun keempat, dan ia tetap saja tak bisa bicara seperti layaknya anak-anak seusianya. Maka, hari-harimu mulai diliputi rasa waswas, kekhawatiran, juga kebingungan. Kamu pun mulai terpengaruh oleh gunjingan dan omongan orang tentang kelainan anak kita. Aku pun mulai gelisah, tapi bukan terutama karena kelainan anak kita, melainkan oleh sikapmu yang mulai terpengaruh gunjingan dan omongan banyak orang. Karena, bagiku, tetap, setiap anak memang akan memiliki pertumbuhannya sendiri. Setiap anak akan tumbuh dengan caranya sendiri, dengan jalan dan pilihannya sendiri.

Lihatlah si Nandung itu: ia tumbuh dan berkembang sebagai kanak-kanak yang sangat trengginas. Seluruh hidupnya adalah sebuah gerak yang terus-menerus tapi tidak berpola, seakan sebuah titik henti telah ditelan sang waktu entah di mana; ia terus berlarian, berjumpalitan, melempar atau membanting atau memainkan apa saja yang ditemui, memanjat dan bertengger pada pohon-pohon yang tinggi tanpa pernah merasa keder dan takut pada apa pun, pada siapa pun.

Sebagai kanak-kanak ia nyaris tak pernah tidur —kecuali kamu memaksanya dengan cara tak semestinya: menguncinya di dalam kamar atau bahkan mengikat kaki dan tangannya. Hidupnya adalah sebuah gerak itu sendiri, tanpa pernah merasa payah, capai, atau kehabisan tenaga, atau bosan. Bahkan, setiap geraknya yang terus-menerus itu justru selalu seperti memunculkan tenaga baru. Dan, tetangga-tetangga kita menyebutnya sebagai hyperactive —hanya karena kanak-kanak lain tak akan mampu melakukan hal serupa?

Lihatlah si Nandung itu: ia memang memiliki tingkah dan polah yang berlebih. Ia akan memulai, dan menjalani hari-harinya, sendiri. Mula-mula, ketika bangun tidur, ia akan menyeret kakinya, dari ranjang menuju sofa di ruang tamu. Di sana ia akan menggantungkan tubuhnya. Ia akan menyurukkan kepalanya, tengkurap di sofa, dengan kaki menggantung tertekuk, menyentuh lantai.

Jika begitu, ia tak pernah mau kita ganggu. Bila kamu berusaha membopongnya untuk cuci muka di kamar mandi, ia pasti ogah, tangannya memeluk erat-erat sandaran samping sofa untuk bertahan, dan berteriak, “Wa wa wa! Wacecke uao dudherr. Wa wa!” Bila kita biarkan, ia benar-benar akan memulai, dan menjalani hari-harinya, sendiri. Dan lihatlah: tak berapa lama ia akan duduk, berdiam diri.

Tapi sorot matanya yang terlalu tajam dan bening berpendar itu akan terus menari-nari, berputar-putar, dari sudut ke sudut, dari titik ke titik, menjelajah ke seluruh ruang —mungkin juga sampai pada ruang yang terjauh, entah di mana. Jika sorot matanya berhenti berputar, berhenti menari, ia akan tersenyum; begitulah ia selalu mengawali hari-harinya. Seperti sorot matanya, ia akan membawa tubuhnya berputar-putar, menari-nari, berlari-lari ke sana ke mari bermain apa saja, memainkan apa saja; sampai kembali pada tengah malam kamu memaksanya untuk tidur karena kanak-kanak seusianya telah berjam-jam sebelumnya mendengkur.

Lihatlah si Nandung itu: ia tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Pertama kali mengajarinya bicara, yang kamu peroleh adalah tamparannya. “Hei, Nak, kamu diajari omong yang benar malah menampar mulut ibumu,” katamu sewot pada suatu sore ketika menemaninya bermain di emperan rumah. Dari balik jendela, aku cuma tersenyum, “Kamu cuma kurang sabar.”

Sejak pada mulanya, ia selalu bersuara, ia selalu berbicara. Hanya, karena seperti sedang meracau, kita tak pernah bisa memahaminya. Dalam seluruh geraknya yang tak pernah henti itu, ia selalu bersuara, ia selalu berbicara, seperti ditujukan pada dirinya sendiri, seperti ditujukan entah pada siapa, dalam bunyi yang tetap tak bisa kita mengerti. Bahkan untuk menyalinnya ke dalam tulisan (ini) pun, aku tak memiliki kesanggupan.

Wai-wai! Cobhrekote koitroma ma. Jujuja jujuja, yaaa,” begitulah caranya ia berbicara yang tetap tak pernah bisa kita mengerti meskipun dilakukan dalam gaya yang sangat ekspresif, sambil kedua tangannya selalu bergerak-gerak, entah menunjuk entah menuding entah. Kadang jika berada di sampingnya, kamu akan selalu menghardik, “Hus, bicara yang benar.”

Dan ia akan tertawa, lalu menyingkir darimu. Pada tempat lain, ia akan kembali asyik dengan mainannya sendiri, geraknya sendiri, suaranya sendiri, bicaranya sendiri. Dan kamu sering kehilangan kesabaran, lalu terus dan terus mencoba mengajari bicara seperti kita berbicara. Tapi tiap kali kamu mengajarinya bicara, ia akan selalu berusaha menyingkir darimu, atau justru seperti sengaja menggodamu, tentu dengan bunyi suaranya yang tak pernah bisa kita pahami: “Majkrecuyo wowohsraeji thuiyeuo…” dan sebagainya, dan seterusnya.

Lihatlah si Nandung itu: karena seluruh gerak-geriknya tidak pernah bisa diikuti atau diimbangi oleh kanak-kanak lain dalam bermain, bahkan juga kita; karena seluruh bunyi suaranya bila berbicara tak pernah bisa dipahami, akhirnya ia selalu memilih kesendirian. Ia terlihat benar-benar hidup dalam dunianya sendiri. Dan kamu terlihat makin cemas, makin khawatir, makin kehilangan kesabaran. “Aku akan melakukan apa pun, agar anak kita lekas bisa bicara seperti kanak-kanak yang lain,” katamu tandas.

***

Pernah suatu hari, diam-diam kamu membawanya ke rumah seorang dukun, tokoh yang dikenal mampu mengobati dan menyembuhkan segala penyakit dengan segala mantra dan jampi-jampinya. Kamu rela antre berjam-jam sambil terus berusaha menjinakkan polah si Nandung yang justru makin binal. Tapi entah karena apa, mungkin kepayahan melayani pasien yang sangat banyak, ketika giliran hendak mengobati anak kita, tiba-tiba sang dukun roboh, tak sadarkan diri, dan kamu bergegas menggendongnya, pulang dengan tangan hampa. Aku sempat menegurmu soal itu, tapi kamu berkilah, “Aku jadi malu, Mas, terus-terusan dibilang anak kita bisu!”

“Bila mengikuti omongan orang, maka kita akan jadi gila sendiri.”

“Coba kalau kamu pernah mendengar sendiri bagaimana orang-orang bergunjing tentang anak kita, pasti juga akan merasa malu dan tertekan. Apa kamu rela, Mas, anak kita dibilang bisu, padahal tidak tuli?”

“Memang tidak bisu. Ia cuma sedang berbicara dalam dan dengan bahasanya sendiri. Pada saatnya, ia juga akan berbicara dengan bahasa kita.”

“Ah, dari dulu kamu itu sok tahu. Coba katakan, sekarang ia sedang bicara dalam bahasa apa, bahasanya siapa? Bahasa langit? Bahasa jin? Bahasa setan? Bahasa negeri antah berantah? Yang realistis saja, Mas.”

Dan aku memilih mengalah. Aku tidak mau anak kita justru menjadi sumber perselisihan, pemicu pertengkaran. Kita akan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan anak kita dengan cara masing-masing, jalan yang berbeda. Meski begitu, aku bersetuju menerima usul ayahmu agar kita mengadakan selamatan khusus.

“Ini mungkin arwah-arwah mbah buyutnya belum ikhlas melepas kelucuan satu-satunya cucu lelakinya. Jadi kita harus minta keikhlasannya, dengan cara selamatan itu,” begitu ayahmu mengusulkan.

Beberapa bulan setelah selamatan itu, tetap tak ada perubahan apa pun pada polah dan gaya racau anak kita. Tapi kamu tak pernah kehabisan akal, tak pernah berputus asa. Kembali, kamu mendatangi seorang dukun perempuan. Katanya anak kita ditempeli prewangan, roh halus yang memang menyukai anak kita.

“Racau anakmu itu adalah bukti bahwa ia sedang guyonan dengan prewangan yang mengikutinya,” katanya. Dan si dukun perempuan itu terus berusaha mengusirnya. Salah satu caranya adalah menggerujuknya dengan air kembang. Dan baru kali ini, sampai usianya melewati tahun keempat, anak kita menangis ketakutan —sebelumnya, ia tak pernah merasa keder dan takut pada apa pun dan siapa pun! Tapi hasilnya tetap saja nihil. Ia tetap meracau dalam bicaranya, dan setiap polahnya selalu seperti memunculkan tenaga baru untuk terus bergerak dan bergerak, dengan lincah dan binal.

Akhirnya pada suatu hari, ketika usianya memasuki tahun kelima, dan setelah segala daya upaya serta beragam cara mulai dari pengajaran mengeja huruf per huruf oleh guru Taman Kanak-kanak sampai kamu menyuruhnya minum abu kelelawar yang dibakar lalu dilarutkan dalam air tanpa hasil, kamu merasa telah menemukan jalan terakhir dan manjur.

Seorang dukun perempuan lain lagi memberimu sebuah resep: pertama-tama kamu harus mencari atau menemukan burung beo —milik siapa pun. Pada malam Jumat Legi, kamu harus mengerokkan cincin kawinmu pada lidah burung beo itu sebanyak tiga kali. Setelah itu, cincin kawin itu harus kamu kerokkan pada lidah anakmu, juga sebanyak tiga kali. Ini harus kamu lakukan secara berturut-turut, juga sebanyak tiga kali. Berarti, prosesi ini harus melewati tiga kali malam Jumat Legi. Dan kamu dengan sepenuh hati telah melakukan segala hal persis seperti yang diwejangkan dukun perempuan itu.

Pada malam Jumat Legi itu, kamu membawa si Nandung ke rumah orang kaya, entah siapa, yang memiliki burung beo. “Hai, hai, ada tamu. Cantik, lo,” begitulah si beo itu menyambutmu. Kamu tersenyum, dan berucap, “Burung saja pandai bicara, apalagi manusia….”

Burung beo itu nangkring dengan anggunnya, dengan gagahnya, dalam sebuah sangkar yang sangat megah; ia lebih mahal dari segala yang kita punya. Bulu-bulunya hitam berkilau, tertata dengan halus dan rapi. Kakinya kuning keemasan, dan kokoh. Matanya bening berbinar, kulit mukanya kuning bersih. Paruhnya melengkung panjang, runcing, dan halus. Ia, tentu saja, fasih berbicara, fasih menirukan banyak kosa kata dan kalimat sebanyak yang diajarkan tuannya.

Pemilik burung beo itu dengan senang hati membantumu. Ia mengeluarkan burung kesayangannya dari sangkarnya, kemudian membuka paruhnya menganga lebar, dan menahannya dengan kedua ujung jari telunjuknya. Lidahnya menjulur, tubuhnya bergerak-gerak, ekornya kebat-kebit, dan ia mencicit atau meracau dalam bahasa yang tak bisa kita pahami, dalam kosa kata yang tak pernah diajarkan oleh tuannya. Tapi kita tak peduli. Kamu melepas cincin kawin kita, dengan gerakan tangan yang pelan dan teratur, kamu mengerokkannya pada lidah si beo yang terjulur itu sebanyak tiga kali. Burung beo itu dimasukkan kembali ke dalam sangkarnya. Lepas dari genggaman pemiliknya, ia langsung mengepakkan kedua sayapnya, terbang berputar-putar dalam kurungan yang megah. Kembali, ia meracau dalam bahasa yang tak bisa kita pahami, dalam kosa kata yang tak pernah diajarkan oleh tuannya. Lelaki itu, orang kaya itu, entah siapa namanya aku lupa, mukanya masam. Sewot.

“Hai, bicara yang benar, seperti yang pernah kuajarkan!” demikian lelaki itu berteriak memarahi burung kesayangannya.

Kita abai. Selekas mungkin, kamu memangku si Nandung, “Julurkan lidahmu, Nak.” Kamu pun lekas menggosokkan cincin kawin itu pada lidah Nandung yang terjulur, sebanyak tiga kali. Lalu kamu melirik burung beo, dan tersenyum, “Anakku akan lekas pandai bicara sepertimu, beo.”

Burung beo itu masih meracau.

***

Tapi kamu tak pernah tahu, bahwa aku sering menangis dalam hati ketika melihat orang-orang, tetangga-tetangga kita, saudara-saudara kita, dan terutama kamu, sangat bersuka cita menyaksikan anak kita, si Nandung, yang telah tak meracau lagi dalam bicaranya, yang tak lagi bicara dalam dan dengan bahasanya sendiri. Kini ia mulai pandai dan fasih meniru-niru semua bunyi, meniru-niru semua suara orang bicara, seperti burung beo melakukannya. Selebihnya, ia akan diam dalam kesendiriannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan