Tauhid: Pandangan Dunia dan Epistemologi Relasional

1,696 kali dibaca

Sepanjang pemahaman kita tentang bagaimana muslim mengartikan Islam, maka analisis kita tentang Islam dan Tauhid tidak bisa hanya sebatas pada relasi Tuhan dan keimanan saja. Oleh karena itu, jalan terbaik untuk memahami Tauhid adalah dengan mengartikannya sebagai “penyatuan”. Ketika gagasan itu dikembalikan pada bidang ketuhanan, ia akan berarti “Keesaan Tuhan”. Akan tetapi, sebagaimana telah kita lihat, Islam mencakup bidang-bidang keduniawiaan, mental, dan sekaligus ketuhanan.

Dengan demikian, apa yang harus kita analisis di sini adalah bagaimana Tauhid berfungsi di dalam pemikiran muslim, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam peradaban. Pada titik ini, ada baiknya kita gunakan istilah “pandangan dunia Tauhid,” sebagaimana pernah digunakan oleh Murtadha Mutahhari.

Advertisements

Pertama-tama, ia mendefinisikan “pandangan dunia” itu sebagai sebagai berikut: “Pandangan dunia Tauhid” berarti bahwa alam semesta ini unipolar dan uniaxial. Pandangan dunia Tauhid berarti bahwa hakikat alam semesta ini berasal dari Allah (Inna Lillah) dan akan kembali kepada-Nya (Inna ilaihi rajiun).

Apa yang dapat diedukasikan dari pandangan dunia ini adalah bahwa ada dualisme yang membagi dunia ini pada materi dan ruh. Akhirnya, segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan: Kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. (Q.S al-Baqarah [2]: 156). Di sinilah kita bisa lihat bahwa tidak ada superioritas manusia atas makhluk warga dunia yang lainnya.

Dalam kehidupan sosial muslim, pandangan dunia Tauhid digambarkan bahwa Tauhid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah esa. Ia menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan, dan kekuiasaan. Ia menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan… keesaan Tuhan berarti juga keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kewadagan, antara keagamaan dan keduniawian. Dengan memahami seluruh aspek kehidupan diatur oleh satu hukum, dan tujuan seluruh muslim bersatu dalam kehendak Allah.

Jelaslah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam “jaringan relasional Islam”. Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, sosial dan individual. Kita kemudian akan menguji jaringan relasional Islam itu melalui ibadah (yaitu lima pilar kewajiban Islam) yang diatur oleh syariat Islam, yakni syahadat, shalat, pasa, zakat, dan haji.

Syahadat adalah persaksian seorang muslim. Mereka bersaksi “Tidak ada Tuhan melainkan Allah, Tuhan yang Esa, dan Muhammad adalah rasul Allah.” Syahadat merupakan kewajiban yang paling penting dalam Islam.

Pada penggalan pertama, politeisme diingkari dan keesaan Allah dikukuhkan. Pada permulaan syahadat, muslim menyatakan Tauhid, yang merupakan basis jaringan relasional Islam. Pada penggalan kedua, muslim bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan mereka mengakui atas sebuah bentuk jaringan relasional Islam yang sempurna karena Al-Quran sebagai firman Allah yang abadi dan universal, yang diturunkan melalui Muhammad.

Salat adalah dialog spiritual langsung seorang muslim dengan Tuhan. Seluruh muslim mempunyai kesempatan yang sama untuk berhubungan dengan Tuhan. Dalam perhubungan ini, tampaknya hanya aspek spiritualnya yang ditekankan. Akan tetapi, salat yang diatur oleh syariat Islam, tidak hanya sebatas pada aspek spiritual. Mislanya, rekaat (gerakan dalam salat) adalah latihan fisik. Lurus menghadap kiblat, dan tepat waktu, melatih solidaritas yang tak terlihat dalam kehidupan muslim, dan semuanya menyatukan muslim secara simbolik. Wudhu dan ghusl tidak hanya menyangkut pembersihan spiritual, tetapi latihan bagi kebersihan badan. Konstruksi masjid dan penyelenggaraan salat Jumat mencakup sosial dan spiritual. Muslim mendengarkan khutbah, dan mendiskusikan masalah-masalah mereka bersama-sama di masjid.

Dalam QS Al-Baqarah [2]: 183 disebutkan adanya aspek mentalitas puasa, namun metode berpuasa sendiri itu melatih solidaritas sosial, dalam hal merasakan penderitaan orang-orang yagn kelaparan. Puasa dikerjakan pada bulan Ramadan. Artinya, seluruh muslim berpartipasi secara langsung pada puasa ini secara serentak. Ini juga merupakan gerakan sosial, dan ini juga menyatukan muslim secara simbolik.

Dalam Al-Quran ditegaskan adanya sedekah, yang adalah untuk kaum miskin dan fakir, para amil, orang-orang yang mualaf, para penanggung utang, sabilillah, dan ibnu sabil (QS At-Taubah [9]: 60). Ayat ini menekankan hanya aspek sosial. Akan tetapi, Al-Quran juga menjelaskan:… dan nafkahkan nafkah yang baik untuk dirimu (QS At-Taghabuun [64]: 16); … Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya (QS. Al-Lail [92]: 18). Ini merupakan bentuk dari aspek spiritual. Ketika fungsi zakat efektif di dalam masyarakat Islam, sudah barang tentu ia mencakup aspek ekonomi.

Haji adalah kewajiban manusia terhdap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran [3]: 97). Muslim melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan dengan askis nyata. Tugas-tugas simbolik dilaksanakan dengan aksi-aksi konkret, baik secara individu maupun secara sosial

Dalam lima kewajiban itu, dapat kita lihat bahwa masalah yang bersifat spiritual adalah juga bersifat materiil, aksi yang duniawi adalah juga agamawi yang individual sekaligus sosial. Dapat pula dikatakan bahwa jaringan relasional Islam yang tampak adalah didasarkan pada pandangan dunia Tauhid.

Betapapun, kehidupan muslim tidak hanya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban itu. Kehidupan muslim adalah kehidupan pasti, dan dalam kehidupan itu dibutuhkan lembaga-lembaga ekonomi, politik, sosial, dan kultural. Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan