Tanpa Pancasila, Indonesia Bubar

2,478 kali dibaca

Tanpa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hampir dapat dipastikan akan terpecah-pecah lagi alias bubar. Karena itu, Pancasila wajib dipertahankan sebagai kesepakatan bersama seluruh komponen Bangsa Indonesia.

Hal itu dikemukakan oleh Pelaksana Tugas Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Dr Phil Sahiron Syamsuddin dalam Webinar Pancasila yang diselenggarakan oleh Jejaring Dunia Santri Senin (15/6/2020). Nara sumber lain yang mengisi Webinar Pancasila ini adalah Prof Melani Budianta (Dosen FIB UI), KH Abdul Mun’im DZ (Sekretaris PBNU), dan Bisri Effendy (peneliti dan aktifis Jejaring Dunia Santri. Webinar diikuti sekitar 200 orang dari berbagai latar belakang dan daerah, di antaranya mahasiswa, akademisi, santri, aktifis sosial, pejabat negara, dan masyarakat umum. Webinar ini dipandu Kepala Makara Art Centre Universitas Indonesia al-Zastrouw.

Advertisements

Dalam materinya yang berjudul “Relasi Islam dan Pancasila”, Sahiron menjelaskan, salah satu tantangan Pancasila saat ini adalah masih adanya sekelompok kecil masyarakat atau kekuatan yang menginginkan mengganti Pancasila dengan ideologi lain, baik ideologi negara maupun ideologi sekular. Namun, Sahiron memastikan, jika Pancasila diganti dengan ideologi lain, maka Indonesia akan menjadi negara yang terpecah-pecah.

“Kalau masyarakat di Yogyakarta, misalnya, menginginkan negara berdasarkan Islam, nanti di Bali akan muncul negara berdasarkan agama Hindu, di daerah lain muncul negara berdasarkan Kristen, dan sebagainya. Dan Indonesia akan terpecah-pecah, akan terjadi perang saudara. Karena itulah Pancasila harus tetap dipertahankan,” katanya.

Ia memastikan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Sebab, lanjutnya, Nabi melalui Piagam Madinah telah mencontohkan bagaimana masyarakat Madinah yang plural baik dari segi suku maupun agama dapat hidup berdampingan secara damai berdasarkan kesepakatan bersama yang dijadikan landasan. “Pancasila ini itba Nabi dari Piagam Madinah itu, dan karena itu wajib dipertahankan,” tandasnya.

Pernyataan Sahiron ini dikuatkan oleh penegasan Mun’im DZ. Ia menegaskan bahwa Pancasila telah sesuai dengan pandangan Islam soal hidup berbangsa dan bernegara. Menurutnya, tidak mungkin para kiai-kiai waktu ikut merumuskan dan kemudian mempertahankan Pancasila jika memang bertentangan dengan agama. “Kalau Pancasila bertentangan dengan agama, tidak mungkin dipertahankan oleh para kiai,” jelas Mun’im.

Sementara itu, Prof Melani Budianta yang membawa materi berjudul “Pancasila sebagai Konstruksi Ideologi Bangsa” menegaskan, sebagai kesepakatan bersama para pendiri bangsa, sebenarnya Pancasila sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. “Seharusnya sudah tidak ada lagi pertanyaan soal Pancasila ini,” katanya.

Namun, Melani memang mengakui, di era milenial ini, Pancasila menghadapi banyak tantangan dalam implementasinya di tengah masyarakat. Misalnya, masih ada sebagian masyarakat yang menganggap penerapaan Pancasila berbau indoktrinasi Orde Baru. Selain itu, pertarungan kepentingan politik dan maraknya hoaks di media sosial dapat menyulut kebencian, termasuk dengan Pancasila sebagai ideologi. “Juga, masih ada masyarakat yang mempertentangkan dan membenturkan antara Pancasila dengan agama,” katanya.

Maraknya pertarungan ideologi global, seperti kapitalisme dan konsumerisme, sebut Melani, juga dapat menggerus kecintaan masyarakat Indonesia terhadap Pancasila. Bahkan, budaya dan tradisi lokal tempat Pancasila digali juga mulai tersisih oleh serbuan ideologi dan gaya hidup global ini.

Namun begitu, Melani sangat optimis kita memiliki peluang besar untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa saat ini. Ia menyebut, munculnya generasi muda milenial yang kreatif, kritis, canggih menggunakan media, namun telah memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi adalah peluang untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Selain itu, berkembangnya komunitas-komunitas budaya yang berkesadaran untuk mengembangkan budaya lokal yang terbuka pada keragaman juga menjadi peluang. “Sekarang, tergantung bagaimana pemerintah menfasilitasi munculnya generasi-generasi yang telah memiliki kesadaran berkebangsaan ini untuk terus menanamkan nilai-nilai Pancasila,” katanya.

Seiring dengan Melani, Bisri Effendy sebagai nara sumber terakhir menegaskan posisi Pancasila sebagai local genius sekaligus local wisdom, yang hingga kini tetap hidup di masyarakat. Lebih tepatnya, kearifan dalam bingkai kebhinekaan. Dalam paparannya, Bisri menegaskan bahwa Pancasila adalah hasil saripati perasan para tokoh bangsa dalam memformulasikan serta mencari bentuk ideal falsafah negara saat itu hingga puncaknya terbentuklah kelima sila yang sekarang ini disebut dengan Pancasila. Kearifan lokal menjadi pemersatu masyarakat sehingga mampu mewujudkan kerukunan dan menata kehidupan serta keberlangsungan hidup mulai dari ekonomi, politik, dan lingkungan agar lebih manusiawi.

“Kita harus terus merawat kebhinekaan ini, local genius sekaligus local wisdom ini, untuk menginspirasi penerapan Pancasila sebagai ideologi bangsa di era milenial ini,” kata Bisri Effendy.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan