Taman Surga

2,565 kali dibaca

Rumah kuno itu, yang disesaki perkakas lawas dan barang-barang antik, terlihat lama tak begitu terurus. Di samping kiri rumah, yang difungsikan sebagai garasi, tiga mobil tua berjejer dalam tidur panjang. Entah sejak kapan deru mesinnya tak pernah kedengaran lagi. Hanya sesekali terdengar derit engsel pintu dari salah satu mobil yang kadang dijadikan tempat tidur oleh seorang batih.

Rumah kuno itu, meski terdiri dari dua lantai, memang berukuran sedang. Maka perkakas lawas, yang sebenarnya tidak banyak, terasa menyesaki ruangannya. Ruang tamu telah sesak, nyaris tanpa tersisa, oleh meja persegi dengan empat kursi dari kayu jati. Ruang keluarga apalagi. Meja bundar besar menengahi hampir seisi ruangan. Dan yang memeluk hampir semua dindingnya adalah rak-rak buku, yang dipenuhi buku-buku dari mana saja, buku-buku apa saja.

Advertisements

Tapi lihatlah, selalu ada ruang untuk barang kuno atau antik. Di antara deretan buku-buku yang menguasai ruang, ada dua atau tiga barang kuno yang terbilang antik: di antaranya adalah radio transistor entah produksi tahun kapan. Mungkin pabriknya juga sudah lama tutup. Radio-radio itu berukuran besar, berwarna kusam kecoklatan, lebih menyerupai peti barang pusaka para priyayi zaman baheula. Mungkin radio-radio itu bisa mengeluarkan bunyi hanya jika dipukul atau ditabok. Buk!

Begitulah rumah orang yang selalu pergi, ini. Selama bertahun-tahun, mungkin lebih dari separo hidupnya, ia selalu pergi ke banyak tempat, dan biasanya membawa satu dua barang ketika pulang. Benda-benda itulah yang menyesaki rumahnya, benda-benda yang menjadi penanda akan suatu masa, dan mungkin jejak suatu tempat.

Rumah kuno itu, beserta segala isinya, akhirnya memang menjadi penanda atau mewakili siapa pemilik dan penghuninya, kecuali yang satu ini: taman! Padahal, justru taman itulah alasan kenapa ia menjadi orang yang selalu pergi.

***

Ia adalah pribadi yang berbeda, dengan segala pilihan hidupnya.

Ia justru memilih memisahkan diri, atau menjaga jarak, dari teman-temannya yang sukses menjadi orang besar, dengan karya-karya besar. Gedung-gedung megah menjulang yang menuding langit, bangunan-bangunan spektakuler yang menandai hadirnya sebuah kota modern, misalnya, adalah sebagian kecil dari karya teman-temannya. Tapi ia tak pernah terbujuk dengan kesuksesan seperti itu.

Ia cuma berkata, biarlah orang lain yang membangun tempat yang membuat orang-orang bisa tidur nyenyak dan makan enak. Ia lebih memilih untuk membuat taman-taman kecil di banyak tempat. Sebab selalu ada orang yang ingin berada di alam terbuka untuk menghirup udara segar. Tempat orang bisa menyeruput secangkir kopi dengan tertawa lebar.

Sejak itulah, ia menjadi orang yang selalu pergi dari rumahnya untuk menuju banyak tempat, tempat-tempat yang jauh. Tempat-tempat yang tak banyak dipikirkan. Bahkan mungkin telah dilupakan.

Di tempat-tempat baru itu, tempat yang baru ia kunjungi, ia selalu mengajak, dengan cara membujuk, orang-orang untuk membuat taman. Tak harus di tengah kota atau di lokasi-lokasi strategis. Bukan pula taman megah atau taman rekreasi yang ingin ia bangun. Cuma taman kecil dan sederhana, mungkin di sebidang tanah kosong atau pekarangan seberang rumah seseorang.

Yang penting ada tempat bagi orang-orang untuk duduk-duduk santai melepaskan kesumpekan, melepas penat, menghirup udara segar di alam terbuka, bercengkerama dan saling bertukar cerita. Atau mendiskusikan apa saja. Itulah taman-taman yang selalu ia coba bangun di banyak tempat.

Begitulah, di tempat-tempat jauh yang dikunjungi, ia akan menemui dan berkenalan dengan orang-orang di sana, lelaki-lelaki tua, perempuan-perempuan tua, orang-orang muda, atau para remaja. Semuanya. Kemudian ia akan mengajak mereka berdiskusi, dan membujuk, untuk mau membuat taman di tempat mereka sendiri. Yang penting ada sebidang tanah kosong, dan bisa ditanami tanaman bunga apa saja yang biasa tumbuh di situ. Tak senantiasa mudah, tapi pada akhirnya mereka selalu terbujuk.

Begitulah, sebidang tanah kosong di suatu tempat yang jauh itu akhirnya berubah menjadi taman. Ia, bersama orang-orang yang diajak membuat taman itu, sering duduk-duduk di situ, di taman yang baru mereka buat. Mereka, orang-orang di sana, senang karena kini mempunyai sebuah tamah. Di taman itulah mereka berkumpul, bersantai, bersenda gurau, berbagi cerita, tertawa bersama dengan bebasnya, di ruang terbuka. Sesekali mereka juga berdiskusi perkara serius. Sesekali kali pula mereka berjoget ria untuk merayakan apa yang perlu dirayakan. Ketika berada di taman itu, mereka serasa berada di surga.

Ya, kini, bagi mereka, taman itu serasa taman surga, menirukan kata-kata yang pernah diucapkannya dalam satu diskusi di taman itu: surga adalah buah dari apa yang kita tanam hari ini, dari apa yang kita buat hari ini.

Tahun-tahun berjalan, teman-taman surga itu akhirnya muncul di mana-mana, di tempat-tempat baru yang ia kunjungi. Mungkin ada di pinggiran kota Jayapura atau di pedalaman Papua. Mungkin ada pinggiran kota Kupang atau di ceruk-ceruk Pulau Flores. Mungkin ada di pinggiran kota Makassar atau di pekarangan orang-orang Bugis. Mungkin ada di pinggiran kota Banjar atau di dusun-dusun Kalimantan. Mungkin sudah terlupa berapa jumlah taman surga yang telah dibuat dan entah di mana saja.

Dari sanalah, setip kali pulang, ia membawa satu dua barang, atau benda-benda yang kini menyesaki rumahnya yang kuno itu.

***

Di rumahnya sendiri ia melupakannya: taman.

Ia memang sudah mulai uzur, dan karena itu dalam tahun-tahun terakhir ini tak lagi menjadi orang yang selalu pergi. Tak mudah, memang, baginya untuk selalu berada di rumah. Tapi usia tak lagi mendukungnya, dan karena itu ia harus mulai membiasakan diri dengan rumahnya. Saat itulah ia baru menyadari bahwa di rumahnya sendiri tak ada taman. Ia berniat membuatnya, seperti di tempat-tempat yang pernah dikunjunginya.

Maka, sisa tanah di belakang rumah, di samping dapur, mulai ia persiapkan untuk dijadikan taman. Ia hanya akan menjadi taman yang kecil, memang, tapi dirasanya cukup sebagai taman yang diinginkannya.

Saban pagi, ia mulai memberaskan dan menata pot-pot bunga. Sebagian tanah yang belum diplester ia gali, ia siapkan untuk tanaman yang belum ada.

Sebagai orang yang sudah mulai uzur, ia tak bisa bekerja berlama-lama. Setelah mengangkat dan menata beberapa pot, ia akan beristirahat untuk memulihkan tenaga. Suatu waktu istrinya yang juga sudah sepuh itu bertanya, kenapa memaksakan diri seperti itu. Ia hanya menjawab pendek, membuat taman surga. Tentu saja istrinya terbengong. Menatapnya dalam-dalam.

Ia mengabaikan nasihat istrinya agar tidak terlalu ngotot untuk segera menyelesaikan tamannya. Tapi, saat tempat itu sudah siap, ia malah mengajak istrinya pergi ke tempat orang berjualan tanaman bunga. Di sanalah, pasangan sepuh ini terlihat sering membeli banyak tanaman bunga. Masing-masing akan memilih tanaman pilihannya.

Pembuatan taman itu memang beberapa kali terhenti tiap ia kecapaian dan kemudian jatuh sakit. Namun, begitu merasa sehat, kebugaran tubuhnya pulih, ia kembali bekerja untuk menyelesaikan pembuatan taman yang diimpikannya. Entah perlu berapa lama, taman itu akhirnya memang jadi. Ruang kosong belakang rumah itu akhirnya berubah menjadi taman mungil. Beraneka bunga penuh warna ditanam di sana. Dan di sanalah ia sering menyendiri, berdiri, tersenyum, saat teringat pada taman-taman yang telah dibuatnya di banyak tempat, yang telah berubah menjadi taman diskusi, taman ilmu.

Rupanya tak lama ia bisa menikmati taman impiannya itu. Tak lama setelah tamannya jadi, kesehatannya terus menurun, sampai saatnya ia harus pergi lagi, tapi kali ini untuk selamanya. Sejak itu, yang sering terlihat menyendiri di taman itu, di belakang rumah kuno itu, adalah istrinya. Di sana ia akan sering terlihat tersenyum, serasa berada di taman surga, bersamanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan