Tak Ada Salju di Sydney

701 kali dibaca

Di sebuah pagi di musim dingin, aku menjumpai seorang gadis yang amat cantik, namun tidak terlalu cantik bagi orang lain.

Di pantai timur Sidney, aku bertemu dengannya: Elisa. Pantai itu dikelilingi oleh pelabuhan alami yang indah dan menakjubkan. Tentu saja sebagai mahasiswa yang berasal dari Indonesia, pantai itu membuatku candu dan tidak pernah ada pantai seperti itu di negeri kami.

Advertisements

Gadis itu masih muda, dan kuliah di universitas yang sama denganku, University of New South Wales namun dengan program studi yang berbeda. Aku di Engineering, sementara dia di jurusan Medicine & Health.

Kami sering bertemu di Bondi Beach. Kami juga sering janjian untuk bertemu di Hyde Park bila akhir pekan. Dari pertemuan-pertemuan itulah aku merasa bahwa kami memiliki kecocokan satu sama lain dan memutuskan mendeklarasikan hubungan.

Kami tahu bahwa kultur sebagai orang Jawa Timur tidak bisa hilang. Sedikit atau banyak, ada semacam kedekatan emosional. Semacam ada hubungan ketetanggaan yang membuat kami sering mencurahkan segala permasalahan maupun kesan selama kami di sini, saat kami bertemu. Dia orang Ngawi, dan aku orang Bojonegoro.

Terlebih karena tinggal di Sidney, dia masih merasakan menjadi orang asing, begitupun denganku.

“Pernahkah kau berpikir untuk tinggal di sini selamanya?” tanya Elisa. Dari sorot matanya, menandakan bahwa ada keresahan di dalam hatinya.

“Mengapa kau menanyakan itu?” aku bertanya balik.

“Kita sebentar lagi akan meninggalkan kota ini. Kau tahu, kan, jika tujuh bulan lagi kita akan wisuda? Pertanyaanku adalah, jika kita kembali ke Indonesia, apakah kita dapat berkontribusi untuk masyarakat?” katanya.

“Menjadi orang yang bermanfaat tidak harus jauh-jauh kuliah di Australia, bukan?” jawabku.

Untuk sesaat, dia hanya terdiam. Sorot matanya menatap lurus ke arah laut. Ada beberapa kapal kecil seperti kapas yang mengapung di laut. Ombak saling berkejaran. Suara desir angin tampak tidak mampu untuk membuyarkan lamunannya.

“Kau rindu dengan seseorang, Elisa?”

Dia menoleh ke arahku. Tidak ada bahasa yang lebih iba daripada anggukkan kepala seorang gadis yang merindukan kampung halaman.

Sudah banyak momen-momen yang terlewat selama dia berada di Australia. Terutama kabar duka saat ayahnya meninggal dunia dan dia tidak bisa pulang. Begitupun dengan kakaknya yang tiga bulan lalu menikah, dan lagi-lagi dia juga tidak bisa menyaksikan kakaknya berbahagia di pesta pernikahan.

“Kau akan pulang, kan, setelah lulus?” tanya Elisa memastikan. Aku hanya menghela napas.

“Entahlah… Aku sudah tidak punya rumah untuk pulang. Bapak dan ibuku sudah lama meninggal. Nenekku, satu-satunya keluarga yang tersisa, juga telah meninggal sebulan sebelum aku mendapat beasiswa. Lagi pula, setelah kita lulus kemudian pulang ke tanah air, kita belum punya jaminan pekerjaan. Sementara mencari pekerjaan di Indonesia sangat sulit,” jawabku.

“Saat ini, satu-satunya yang kumiliki juga akan meninggalkanku, yaitu kau. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali nyawa ini,” sambungku.

Dia menatapku. Dia selalu menatapku saat aku berbicara. Dia juga suka mengenakan jaket unta bila musim dingin dan menyukai hijab pashmina berwarna hitam.

Apartemen yang aku tempati dengan apartemennya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan lima belas menit dengan bersepeda. Dan jika akhir pekan dia akan sering menghabiskan waktu ke Bondi Beach.

Tempat itu terletak sekitar empat mil di sebelah timur pusat bisnis Sydney. Biasanya kami akan menghabiskan waktu pagi hingga sore menjelang. Di sana ada deretan tebing-tebing yang memukau, serta pasir putih yang bersih. Yang tidak akan kami lewatkan adalah melihat gerombolan paus di kejauhan dari bibir pantai.

“Pulanglah bersamaku. Kita akan membangun rumah tangga di sana. Apa kedengarannya tidak masuk akal?” katanya.

“Tuhan menciptakan langit dan bumi. Tentu saja Dia juga menciptakan kehidupan bersama rezekinya. Kau tidak perlu khawatir dengan itu,” sambungnya.

***

Pagi itu, aku membuka gorden. Terlihat langit amat cerah, meskipun udara di luar dingin. Tidak ada salju di Sydney. Salju tidak ada di sini karena letaknya di belahan bumi selatan dan kondisi iklimnya tidak mendukung terjadinya salju. Meskipun tidak ada salju di Sydney, tetapi kadang-kadang suhu mencapai 8,8 °C.

Biasanya, di pagi hari sebelum masuk kuliah, aku menyempatkan diri untuk minum kopi dan membaca buku atau membaca surat kabar kalau tidak sedang memasak. Aku sudah terbiasa hidup sendiri selama di Sydney. Aku juga sadar bahwa, jika kembali ke Indonesia, aku tidak punya rumah untuk pulang.

Aku sudah nyaman tinggal di sini dan aku pun merasa bahwa di sini sudah menemukan tempat yang cocok bagi diriku sendiri. Tetapi, pemerintah sudah dua kali memperingatkan bagi mahasiswa penerima, termasuk diriku, untuk kembali pulang ke Indonesia setelah selesai studi.

Asap tipis yang berasal dari secangkir kopi itu melayang-layang. Aromanya harum, mengingatkanku pada suatu lorong waktu yang jauh meninggalkanku. Waktu kecil, aku sering meminum kopi bapak yang dibuatkan oleh ibu di pagi hari sebelum bapak pergi ke kebun tembakau. Bapak sering meniupkan kopi itu supaya tidak panas jika aku minumnya. Kopi ternikmat adalah kopi buatan ibu untuk bapak.

Di kampung, aku masih punya rumah. Saat ini dibiarkan kosong. Meskipun begitu, aku tetap enggan untuk menempati rumah itu. Rumah yang tidak ada keluarga di dalamnya bukanlah rumah untuk pulang. Sama halnya, meskipun musim dingin, tidak ada salju di Sydney.

Tetapi sesekali, aku ingin suatu saat berziarah ke makam bapak dan ibu serta nenek. Aku juga sempat berpikir untuk kembali ke Yogyakarta setelah program masterku selesai. Sebab Yogyakarta adalah rumah kedua bagiku.

Tiba-tiba, dari luar ada orang yang mengetuk pintu. Ketukan itu berbunyi lagi. Seketika aku mulai berjalan menuju pintu. Aku intip dari gorden, dia adalah Elisa, bukan petugas pengantar koran.

Aku membuka pintu. Gadis itu benar-benar cantik menurutku, entah penilaian orang lain. Mata dan senyumnya begitu sempurna. Dia mengajakku untuk pergi ke Hyde Park. Aku tidak akan bisa menolak ajakannya.

Kami bersepeda menyusuri jalan Elizabeth dan St James Road. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke taman tertua di kota Sydney itu. Meskipun tidak bersalju, kami tetap kedinginan jika tidak memakai jaket dan kaus kaki yang tebal.

Kami bersepeda dengan pelan. Di kota ini, kendaraan tidak terlalu padat, sehingga jarang ada kemacetan. Karena pajak kendaraan pribadi yang mahal, orang-orang lebih memilih memanfaatkan transportasi umum untuk menjalani aktivitas sehari-hari.

Setelah sampai, kami duduk di kursi panjang. Gadis itu membuka tasnya kemudian mengeluarkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

“Kau tidak ingin menanyakan mengapa aku suka novel-novel dan cerpen-cerpen Pak Tohari?” ianya Elisa kepadaku.

Meskipun aku sudah sedikit atau banyak tahu tentang karya-karya Pak Tohari, namun aku ingin mendengar alasan darinya.

“Memangnya kepada?” tanyaku.

Dia menarik napas dan menatapku.

“Setiap aku membaca karya-karya Pak Tohari, aku menemukan kampung halaman. Jika aku rindu dengan kampung halaman, aku selalu membaca novel Pak Tohari,” ucapnya.

“Pulanglah bersamaku, kau akan menemukan kebahagiaan di sana,” sambungnya.

Aku terdiam sejenak, dan hanya menganggukkan kepala, seperti ketika dia mengungkapkan hal-hal yang sentimentil.

ilustrasi: imseeingthing.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan