Tafsir Revolusi Akhlak

2,047 kali dibaca

Hari selasa (9/11/2020), selepas salat maghrib, penulis menonton tayangan “Kabar Petang” di TV One. Dalam tayangan tersebut, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa kepulangan Habib Rizieq Syihab dari Arab Saudi membawa misi “revolusi akhlak”. Terlepas dari hiruk-pikuk kepulangan Imam Besar FPI ini, penulis ingin membahas tafsir (interpretasi) soal revolusi akhlak.

Mendengar kata akhlak, penulis diingatkan dengan suatu hadits, “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq,” (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia). Hadits ini menjadi sangat populis dalam kaitannya dengan etika. Bahwa dalam segala aspeknya, etika, sopan santun, tata krama, akhlak, dan tingkah laku dalam kehidupan sosial menjadi sebuah keniscayaan untuk dijadikan alasan utama untuk diperbaiki. Membangun komunitas yang santun (bagian dari akhlak), menjadi kewajiban komunika dalam sebuah pergaulan hidup.

Advertisements

Teringat kembali dengan kasus terhangat akhir-akhir ini, Charlie Hebdo (majalah satir Prancis) yang dengan sengaja menghina Kanjeng Nabi Muhammad dengan menerbitkan sebuah karikatur. Meski berlindung di balik kebebasan berpendapat dan berekspresi, namun hal itu tidak lepas dari tutur hina yang dibangun di atas landscape permusuhan dan pertikaian. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, sebab menghina simbol agama (agama apa pun saja) akan berhadapan dengan seteru dari penganut agama itu sendiri, baik yang bersifat personal maupun kelompok. Baik dengan cara radikal (ini seharusnya tidak perlu terjadi) maupun dengan cara legal (demonstrasi damai, dll).

Rasulullah bersabda, إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ (Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR Ahmad Nomor 8952 dan Al-Bukhari dalam “Adaabul Mufrad” Nomor 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Etika vs Akhlak

Di dalam wikipedia dijelaskan bahwa etika adalah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.

Sedangkan, akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.

Ada benang merah yang dapat kita pahami dari terminologi kedua kata tersebut. Bahwa, keduanya merupakan tabiat, atau tingkah laku dengan konsep kebenaran. Sebuah dorongan psikis untuk berbuat hal yang positif, serta melaksanakan nilai-nilai luhur kesucian, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Etika dan akhlak adalah dua kata yang berkelindan dalam pola komunikasi yang baik dan benar, selamanya teguh dalam baiat suci di komunitas kehidupan.

Firman Allah: وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (“Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)’” (QS. al-Isro’: 53). Juga ada ayat yang memerintahkan kita jika berdebat dengan Ahli Kitab (termasuk dengan orang lainnya) agar dengan cara yang baik pula,  وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ (“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (QS al-Ankabut: 46).

Firman Allah tersebut sebagai bentuk kebenaran bahwa dalam membangun hubungan yang baik hendaknya dilakukan dengan cara baik. Tidak boleh terjadi miskomunikasi, miskonsepsi, maupun mis-etik dalam sebuah komunitas kehidupan. Sehingga, diharapkan bahwa hidup ini penuh dengan harmoni, damai, dan tenteram dalam satu kerukunan umat, meskipun berbeda dalam hal keyakinan dan kepercayaan.

Revolusi Akhlak?

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan revolusi akhlak? Kalau dilihat dari etimologi kata, revolusi adalah perubahan yang mendasar dalam suatu bidang. Jika ini dimaksudkan sebagai proses perubahan absolut, penuh dengan dimensi emosi personal, maka yang dimaksud dengan revolusi akhlak di sini penuh dengan intrik politik.

Namun, jika yang dimau adalah kedamaian, kesejahteraan sosial, maupun kemakmuran yang bernilai luhur, maka revolusi ini akan mencapai target dan kodratnya. Perlu dibangun sebuah kepedulian agar tidak terjadi anarkhisme sosial maupun radikalisme kelompok.

Dalam konteks ini, revolusi akhlak dimaksudkan sebagai bentuk migrasi dari yang sebelumnya tidak baik menjadi baik. Perubahan signifikan, fundamental, dan mendasar dari yang sebelumnya nirakhlak menjadi berakhlak. Perubahan perilaku anarkhis menjadi humanis. Sebuah perwujudan kehidupan yang mengedepankan harmonisasi kehidupan, dalam orkestra komunitas keakraban dan peradaban.

“Makarimal akhlak” (akhlak yang mulia) sebagaimana yang dipesankan dalam kerasulan Muhammad merupakan dasar pokok untuk membangun kehidupan dan peradaban manusia. Penuh dengan kedamaian, lembut dalam berperilaku, serta peduli kepada sesama. Tidak membangun perseteruan maupun permusuhan yang akan menyulut pertentangan dan persekongkolan. Meminimalisasi bentrok fisik maupun psikis, sehingga terbina kebahagiaan dalam berkehidupan sosial.

Rasulullah  bersabda, إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا (“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi Nomor 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ Nomor 2201.)

Damai itu Indah

Wujud normlisasi kehidupan adalah terbentuknya kedamaian dan keindahan. Ketika  harmonisasi kehidupan dapat kita capai, itu artinya etika bangsa telah mencapai nilai luhur kesempurnaan. Dapat dipastikan di dalamnya terjadi kesalingan; saling menghargai, saling menghormati, saling membantu, saling menjaga perasaan, dan bentuk kesalingan lainnya. Sehingga kehidupan yang beradab, berkeadilan, dan berkemakmuran menjadi ciri khusus dalam membentuk bangsa yang damai sekaligus indah.

Sejatinya, dalam kehidupan yang kita cari adalah kedamaian dan keindahan. Dan hal itu akan terjadi jika dasar-dasar etika dan akhlak menjadi hal yang utama. Sebab, di dalam norma kehidupan, akhlak merupakan nilai pokok yang harus menjadi ideologi berkehidupan sosial. Integrasi nilai akhlak harus ada di dalam berbagai aspek komunikatif, ataupun tingkah laku yang harus dilakukan berdasarkan kesesuaian kaidah dengan norma sosial.

Allah berfirman,  الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28).

Menjadi sangat penting untuk dipelajari, bahwa makna zikir perlu interpretasi secara kontekstual. Agar dalam dunia tafsir kehidupan didapat sumber kedamaian yang lebih masif dan bermakna global. Secara arti kata (leksikal), zikir adalah ingat. Sedangkan, secara definisi, zikir adalah ingat kepada Allah dan mampu melaksanakan kebenaran dan mau meninggalkan keburukan. Dan ini adalah dasar utama dalam interpretasi (tafsir) akhlak. Demi membangun kehidupan yang damai dan indah, maka perlu nilai-nilai luhur akhlak di segala aspek perbuatan kita.

Negara Adil Makmur

Negara yang adil dan makmur merupakan cita-cita bangsa. Di dalam UUD 1945, jauh di awal-awal terbentuknya konstitusi negara, Indonesia telah mencetuskan sebuah harapan dan cita-cita: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Lalu bagaimana karakter dari negara “baldatun toyyibatun warobbun ghafur” (negara yang baik dalam ampunan Tuhan?) Tentu saja ada karakter atau ciri khusus dari negara gemah ripah loh jenawi; negara yang adil dan makmur dalam naungan pemerintah yang berkeadilan. Berikut ini akan dijelaskan ciri khas dari negara kemakmuran yang berkeadilan.

Pertama, negara yang mempunyai prinsip atau ideologi yang mengayomi seluruh lapisan masyarakat. Bangsa yang terdiri dari beragam etnis, agama, golongan, dan warna kulit, memerlukan sebuah dasar yang memberikan rasa aman di dalam berkehidupan. Jika ini sudah dicapai, maka bangsa tersebut sudah memenuhi kekhasan baldatun toyyibah (negara yang makmur).

Kedua, bangsa yang mengutamakan akhlak. Ketika suatau bangsa lebih mengedapankan akhlak, menjadikan etika sebagai karakter hidup, maka bangsa tersebut sudah memenuhi ciri khusus warobbun ghafur (negara yang diridhai dan diampuni oleh Tuhan). Tuhan memberikan kebahagiaan dan keindahan kepada bangsa yang saling menghargai, saling mengayomi, saling membantu, dan saling memberikan nasihat takwa. Yaitu, kalau dalam bahasa agama “watawa shaubil hak, watawa shawbis shobr” (saling mensihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk berbuat sabar).

Ketiga, komitmen untuk tetap pada prinsip kebersamaan (ijtima). Karena sebagai bangsa, kita diibaratkan pada prinsip kebersamaan untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia. Komitmen kebersamaan merupakan prinsip fundamental di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Itulah beberapa karakter dari negara adil dan makmur. Sebagai bangsa yang baik, dalam prinsip bernegara harus ditanamkan etika dan akhlak. Karena, akhlak akan membawa kita kepada kesejukan hubungan dan kelembutan pikiran. Pada akhirnya, sebuah bangsa yang berkeadilan, bangsa yang diridhai Allah, dan bangsa yang berkemakmuran akan menjadi bagian dari realitas kehidupan.

Allâh berfirman:

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Artinya: “Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.” (Saba’: 15)

Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan