Tafsir Relasi Ilmu dengan Akhlak

2,294 kali dibaca

Pembahasan tentang akhlak tidak pernah kusam dan selalu menjadi diskursus tersendiri dalam dunia pendidikan.

Dalam pengertian bahasa (etimologi), akhlak ialah  bentuk jamak dari khuluq/khuluqun, yang berarti budi pekerti, tingkah laku, atau tabiat. Persamaan khuluq dalam bahasa Yunani adalah  ethicos/ethos, yang diartikan sebagai adab yang bersumber dari kecenderungan hati, yang sering kita dengar dengan istilah etika.

Advertisements

Imam al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih memaknai akhlak sebagai sebuah sifat yang tertanam atau  terpatri dalam jiwa, serta menujukkan ekspresi dalam perkataan dan perbuatan tanpa didasarkan proses pemikiran.

Begitu pentingnya posisi akhlak, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasini Pasuruan, Jawa Timur, KH Mujib Imron menegaskan bahwa bertambahnya ilmu tanpa diikuti peningkatan akhlak adalah kesia-siaan. Penegasan ini didasarkan pada sebuah hadits yang berarti bahwa “orang yang tambah ilmu tapi tidak tambah akhlak, maka dia tetap jauh dari Allah.” Artinya, bertambahnya ilmu pengetahuan tidak menjadikan seseorang dekat dengan sang Kholik bila tidak diiringi perbaikan akhlak.

Dalam kaca mata ini, terdapat perbedaan antara akhlak dengan etika. Etika memiliki landasan pada lingkup perbuatan manusia yang ditinjau dari skala baik dan buruknya. Etika lebih didasarkan domain ilmu filsafat, sebab pembahasan moralitas menjadi objek materialnya.

Adapun, akhlak tidak sekadar mendasarkan sebuah perbuatan seseorang pada wilayah benar atau  salah dan juga baik atau buruk, tetapi juga pada wilayah indah atau tidak indah.

Jika etika membicarakan perbuatan moralitas dari kaca mata manusia dan bersumber dari filsafat, akhlak lebih dari itu, seperti yang disebut dalam hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

‎إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kesalihan akhlak.” (HR Al-Baihaqi).

Dengan demikian, akhlak tidak hanya bersumber dari pikiran manusia, akan tetapi langsung dari Dzat yang Maha Kuasa, yakni bersumber dari wahyu al-Quran dan al-Hadits. Di dalam al-Quran, misalnya, disebutkan bahwa:

‎وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam: 4).

Di dalam surat lain juga ditegaskan bahwa:

‎لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21).

Dengan demikian, akhlak secara spesifik memiliki landasan dalil wahyu dan contoh figur seorang nabi utusan Tuhan semesta alam.

Hal ini juga senada dengan hadits Nabi yang dikutip KH Mujib Imron sebelumnya:

‎مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

Artinya: “Barang siapa ilmunya bertambah, namun tidak dibarengi dengan bertambahnya petunjuk (ketakwaan), maka ia semakin jauh dari Allah.”

Dalam hadits ini ada kata “hudan” atau hidayah, yang bisa dimaknai bahwa ketakwaan kepada Allah menjadi pijakan dekat dengan Allah, bukan hanya ilmu yang banyak semata.

Lalu, bagaimana penafsiran soal akhlak sebagai dasar kedekatan seseorang dengan Allah yang mana secara redaksional ada perbedaan dalam sejumlah dalil tersebut?

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin pada bab keenam menjelaskan:

‎‫الباب السادس

‎‫في آفات العلم وبيان علامات علما الآخرة والعلماء السوء

Pembahasan Imam al-Ghazali tentang bahayanya ilmu pengetahuan dan ulama su, beliau tuliskan hadits Nabi:

إن أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لم ينفعه الله بعلمه

Artinya: “Manusia yang sangat memperoleh azab pada hari kiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfaat dengan ilmunya.”

Berlimpahnya ilmu pengetahuan yang tidak menjadikan keselamatan atas orang yang memilikinya karena tidak ada nilai kemanfaatan dipertegas lagi oleh dengan hadits berikut:

‫أنه قال; لا يكون المرء عالما حتى يكون بعلمه عاملا

Artinya: “Tidaklah seorang itu berstatus alim sebelum berbuat menuruti ilmunya.”

Secara redaksi, hadits ini menegaskan yang merasa sudah di tingkat ulama belum sah sebelum ia mengamalkan ilmunya.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Kiai Mujib Imron mengambil kesimpulan bahwa aplikasi atas ilmu adalah akhlak karimah. Akan berbahaya jika orang berilmu akan tetapi berjiwa munafik, seperti pernah diungkapkan sahabat Nabi dan ulama-ulama terdahulu. Di antaranya yang pernah disampaikan oleh sahabat Sayyidina Umar dalam sebuah majlis:

“Yang paling saya takutkan kepada umat ini ialah orang munafik yang berilmu.”

Bertanya hadirin: “Bagaimana ada orang yang munafik berilmu?”

Umar menjawab: “Berilmu di lidah, bodoh di hati dan di perbuatan.”

Sindiran ketidakmanfaatan ilmu pengetahuan tanpa didasarkan akhlak juga pernah disampaikan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin:

‎طالب العلم : إذا لم يتحل بالأخلاق الفاضلة فإن طلبه للعلم لا فائدة فيه

Artinya: “Seorang penuntut ilmu, jika tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, maka tidak ada faidah menuntut ilmunya.”

Dengan demikian, maka orang yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah baik akhlaknya, maka tetap jauh dari Allah. Dengan perkataan lain, tanpa diikuti bertambahnya hudan atau hidayah dan akhlak karimah, bertambahnya ilmu tak akan bisa mendekatkan seseorang kepada Allah. Karena, sesuai dengan hadits berikut ini:

‎أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ

Artinya: “Yang paling banyak masuk ke surga adalah yang takwa kepada Allah dan berakhlak mulia.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan