Tafsir Mimpi Menurut Islam

1,871 kali dibaca

Teori mimpi Sigmund Freud menjelaskan bahwa mimpi merupakan bentuk perwakilan dari keinginan, pikiran, dan motivasi yang tak disadari. Menurut pandangan psikoanalitik Freud tentang kepribadian, seseorang didorong oleh naluri agresif dan seksual yang ditekan dari kesadaran. Sementara pikiran-pikiran ini tak terungkapkan secara sadar, Freud menyarankan agar mereka menemukan jalan tersebut ke dalam kesadaran kita melalui mimpi.

Mimpi menjadi menarik untuk dianalisis karena persoalan “bunga tidur” ini telah dijabarkan sejak awal Islam. Di dalam sejarah Islam, mimpi seringkali dijadikan sebuah syariat dalam memastikan sebuah status hukum. Nabi Ibrahim bermimpi ketika akan menyembelih anaknya, Ismail, sebagai ibadah kepada Allah. Nabi Yusuf juga dikenal sebagai nabi pentakwil mimpi. Dan Nabi Muhammad dalam menerima wakyu seringkali melalui mimpi.

Advertisements

Dalam wikipedia dijelaskan bahwa mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat. Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi. Dalam dunia mimpi seakan-akan terjadi dalam dunia nyata meskipun realitasnya hanya sebuah khayalan.

Mimpi Secara Ilmiah

Activation-Synthesis Model of Dreaming (model aktivasi sintesis mimpi) pertama kali diusulkan oleh J Allan Hobson dan Robert McClarley pada 1977. Menurut teori ini, sirkuit pada otak diaktifkan selama tidur REM (tidur dalam gerak mata cepat, rapid eye movement sleep), yang menyebabkan area sistem limbik, (sistem limbik adalah bagian otak yang sangat berperan dalam pembentukan tingkah laku emosi (marah, takut, dan dorongan seksual). Sistem limbik terdiri dari amigdala, septum, hipotalamus, talamus, dan hipokampus (Masters dkk. 1992)), terlibat dalam emosi, sensasi, dan kenangan, termasuk amigdala dan hippocampus, semuanya menjadi aktif.

Amigdala terletak jauh di dalam lobus temporal kiri dan kanan otak yang membantu mengkoordinasikan tanggapan terhadap hal-hal di lingkungan yang memicu respon emosional. Struktur ini memainkan peran yang sangat penting dalam ketakutan dan kemarahan. Juga berbagai aspek pemikiran, emosi, dan perilaku. Sedangkan hipokampus (bahasa Inggris: Hippocampus) adalah bagian dari otak besar yang terletak di lobus temporal. Manusia memiliki dua hippocampus, yakni pada sisi kiri dan kanan. Hipokampus merupakan bagian dari sistem limbik dan berperan pada kegiatan mengingat (memori) dan navigasi ruangan.

Otak mensintesis dan menafsirkan aktivitas internal ini dan berupaya menemukan makna dalam sinyal-sinyal ini, yang menghasilkan mimpi. Model ini menunjukkan bahwa mimpi adalah interpretasi subyektif dari sinyal yang dihasilkan oleh otak selama tidur.

Mimpi Menurut Syariat

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Mimpi sejati berasal dari Allah, dan mimpi buruk berasal dari setan.” (Sahih Al-Bukhari). Hadits ini menunjukkan bahwa mimpi ada yang benar, yang datangnya dari Allah, dan ada mimpi yang buruk, yang datangnya dari setan. Maka di dalam Islam ada aturan untuk mimpi yang baik agar diungkapkan kepada orang lain (tahadduts binnikmah). Sedangkan, mimpi yang buruk, didiamkan saja, dibuang jauh-jauh dari pikiran, karena hal tersebut berasal dari setan yang berusaha untuk membujuk kepada kejelekan.

Menurut penjelasan Al-Habib Hamid bin Ja’far Al-Qadri dalam tausiyah online yang membahas Kitab Syama’il Muhammadiyyah, sebagaimana dilansir dari kalam.sindonews.com, ada beberapa hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa menyerupai diriku”. Dalam riwayat lain, beliau besabda: “Siapa yang bertemu aku dalam tidurnya maka akan menemui aku dalam kenyataan.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Jadi menurut syariat, mimpi dapat dipandang dalam dua aspek, yaitu mimpi yang dapat dianggap benar dan mimpi yang datang dari setan dan hal tersebut dipandang sebagai mimpi yang membawa keburukan. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa apabila kita bermimpi buruk, hendaknya kita meludah ke samping kiri sebanyak tiga kali. Hal ini sebagai bentuk penyangkalan dan penghinaan terhadap hasutan setan.

Jika kalian mengalami mimpi yang dibenci (mimpi buruk) hendaklah meludah kesebelah kiri tiga kali, dan memohon perlindungan dari Allah dari godaan setan tiga kali, kemudian mengubah posisi tidurnya dari posisi semula.” (HR. Muslim)

Imam Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham (2/78), menegaskan, “Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syar’i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apa pun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat, sejalan dengan hukum Islam. Apabila diperbolehkan oleh syariat Islam, maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faedah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali.”

Sebagaimana pendapat Imam As-Syathibi, Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi juga menjelaskan bahwa mimpi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil. Mimpi hanya sebatas bentuk kabar gembira dan peringatan. Juga dapat menjadi ibrah (peringatan) apabila sesuai dengan dalil syar’i yang sahih. (At-Tankiil, 2/242).

Kebenaran mimpi hanya dapat terjadi jika sesuai dengan kaidah hukum syara’. Karena kebenaran mimpi itu hanya terjadi atas kasus tertentu. Tidak semua mimpi dapat dijadikan sandaran kebenaran. Sebagaimana dijelaskan bahwa mimpi bertemu dengan Rasulullah merupakan mimpi yang benar. Karena setan tidak bisa menyerupakan diri dengan Rasulullah saw. “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa menyerupai diriku“. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tafsir Mimpi

Para ulama sepakat atas kebolehannya tafsir/takwil mimpi. Hal ini hanya sebatas sebagai kabar gembira dan peringatan bagi kita. Historia para nabi juga seringkali menjadikan mimpi sebagai sebuah kenyataan. Nabi Ibrahim, bermimpi mendapat perintah Allah swt untuk menyembelih anaknya, Ismail. Nabi Yusuf juga dijelaskan dalam Alquran sebagai pentakwil mimpi. Dan Nabi Muhammad saw pun seringkali mendapat wahyu melalui mimpi yang benar. Jadi mimpi telah menjadi kebenaran status hukum dalam kenabian.

Namun, dalam syariat Islam, mimpi tidak lagi dapat dijadikan sebagai kaidah hukum. Hal ini karena mimpi itu memerlukan takwil yang akan melahirkan ragam interpretasi. Mimpi juga dapat berupa khayalan yang terjadi dalam imajinasi nisbi. Oleh karena itu hingga saat ini mimpi tidak dapat dijadikan sebagai landadan hukum.

Menurut para ulama, mimpi boleh ditakwil (diinterpretasikan), tetapi tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam mengambil hujjah atau dalil. Mimpi yang membawa kebahagiaan hendaknya diceritakan kepada orang lain. Sedangkan mimpi buruk tidak perlu diceritakan. Rasulullah saw bersabda, “Apabila setan mempermainkan salah seorang dari kalian di dalam tidurnya (mimpi buruk) maka janganlah dia menceritakannya kepada orang lain.” (HR Muslim).

Menafsirkan mimpi boleh-boleh saja, asalkan tafsir tersebut membawa kepada kegembiraan. Sedangkan mimpi yang membawa kepada keburukan hendaknya disimpan saja, tidak perlu diceritakan apalagi ditakwil. Mimpi memang hanya sebuah bunga tidur, namun setidaknya jangan sampai bunga itu berupa bunga layu apalagi bunga bangkai. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan