Tafsir Kedekatan Tuhan dalam Puisi Abdul Hadi WM

1,828 kali dibaca

TUHAN, KITA BEGITU DEKAT

Tuhan

Advertisements

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu

 

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu

 

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

 

Dalam gelap

Kini aku menyala

Pada lampu padammu

1976

***

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), ‘Aku itu dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Sengaja saya membuka diskusi ini dengan ayat tersebut, sebagai komparasi atas sebuah ayat lain yang menyatakan bahwa, “Dan kami lebih dekat dari urat leher,” (QS. Al Qaaf : 16). Sebagai pembanding dalam sebuah polemik makna dekat yang —mungkin terlalu jauh—terjerumus ke dalam ideologi yang melenceng dari kaidah keislaman.

Dan masih banyak lagi ayat atau hadits yang menyatakan bahwa Tuhan(?) atau malaikat dekat dengan manusia sebagai indikasi kekuasan Yang Maha Mutlak (terlepas dari ikhtilaf ulama tafsir tetang makna “kami” dalam ayat Qaaf: 16 tersebut). Namun, di sini saya ingin berfokus pada konsep makna dekat yang kemudian dipelintir ke dalam bentuk ideologi menunggal. Ada yang menyebut “wihdatul wujud,” “manunggaling kawula gusti,” dan “satu dalam tiga, tiga dalam kesatuan.” Atau mungkin masih ada istilah-istilah lain yang beranggapan bahwa “dekat” itu semakna dengan “penyatuan”.

Menurut KBBI, dekat adalah hampir, jarak yang tidak jauh, bersamaan, menjelang, dan nyaris. Tidak ada klausa yang menyatakan bahwa dekat itu satu dalam dua, atau dua dalam kesatuan yang sempurna. Maka, jelas sudah bahwa memaknai “dekat” sebagai indikasi “manunggal” adalah sebuah kegagalan. Tidak mempunyai kaidah/dasar untuk dijadikan rujukan dalam ideologi ini.

Puisi Abdul Hadi WM tersebut telah dengan jelas mengatakan bahwa “Tuhan begitu dekat”. Jadi, kedekatan yang diungkap sebagai kedekatan sinergis, di mana Tuhan begitu kuasa untuk memberikan kehidupan kepada alam. Ini tidak bisa diartikan sebagai kedekatan “zat” karena zat Tuhan tidak bisa disandingkan dengan zat selainnya. Memang, Tuhan begitu dekat. Sangat dekat bahkan. Sehingga Tuhan akan mendengar setiap gundah hambanya dalam doa-doa yang dipanjatkan.

“Tuhan, kita begitu dekat” adalah judul yang dibuat oleh Abdul Hadi. Sebagai penjabaran makna dari kuasa Tuhan yang meliputi alam semesta. Ketika kuasa itu meliputi seluruh alam, maka kedekatan yang bagaimana yang Anda dustakan? Jadi, Tuhan benar-benar dekat. Sedekat aliran darah di dalam tubuh. Sedekat jiwa-jiwa yang rindu akan CINTA Tuhan. Sedekat,.. dalam bahasa Abdul Hadi, “bagai api dengan panasnya. Aku panas dalam apimu.”

Tentang Api dan Panasnya 

Mari kita ingat kembali pada historika Nabi Ibrahim. Ketika berhadapan dengan raja yang kejam dan lalim (Raja Namrud), Nabi Ibrahim akan dibakar hidup-hidup. Hal ini menjadi catatan sejarah dalam al-Quran, “Wahai api, adalah Engkau dingin dan menyelamatkan Ibrahim.” Akhirnya Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api yang menyala-nyala.

Ke mana panas api tersebut? Hilang? Ya, bagi Nabi Ibrahim. Tetapi tidak bagi segala hal bahan bakar yang ada di sekitarnya. Benang merah dari kisah ini, antara kalori dan api bukan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Namun, api harus ada tiga unsur sebagai perantara, yaitu 1) oksigen, 2) kalor, dan 3) bahan bakar. Seterika adalah salah satu panas yang tidak diikuti api.

Jadi, menurut hemat saya, puisi Abdul Hadi itu tidak ada yang absurd. Apalagi berafiliasi makna ambigu. Meski, ambigu dalam banyak hal justru menjadi bagian dari puisi yang berkualitas. Secara arti positif, ambigu akan memberikan keluasan makna, sehingga tafsir puisi tersebut semakin beragam, plus mengagumkan.

Berikutnya, mengapa Abdul Hadi WM tidak menulis “mu” yang merujuk pada Tuhan dengan huruf kapital? Jika ini disanggah sebagai pengabaian terhadap kaidah literasi, menurut EYD, saya setuju dan sah-sah saja. Namun, jika dikaitkan dengan absurditas makna, sudah sangat jelas bahwa rujukan kata pengganti “kamu” adalah Tuhan. Tidak perlu ada tanda atau indikator harus huruf kapital atau tidak, menurut logika kalimat, kata “mu” kembali kepada Tuhan. Jika kemudian penulisan tersebut dijadikan alasan untuk bernilai apatis, nihil, dan tak berkualitas, maka akan berbenturan dengan dalil-dalil lain yang lebih valid.

Mungkin, dalam Bahasa Indonesia penulisan kata rujukan untuk Tuhan harus huruf besar. Tetapi, untuk tata bahasa lainnya tidak harus begitu. Dalam Bahasa Arab pun tidak ada kekhususan dan kekhasan penulisan kata ganti untuk tuhan (baca: Allah). Maka, keharusan yang sampai menghilangkan makna awal dari tujuan ditulisnya sebuah puisi merupakan model pencarian kesalahan yang sepatutnya tidak boleh dilakukan.

“Seperti kapas dengan kain. Aku kapas dalam kainmu.” Jabaran makna ini tidak berbeda dengan “Seperti panas dengan api. Aku panas dalam apimu.” Kapas dan kain adalah dua benda yang berbeda. Benar-benar bisa dikasatkan yang mana kapas dan mana kain. Tetap mengacu kepada kedekatan kekuasaan Tuhan. Berafiliasi pada kehendak dan pengawasan Allah swt yang tidak berbatas, dan selalu awas dan jaga di setiap waktu.

“Maka, kedekatan bagaimana yang Anda dustakan?”

***

“Dalam gelap. Kini aku menyala. Pada lampu padammu.” Saya tertarik dengan bait ini. Serasa ada kekuatan magis dalam struktur tata kalimat bait terakhir ini. Dalam gelap, tiada cahaya, tiada petunjuk, tiada imam. Hanya karena hidayah, melalui Muhammad Saw, akhirnya kita bisa menyala. Anda dapat menerangi alam sekitarnya dengan hidayah Tuhan. Dengan pengetahuan, dengan iman, Islam, dan ihsan, kita mampu menerangi alam sekitar.

Sebagai orang yang mendapat hidayah, maka kewajiban kita untuk memberikan pengajaran kepada orang lain (lampu padammu). Kepada orang yang belum menerima hidayah, kita wajib memberitahukannya. Berdakwah adalah bagian tak terpisahkan bagi kaum muslim. Saling memberi nasihat. Saling menjaga amaliah ketuhanan, dan yang terpenting selalu introspeksi diri. Hanya dengan menyelami kondisi diri, kita akan menjadi hamba yang sempurna. Insya Allah!

Akhirnya, saya harus berterima kasih kepada Narudin Pituin, karena postingannya tentang puisi Abdul Hadi tersebut, saya terjerumus, kemudian terjerembab untuk menulis ulasan ini. Semoga saja ada yang menolong, dan jikalau bukan kalian, Tuhan yang Maha Dekat semoga selalu bersama, dalam rindu dan cinta yang tiada bersudah. Selalu dalam kebersamaan yang melahirkan candu sayang yang paling indah.

Berbeda tidak harus saling tidak acuh. Berbeda tidak harus saling mencaci. Berbeda adalah nikmat, jika perbedaan tersebut dibangun atas nama cinta yang memurnama. Semoga perbedaan ini menjadi dinamika untuk saling berbagi. Wallau A’lam!

Madura, 02/05/2016.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan