Syekh Al-Banjari dan Ikhtiar Mengenal Tuhan

2,334 kali dibaca

Siapa yang tak kenal sosok ulama yang satu ini. Namanya sudah tersohor di seantero negeri. Dialah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, seorang ulama asal Banjar, Kalimantan Selatan. Ajaran tasawufnya tetap hidup hingga kini.

Nama lengkapnya Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Dia dilahirkan di Desa Lok Gabang yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjarmasin, pada 15 Shafar 1122 H atau 17 Maret 1719M. Dia wafat pada 6 Syawal 1227 H atau bertepatan dengan tanggal 13 Oktober 1812 M di kampung Dalam Pagar. Jenazahnya dikebumikan di Kalampaian, Martapura, Kalimantan Selatan.

Advertisements

Selama masa hidupnya, Al-Banjari tinggal di dua tempat yang mempengaruhi jalan hidupnya kelak, yaitu di Martapura sebagai kampung halamannya yang juga tempat kelahirannya dan tempatnya berdakwah hingga wafatnya. Selain itu, Al-Banjari tinggal di Tanah Suci Mekkah dan Madinah. Di dua tempat ini ia menuntut ilmu dan berguru kepada ulama-ulama besar, sampai akhirnya nanti Al-Banjari menjadi pengajar di Masjidil al-Haram Mekkah.

Situasi kultural dan srtuktural pada masa Al-Banjari, yaitu sekitar abad ke-18 dan ke-19 awal, tentu saja sangat mempengaruhi pemikiran keagamaannya di berbagai bidang. Pada masa hidupnya, Al-Banjari bertemu dengan empat raja Kerajaan Banjar di Martapura yang waktu itu bertakhta, yaitu Sultan Tahlilullah Raja Banjar XIV (1799-1745 M), Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV (1700-1745 M), Sultan Tahmidillah Raja Banjar XVI (1778-1808 M), dan yang terakhir yaitu Sultan Suleman Raja Banjar ke XVII (1808-1825 M). Dari keempat sultan tersebut, yang membiayai perjalanan dan pendidikan Al-Banjari di Tanah Suci adalah Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV.

Sebelum Al-Banjari berdakwah hampir tak ditemukan data yang menunjukkan situasi keberagamaan masyarakat Islam waktu itu. Namun dapat diperkirakan bahwa di bidang akidah mereka masih terpengaruh oleh unsur-unsur kepercayaan Kaharingan dan juga Hindu Syiwa yang sudah mengakar dalam budaya mayarakat, baik di kalangan rakyat maupun kalanagan raja dan para bangsawan.

Hal ini bisa kita lihat saat ada upacara adat, seperti mandi badus, yaitu mandinya calon pengantin, mandi tian man daring, yaitu mandinya wanita waktu hamil pertama pada bulan ketujuh, dan menyanggar banua atau membersihkan kampung tempat tinggal dari gangguan jin ataupun roh-roh jahat. Tentu, dalam pelaksanaannya ritual-ritual tersebut bercampur dengan unsur-unsur Islam dan budaya. Selain itu masyarakat Banjar senang berteman dengan jin agar memperoleh ilmu mutawakkal, yaitu suatu ilmu untuk mengetahui sesuatau hal gaib yang disampaikan jin.

Dalam bidang fikih masyarakat Banjar menganut mazhab Syafi’i. Akan tetapi untuk pengalaman ibadah seperti salat, zakat, puasa, dan haji tidak banyak data yang menyebutkan hal tersebut. Namun bila kita meneliti kuburan raja-raja Banjar, semuanya dimakamkan secara Islam. Di samping itu ada jalur perdagangan di Banjarmasin pada abad ke-17 dan 18 M. Maka dari situlah terbuka pintu masuk untuk melaksanakan ibadah haji.

Di bidang tasawuf, diperkirakan berkembang ajaran tentang wahdat al wujud sejak lama, karena memang penyebaran Islam di Nusantara ini tak bisa dipisahkan dari ajaran tasawuf. Ajaran wahdat al wujud atau semacamnya diperkirakan sudah ada di wilayah Kalimantan Selatan sejak awal Islam masuk ke kawasan Banjar, baik yang datang dari Aceh maupun Jawa. Sebab, hubungan Banjar dengan Aceh dan Jawa sudah terjalin sejak lama. Sedangkan di Aceh dan Jawa sudah lebih dulu berkembang ajaran wahdat al wujud ini.

Pada abad ke-17 ditemukan karya tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang ditulis dengan bahasa Melayu dan huruf Arab atau biasanya disebut Arab pegon. Menurut R.O.Winstedt, seorang orientalis atau pengkaji ketimuran asal Inggris, kitab itu dikarang oleh ulama Banjar pada tahun 1688 M bernama Syamsuddin Al-Banjari.

Tulisan terebut diberikan kepada Sultanah Taj al-Alam Syarifat al-Din, seorang putri Sultan Iskandar Muda yang memerintah di Aceh tahun 1641-1675 M. Ratu ini dinilai cukup loyal terhadap ajaran-ajaran tasawuf wujudiyah yang telah berkembang di sana, yang mana sebelumnya mendapat kritikan keras dari penguasa dan ulama fikih.

Sejak abad ke-9 M, tasawuf mulai mendapatkan polanya sebagai mistik Islam. Pada waktu itu para sufi berbicara soal makrifah, yaitu ajaran mengenal Tuhan secara langsung dengan pandangan batin atau mata hati yang mendapat pancaran sinar Ilahiyah dan menenggelamkan diri dalam keesaan-Nya. Sehingga yang dilihat para sufi itu hanya Tuhan. Dalam perkembangan selanjutnya muncullah konsep tentang ittihad, hulul, dan wahda al-wujud.

Pada masa Al-Banjari rupanya sudah ada tiga macam ajaran mengenai ketuhanan tersebut yang semuanya dianggap benar, sekalipun sepintas terlihat saling berbeda satu dengan lainnya. Pertama, ajaran ketuhanan dalam ilmu Ushuluddin tidak mengakui Tuhan kecuali Allah dan pasti selalu menjadi prinsip dualisme, yaitu pelepasan antara makhluk dan khalik. Kedua, ajaran fana dalam tauhid melihat bahwa yang ada di alam ini pada kahikatnya hanyalah Allah. Ketiga, ajaran wahdah al wujud yang menganggap bahwa alam semesta ini penampakan lahir dari Tuhan sendiri.

Dalam pandangan Al-Banjari, rupanya ketiga ajaran tersebut berlawanan satu sama lain. Al Banjari mencoba menguraikan ketiga pemikiran tentang Tuhan dalam karyanya, meskipun tentang wahdat al-wujud dia membagi menjadi dua macam, yaitu wujudiyah mulhid dan wujudiyah muwahhid.

Mengenai yang pertama dia menganut ajaran Asy’ariyah yang beraliran Ahlusunnah dan menganggap bahwa Tuhan adalah Zat Wajibul Wujud dan bersifat kekal dan qadim. Secara ringkas, Tuhan dalam kaca mata Al-Banjari adalah Zat yang wajib bersifat qadim, dan kekal, tak ada satu makhluk pun yang mampu menyerupai-Nya dan tidak mungkin serupa dengan makhluk-Nya. Al Banjari juga menjelaskan tentang sifat tanzih, yaitu menafikan persamaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah subtansi atau jauhar dan juga bukan aksiden, karena tidak menyerupai dan tidak diserupakan dengan makhluk-Nya.

Sebagaimana kita tahu bahwa akhir dari tujuan yang hendak dicapai seorang sufi yaitu makrifah dan tauhid, dalam arti mengenal Tuhan secara lansung dan menenggelamkan dirinya dalam lautan keesaan-Nya yang bersifat mutlak melalui pengalaman pribadi, sehingga Tuhan tidak hanya dikenal melalui dalil-dalil akal ataupun pewartaan para Nabi.

Tapi apakah mungkin manusia dapat berhubungan secara langsung dengan Tuhan? Sedangkan, ada ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Allah hanya berbicara kepada makhluk lewat wahyu atau dari balik tabir, seperti yang dialami Musa yang jatuh pingsan saat melihat gunung hancur luluh setelah Tuhan menyatakan diri kepadanya? (Qs.7:142).

Sebagaimana dalam ajaran mistik pada agama-agama lain, dalam mistik Islam yang biasanya disebut tasawuf pun terdapat ajaran mengenai hakikat manusia dan tabiat kerohaniannya yang unik dan memberi sebuah landasan bagi kemungkinan tercapainya makrifah dan tauhid. Ajaran-ajaran semacam itu sudah ada dalam perbincangan para sufi abad ke-3 H, yaitu saat makrifah dan tauhid mulai menjadi pembicaraan mereka.

Dalam karya-karya Al-Banjari tidak ditemukan penjelasan terperinci mengenai konsep manusia, sebab pembahasannya banyak tercurahkan pada metode untuk ber-taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Namun, kita masih tetap bisa menemukan mengenai ide-ide tersirat Al-Banjari yang berbicara tentang manusia.

Menurut al-Banjari dalam kitabnya Kanzal-Ma’rifah, disebutkan awal hakikat mengenal diri dimulai dengan mengenal hakikat asal-usul kejadian manusia dari Nur Muhammad. Namun sayang tidak dijumpai penjelasan lebih lanjut dari Al-Banjari dalam karya-karyanya yang berbicara tentang Nur Muhammad ini. Sehingga kita tidak bisa mengetahui apakah Al-Banjari lebih condong pada pendapat para ahli tasawuf ataukah lebih kepada pandangan para filsuf Islam.

Refrensi:
Dahlan, Bayani. Pemikiran Sufistik Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Yogyakarta: Pustaka Ulama. 2015.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan