Susahnya Belajar Bahasa Sendiri

843 kali dibaca

Berdasar pengalaman pribadi menempuh pendididkan formal selama 12 tahun dari SD sampai SMA, sangat jarang dan sepertinya memang belum pernah saya mendapatkan nilai tugas maupun ujian yang sempurna pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Padahal saat mengerjakan ujian, rasanya soal-soal itu bisa dikerjakan dengan cepat dan tak begitu susah— Bahasa Indonesia ya begitu-begitu saja. Hal ini ternyata tidak hanya terjadi pada saya saja. Banyak teman-teman saya yang bernasib serupa. Bahkan mungkin banyak pelajar di Indonesia yang juga kena “prank” dari mata pelajaran ini.

Keresahan saya tentang pelajaran bahasa Indonesia yang sempat lapuk dimakan waktu ini kembali terusik saat beberapa waktu yang lalu berselancar di jagat time line Twitter. Bermula dari postingan akun seorang akademisi yang berisi tangkapan layar pesan tentang curhatan temannya yang berprofesi sebagai seorang dosen. Sang dosen menceritakan bahwa sebagian besar mahasiswanya lebih memilih mengerjakan tugas dengan menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Bahasa Inggris yang dipakai para mahasiswa itu cukup bagus dan menggunakan tata bahasa yang benar, sementara ketika mahasiswa menulis dalam bahasa Indonesia akan berubah menjadi sangat buruk dan amburadul.

Advertisements

Postingan berisi curhatan ini mendapat tanggapan lebih dari 400 balasan komentar dan dibagikan ulang hingga 1.800 kali. Sebagian besar berisi tanggapan komentar dari para netizen yang berpihak pada kubu mahasiswa, mereka mengamini bahwasanya tidak salah jika para mahasiswa memilih menggunakan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa bahasa Indonesia terlalu ribet dan susah. Faktanya pula referensi keilmuan kita memang masih didominasi oleh buku-buku berbahasa asing, terutama bahasa Inggris.

Salah satu dari sekian banyak tanggapan, balasan komentar paling menarik datang dari seorang ahli bahasa Indonesia. Lewat akun twitternya @ivanlanin, Direktur Utama Narabahasa ini mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah karena ragam formal dan informal bahasa Indonesia sangat besar.

Benarkah? Saya kira juga demikian. Cas-cis-cus setiap hari ketika berdialog menggunakan bahasa Indonesia, tapi ketika dihadapkan dengan soal pilihan ganda dari mata pelajaran ini semua jawaban terlihat benar dan membingungkan. Bila ditarik benang merahnya, tentu ada kaitan erat dengan aturan formal informal berbahasa Indonesia. Mungkin ini yang membuat para mahasiswa itu malas menggunakan bahasa Indonesia untuk mengerjakan tugasnya.

Menyoal kembali tentang pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah formal, kebetulan saya punya adik laki-laki yang masih duduk di kelas lima SD. Anehnya dia tidak pernah mau belajar mata pelajaran bahasa Indonesia serajin ketika ia belajar bahasa Inggris ataupun mapel lainnya. Dengan alas an, “Kan, sudah bisa ngomong bahasa Indonesia, sudah biasa, kenapa harus belajar?” Dan ketika saya sanggah dengan menyinggung nilainya yang pas-pasan, “lha jawabannya nggak pasti kok,” begitu timpalnya.

Selain karena hal-hal semacam itu, kecintaan bangsa Indonesia terhadap bahasanya sendiri memang terlihat semakin berkurang. Sebenarnya hal ini tidak hanya terjadi pada bahasa Indonesia, melainkan juga pada bahasa-bahasa daerah.

Contoh nyata saja tetangga di lingkungan rumah saya, para mama muda sudah banyak yang membiasakan mengasuh anak kecilnya dengan berbahasa asing. Ungkapan “No, no, no” sudah lebih familiar terdengar ketika sang anak akan melakukan sesuatu yang dilarang, dibanding dengan ungkapan berbahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Beberapa bahkan memang sudah membiasakan percakapan sehari-hari di dalam rumah dengan bahasa asing. Tidak ada yang salah, namun sebenarnya hal kecil seperti ini memiliki dampak yang tak kecil terhadap eksistensi bahasa asli kita.

Jadi kiranya yang dianggap susah dari bahasa Indonesia itu adalah formalitas atau bahasa bakunya. Penggunaan bahasa Indonesia nonformal lebih populer di kalangan bangsa kita sendiri. Sehingga pelajaran bahasa Indonesia yang tentunya memuat materi tentang teori berbahasa yang baik dan benar (baku) terasa susah untuk dipahami karena jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara perihal kebutuhan akan bahasa asing memang sangat penting di masa sekarang, namun seharusnya tak menjadikan bahasa asli kita tak terawat dan terabaikan oleh bangsanya sendiri. Ini adalah sebuah ironi yang sangat nyata. Kepunahan bahasa biasanya karena masyarakat tidak mau merawat bahasa lokal sebagai local wisdom. Sekarang saja sering kita jumpai bahasa-bahasa anak muda yang kadangkala tidak dimengerti oleh orang tua, model istilah-istilah pun lahir dari rahim milineal yang sekan membius semua kalangan milineal. Pengembalian bahasa asli memang harus betul-betul kita galakkan segera mengingat milineal terkini semakin kronis keadaannya dan ini menjadi keperihatinan kita bersama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan