Sumpah Pemuda, Sumpah Petani, Sumpah Santri

850 kali dibaca

Mohamad Sobary, Bisri Effendy, dan Anas Saidi merupakan tiga serangkai antropolog di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada era 1980-an. Pada 2000, Kang Sobary diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Kepala Kantor Berita ANTARA Kemudian, pada 2002, Bisri Effendy mendirikan Desantara, Institute  for Cultural Studies. Dan, pada 2017, Prof Anas Saidi dilantik oleh Yudi Latif, Kepala UKP-PIP, sebagai Deputi Bidang Pengkajian dan Materi Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila.

Kang Sobary dalam disertasinya yang kemudian dibukukan, Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2016, menceritakan sejarah tembakau dan perjuangan petani tembakau Temanggung dalam mempertahankan tembakau dan kretek demi masa depannya.

Advertisements

“Tembakau juga memiliki bingkai mitologi, yang membuat tembakau bukan sekadar tembakau. Di balik setiap lembar daun hijau tua yang lebar, yang tumbuh di gunung-gunung berhawa sangat dingin itu —Gunung Sumbing, Gunung Sindoro dan Gunung Perahu— terdapat suatu mitologi mengenai asal-usulnya.”

“Seorang tua, dengan langkah tuanya, hati-hati dan serba pelan, mendaki Gunung Sumbing hingga mencapai ke dekat puncaknya yang terjal itu. Tiba-tiba pandangan orang tua itu tertuju pada suatu jenis tetumbuhan yang menarik hatinya. Dia berhenti sejenak. Kemudian sambil mencabut sebatang tumbuhan yang mengejutkannya, ia berteriak penuh takjub: ‘Iki tambaku.’ Secara harfiah artinya ‘Ini obatku’. Tapi orang belum tahu sama sekali obat apa. Tumbuhan di tangannya tadi kelak diberi nama atau memperoleh nama, dari metamorfosa cara pengucapan kata tambaku tersebut. Pelan-pelan kata tambaku itu berubah menjadi tembako, yang oleh ketidaksabaran orang Jawa diubah lagi menjadi mbako, dan kita mengenalnya dalam bahasa Indonesia sebagai tembakau. Tokoh tersebut dikenal dengan nama Sunan Kedu, Ki Ageng Kedu, Prabu Makukuhan, Sunan Makukuhan, Ki Ageng Makukuhan dan Wali Agung Makukuhan, yang disebut pernah berguru pada- dan menjadi murid- Sunan Kudus.”

“Biarkanlah puisi-puisi perlawanan petani tembakau Temanggung hadir di sini dalam kalibernya sendiri, memenuhi kepentingan lokal mereka sendiri dan kandungan makna yang relevan dengan sikap, wawasan kosmologis dan perjuangan mereka sendiri mereka pula. Kembang beraneka warna. Kembang dan dupa menyala. Tumpeng tulak dan ingkung ayam putih mulus. Mengadukan penguasa bumi kepada penguasa langit. Drama tari tundung kolo bendhu. Manunggaling kawulo alit. Pangkur suro greget. Turonggo bekso. Ziarah kubur. Sepuluh ribu (10 000) petani mengisap kretek bersama. Ungkapan ngrokok matek, gak ngrokok matek, ngrokok wae sampek matek.”

Dalam buku ini, Kang Sobary menggambarkan perlawanan petani tembakau Temanggung dalam menghadapi tekanan kapitalis global melalui RPP kemudian disahkan menjadi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Kesamaan substansial antara PP Nomor 109 Tahun 2012 dengan FCTC (Framework Convention  on Tobaco Control) menegaskan bahwa pemerintah RI pada saat itu tidak bebas dari pengaruh atau campur tangan kepentingan asing.

Kontestasi petani tembakau Nusantara dengan para kapitalis global terus berlangsung hingga kini, tahun 2020. Sekarang para petani tembakau Nusantara sedang menghadapi tantangan ujian cukup berat berupa: kenaikan cukai rokok, pandemi, rokok elektrik, impor tembakau. Pemihakan pemerintah kepada para petani tembakau nasional sangat penting karena beberapa hal.

Bagi Republik Indonesia, sejak didirikan tahun 1945 hingga sekarang, cukai rokok merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar terhadap APBN. Saat ini cukai rokok menyumbang devisa sekitar Rp 200 triliun per tahun pada APBN Indonesia. Pertanian tembakau, dari hulu hingga hilir, memberi lapangan pekerjaan bagi sekitar 24 juta keluarga dari Sabang sampai Merauke.

Besarnya nilai bisnis tembakau di Nusantara begitu menggiurkan bagi kapitalis global. Dalam masa pandemi dan anjloknya nilai bisnis minyak fosil, tembakau menjadi emas hijau yang diburu oleh para pelaku bisnis internasional. Mereka ini sedang dan akan menggunakan segala cara yang mungkin untuk merebut tembakau dari para petani Nusantara, tak peduli cara tersebut halal atau haram. Karena tujuan utamanya adalah keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Mereka itu tak peduli berapa banyak orang yang akan menderita akibat cara bisnisnya yang ngawur, menghalalkan segala cara dan merusak lingkungan.

Sangat penting bagi kita semua, khususnya para santri, untuk menyimak kembali dawuhnya Syaikhona Kholil Bangkalan: “Disunahkan setelah makan untuk udud (merokok).”

Pada suatu kesempatan diskusi tentang rokok di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beberapa tahun yang lalu, seorang mahasiswa alumnus Pesantren Tebuireng menceritakan kisahnya sebagai berikut.

Pada suatu hari, Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Wahab Chasbullah sedang ngobrol gayeng. Selama ngobrol, Mbah Wahab merokok tiada hentinya. Mbah Hasyim berkata: “Hab, kowe ngrokok kok ora mandeg-mandeg?” Mbah Wahab menjawab: “Yo ben to Syim, aku ngrokok iki ben iso mbedakne endi cangkem endi silit.”

Maka peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Santri yang belum lama berselang bisa diberi makna, bahwa sudah selayaknya para santri Nusantara mendukung perjuangan para petani tembakau nasional yang telah bersumpah: “Ngrokok matek, gak ngrokok matek, ngrokok wae sampek matek.”

Wallahualam bisshawab.

Rumah Merah, 28 November 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan