“Sorogan” Saat Ngaji Bandongan

501 kali dibaca

Saat ini, hampir tidak ada santri yang sorogan kepada pengasuh pondok. Pengajian yang diampu oleh pengasuh pondok umumnya terbatas pada sistem bandongan saja. Kini hampir tidak ditemukan–untuk tidak mengatakan tidak ada–pengasuh pondok yang mengajar santrinya dengan sistem sorogan. Pengajaran santri dengan sistem sorogan biasanya diserahkan kepada para ustaz, muwakkil, murāqib, atau apapun itu istilahnya dan kiai non-pengasuh.

Sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya saya ketengahkan dulu penjelasan tentang apa itu sorogan dan apa itu bandongan. Sorogan merupakan metode pengajaran yang di dalamnya murid membacakan teks kitab di hadapan seorang guru, sedang guru tersebut menyimak bacaan si murid.

Advertisements

Teks kitab yang dibaca lazimnya tidak memiliki harakat ataupun makna gandul. Teks kitab semacam ini biasanya disebut kitab gundul. Agar dapat membacanya dengan benar, seorang murid perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu gramatika, morfologi, dan tentu saja kosa kata bahasa Arab. Jika tidak, setidaknya ia perlu menghafalkan terlebih dahulu makna dari tiap-tiap lafaz dari teks kitab yang akan dibaca. Dengan demikian, si murid dapat membaca kitab gundul dengan lancar meski belum memahami ilmu tata bahasa Arab.

Sistem sorogan memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sistem bandongan. Dalam sorogan, seorang santri dituntut untuk benar-benar memahami teks kitab yang dibacanya. Pemahaman ini kemudian disampaikan di depan gurunya untuk diverifikasi, apakah ia benar atau tidak. Sorogan juga memungkinkan adanya diskusi interaktif antara guru dan murid yang membawa keduanya pada pemahaman yang benar.

Selain sorogan, metode pengajaran yang biasa digunakan di pondok pesantren adalah bandongan. Bandongan adalah metode pengajaran yang di dalamnya seorang guru membacakan makna gandul untuk suatu kitab di hadapan para murid. Selain arti dari tiap kata, sang guru juga menyebutkan kedudukan setiap kata dalam kalimat. Ia juga memberikan penjelasan terkait isi kitab yang sedang dibaca. Para santri menyimak bacaan sang guru sambil menuliskan makna di kitabnya masing-masing.

Sebagaimana sudah disinggung di awal, hampir tidak ada santri yang sorogan kepada pengasuh pondok di masa sekarang. Keadaan ini berbeda dengan zaman yang lalu. Pada masa itu, masih ada santri-santri yang sorogan langsung kepada pengasuh pondok. Salah satunya adalah guru penulis di Pondok Pesantren Al-Anwar 2 Sarang.

Saat masih bersekolah di Madrasah Aliyah, beliau menangi sorogan langsung kepada KH Abdullah Ubab Maimoen, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 2 Sarang. Hal semacam ini hampir tidak mungkin terjadi di masa sekarang, mengingat betapa banyaknya santri di pondok tersebut saat ini. Keadaan di banyak pondok pesantren lainnya sepertinya tidak jauh berbeda.

Lalu, apakah saat ini sudah tidak mungkin seorang santri sorogan langsung kepada kiainya? Jika yang dimaksud adalah sorogan dengan metode yang konvensional, jawabannya adalah hampir tidak mungkin. Mayoritas pengasuh pondok adalah seorang tokoh yang memiliki banyak kesibukan, sehingga akan sangat sulit meluangkan waktu untuk mengajar puluhan, ratusan, atau mungkin ribuan santrinya dengan sistem sorogan. Sorogan kepada pengasuh pondok barangkali hanya mungkin dilakukan di pondok-pondok yang jumlah santrinya kurang dari seratus. Untuk pondok-pondok selain itu, lazimnya pengasuh hanya bisa mengajar santrinya dengan sistem bandongan.

Namun, jika yang penting seorang santri bisa mengoreksi bacaannya atas suatu kitab, maka ia bisa mengambil langkah alternatif. Ada sebuah metode untuk memverifikasi apakah bacaan santri tersebut sudah sesuai menurut sang guru atau belum tanpa harus melalui sorogan.

Dengan metode ini, seorang santri bisa mendapatkan sebagian manfaat dari sorogan meskipun pengajian yang dia ikuti adalah ngaji bandongan. Metode ini penulis dapat dari penjelasan KH Baha`uddin Nursalim (Gus Baha) saat mengisi acara Haflah Akhirissanah Madrasah Diniyah Takmiliyah Al-Anwar 3 Sarang.

Langkah-langkah dalam metode ini dapat diringkas menjadi dua langkah besar. Pertama, mempelajari teks kitab yang akan dibaca oleh pengasuh pada saat ngaji bandongan. Sebelum mendatangi majelis ngaji bandongan, seorang santri harus mempersiapkan diri dengan cara belajar memahami isi teks kitab yang nantinya akan dibaca oleh pengasuh. Ia perlu mencari tahu arti dari tiap kata sekaligus kedudukannya dalam kalimat. Arti dan kedudukan tiap kata itu kemudian dicatat di kitabnya, agar masih bisa diingat saat menyimak bacaan sang pengasuh. Setelah mengetahui dua hal tersebut, barulah ia mulai mencoba memahami apa yang dikehendaki oleh teks kitab tersebut.

Kedua, menyimak bacaan sang pengasuh sembari mencocokkan arti dan kedudukan tiap kata yang sudah ditulisnya dengan arti dan kedudukan yang dibacakan oleh pengasuh. Jika keduanya cocok, itu artinya bacaan santri tersebut sudah benar. Namun jika tidak, itu berarti ada yang salah dari bacaan si santri. Ia harus mencatat kesalahan-kesalahan tersebut, sekaligus menuliskan koreksinya di kitab yang sudah ia maknai sebelum mengaji. Koreksi ini dapat menjadi bahan evaluasi sekaligus pengetahuan tambahan baginya.

Dengan menempuh dua langkah di atas, seorang santri dapat mengukur sejauh mana kemampuannya dalam membaca teks kitab gundul. Ia bisa mendapatkan sebagian manfaat yang biasanya didapatkan dari sistem sorogan. Meski ia tidak membaca langsung di depan pengasuh dan sang pengasuh juga tidak menyimak bacaannya, namun si murid bisa memanfaatkan bacaan gurunya sebagai ukuran untuk mengoreksi bacaannya sendiri. Memang rasanya tetap berbeda jika dibandingkan dengan sorogan yang ‘asli’. Akan tetapi, manfaat yang didapatkan oleh santri bisa lebih besar jika dibandingkan dengan metode bandongan saja.

Memang benar, mengambil ilmu dari pengasuh tidak harus melalui sorogan. Santri tetap bisa mengambil banyak ilmu dari pengasuh melalui ngaji bandongan. Jika seorang santri ingin sorogan, ia juga tidak harus sorogan langsung kepada pengasuh pondok. Masih banyak guru lain yang bisa menjadi guru sorogan. Namun, tidak jarang ada santri yang ingin memiliki pengalaman sorogan dengan pengasuh pondok. Ada juga santri yang merasa kurang puas jika “hanya” sorogan kepada ustaz-ustaz maupun kiai non-pengasuh. Pengalaman sorogan langsung dengan kiai yang menjadi pengasuh pondok merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang santri.

Selain itu, sorogan juga merupakan upaya menjaga salah satu tradisi keilmuan Islam yang sangat penting, yaitu qirā`ah ‘alā al-shaykh (membaca di hadapan guru). Berdasarkan keterangan yang penulis dapat dari penjelasan Gus Baha, intensitas tradisi satu ini mengalami penurunan dalam beberapa waktu terakhir sehingga perlu adanya upaya untuk melestarikannya. Bentuk upayanya tentu saja adalah dengan menggiatkan praktik metode sorogan, baik yang konvensional maupun alternatif sebagaimana dijelaskan di atas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan