Soal Sudut Pandang

733 kali dibaca

Belum genap satu minggu saya sembuh dari sakit. Ya, dari semua gejala sakit yang saya alami selama dua minggu itu, beberapa indikasi menunjukkan bahwa saya terpapar Covid-19. Maka, dengan sadar saya melakukan isolasi mandiri (isoman).

Tanpa cek ke bidan atau dokter terlebih dahulu untuk swab test, tanpa memberi tahu orang tua atau keluarga dan juga orang-orang sekeliling. Hal ini saya lakukan untuk menjaga tersebarnya kabar tak sedap. Maklum saja, di desa saya, paparan Covid-19 cukup diaggap buruk nista.

Advertisements

Semula saya juga pernah berpikir begitu, ikut ke dalam arus berpikir masyarakat. Sampai pada akhirnya saya mengalaminya sendiri. Dari beban tubuh karena sakit hingga beban mental karena takut ketahuan oleh khalayak bahwa saya terpapar Covid-19.

Seminggu pertama saya tak bisa apa-apa, kecuali hanya menonton Youtube dan berbagai hal kecil yang ada dikamar. Membuat tulisan, menggarap tugas permintaan teman, dan hal lainnya. Apa saja dilakukan asalkan bisa sedikit mengurangi rasa bosan.

Namun, tanpa saya sadari, kegabutan saya tersebut ternyata sedikit membantu saya. Beberapa hal yang dulu malas untuk saya kerjakan menjadi sedikit obat kebosanan. Sekaligus meningkatkan produktivitas.

Tapi sakit tersebut tetap menyisakan ketakutan tersendiri. Terlebih akhir-akhir ini di wilayah saya banyak yang meninggal. Memang bukan melulu karena Covid-19, namun lebih karena umur. Karena yang meninggal adalah lansia tanpa gejala.

Hal itu kadang membayangi saya. Apakah Izrail akan mampir ke rumah saya. Jujur saja, waktu itu saya tiba-tia menjadi sedikit lebih meningkatkan ibadah saya. Meskipu, saya tahu bahwa mungkin setelah penyakit ini usai, saya akan kembali menjadi pemuda pemalas.

Saat itu ada kejadian yanng membuat saya membalik semua pemikiran saya soal pandemi ini. Soal kemarahan masyarakat yang berimbas pada stereotipe atau stigma mereka. Memasuki akhir minggu kedua saya isoman, kakek saya datang menjenguk. Awalnya saya sendiri sangat menolaknya. Namun karena beliau sangat memaksa, saya tidak sampai hati untuk tidak menuruti.

Akhirnya beliau masuk ke dalam kamar, dan kami berbicara berdua. Saat saya menceritakan penyakit yang saya derita, bahwa saya terpapar Covid-19, tampak beliau agak kaget. Namun dengan tenang beliau berkata, “Mati tidak semenakutkan itu bagi kakek.”

Ya, itu menjadi salah satu titik di mana saya berpikir. Bahwa, meski saya tidak terlalu taat beribadah, namun harusnya memang bukan karena kematian saya beribadah. Tentu juga bukan karena surga, sebab jelas-jelas saya bukan orang yang taat. Setidaknya itu konsep ibadah Rabiah Al-Adawiyah.

Lantas kata-kata yang paling awam saat kita mendapatkan nikmat, juga menjadi salah satu palu bagi diri saya sendiri, karena selama ini memang masih belum maksimal dalam segala hal yang saya jalani. Lantas, “maka nikmat mana lagi yang kau dustakan” menjadi pengingatnya.

Lalu, kata-kata dari kakek saya menjadi penutup yanng sampai sekarang masih melekat. Andai saja kita bisa memperlakukan Izrail layaknya teman lama. Yang menyapa kembali kita dan kita berincang lama seraya diajak ke tempat indah. Betapa lagi kita tak akan menganggap kematian sebagai momok menakutkan.

Mungkin tulisan ini tidak terlalu berpengaruh. Namun saran saya bahwa sakit ternyata tidak terlalu buruk. Sakitlah, maka akan ada banyak hal indah menanti di depan kita.

Saya tidak menjanjikan dengan pasti hal tersebut. Namun, saran saya ini wajib dibarengi dengan membalikkan pola pikir dan melihatnya dari ssudut pandang lain. Entah dari orang lain, atau diri kita yang lain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan