Sisi Lain Sumenep: Kapitalisme dan Perjuangan Santri

965 kali dibaca

Alegori Sumenep sebagai kota wisata dan tempat para pelancong dari berbagai negara singgah, perlahan mengaburkan sisi lain dari kota ini. Bahwa ada relasi bisnis yang eksploitatif dan cenderung merusak terhadap alam.

Salah satu eksotisme wisatanya adalah Pulau Oksigen yang diwartakan berada pada urutan kedua setelah Jordania dalam kadar oksigen tertinggi di dunia. Pulau tersebut adalah nama lain dari Gili Yang, sebuah pulau yang terletak di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Selain itu, terdapat Pantai Lombang dengan ciri khas pohon cemara udang yang disinyalir hanya beberapa titik di dunia yang ditumbuhi pohon tersebut.

Advertisements

Eksotisme wisata ini justru menarik hidung para investor sekaligus membentengi pengrusakan alam yang perlahan terjadi. Dan kehadiran buku berjudul Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep ini menyibak tabir kuasa dengan berpedoman pada realitas empirik yang terjadi di akar rumput. Dengan mendedah sisi lain dari Sumenep, setidaknya kita tidak hanya mengetahui bahwa ada keindahan wisata, namun ada juga pengrusakan alam yang terjadi sebagai konsekuensi logis dari ketamakan kapitalisme.

Islam dan Relasi Kapital

Sebagai agama mayoritas, Islam memainkan peran penting dalam usaha-usaha kapitalistik secara khusus di Sumenep. Posisi agama yang demikian penting dalam masyarakat Madura dijadikan atau dimanfaatkan pemodal untuk kepentingan penguasaan lahan (hal. 35). Para elite kapital tersebut seakan telah mengkaji teks-teks sejarah dan secara bersamaan menggunakan agama sebagai umpan untuk menjarah tanah rakyat. Relasi ini timbul bukan hanya diinisiasi oleh satu pihak (dalam hal ini pihak pemodal), namun ada relasi bisnis baik antara pemodal, pemerintah, dan tokoh-tokoh agama.

Tokoh agama dengan segenap sumber daya dan pengaruh yang dimilikinya diambil untuk menghubungkan kepentingan penguasaan lahan oleh pemodal dengan masyarakat pemilik tanah (hal. 36). Narasi-narasi agama yang dijadikan senjata ampuh biasanya adalah rukun Islam yang kelima, yaitu naik haji. Sehingga banyak yang tergugah untuk menjual tanah mereka sebagai biaya berangkat ke Mekkah. Tersebab, predikat haji tersebut memiliki eksistensi lebih di tengah masyarakat.

Tidak berhenti di sini. Narasi agama kemudian juga dijadikan upaya menghalalkan segala cara untuk merebut lahan masyarakat, upaya-upaya intimidatif dan berbagai ancaman tindak kekerasan tersebut tidak pernah digubris oleh tokoh agama tersebut yang berafiliasi dengan elite pemodal.

Imbasnya, ketika tanah-tanah dikuasai oleh elite kapital, maka —menurut Tan Malaka— tanah itu berfungsi untuk menyediakan berdijfzekerheid atau kepastian bekerja (hal. 130). Salah satu perusahaan yang mengakuisisi lahan pertama adalah PT Anugrah Inti Laut (AIL). Perusahan ini, sejak 2015, telah sukses mengkapitalisasi tanah desa seluas 24,8 hektare. Sedangkan, untuk keseluruhan tanah yang berpindah tangan sudah mencapai lebih 500 hektare.

Perlawanan Santri

Batan (Barisan Ajhege Tana, Ajhege Nak Poto) atau barisan menjaga tanah menjaga anak cucu, memang dibentuk untuk mengawal isu-isu agraris seperti yang marak terjadi belakangan ini. Organisasi ini merupakan bentuk implementasi dari pemikiran kritis terhadap dampak berkepanjangan dari adanya akuisisi lahan menjadi tambak udang di daerah Sumenep.

Efektivitas dari perlawanan Batan ini dimulai dari akar rumput, yakni dengan upaya penyadaran terhadap masyarakat akan bahaya menjual tanah kepada investor, sekalipun dengan harga tinggi. Biasanya, kegiatan tersebut berupa kompolan, majelis taklim, dan berbagai kegiatan yang bersifat kebudayaan.

Tidak jauh berbeda, FNKSDA juga demikian. Organisasi ini lahir sebagai bentuk nyata dari keprihatinan para aktivis muda nahdliyin. Terbentuknya FNKSDA pada mulanya diawali dengan kegiatan diskusi intensif yang diselenggarakan di Yayasan LKiS Sorowajan, Yogyakarta. Tepatnya pada 4 Juli 2013, diselenggarakan diskusi yang betempat di Pendopo Hijau Yayasan LKiS Yogyakarta, dengan tema “Diskusi Nahdliyin tentang Konflik dan Tata Kelola SDA” (hal. 58). Meski organisasi ini terlahir atas inisiasi kaum muda intelektual berbasis nahdliyin, namun secara struktural, organisasi ini bukan merupakan badan otonom dari Nahdlatul Ulama, tetapi justru membentuk independensi tersendiri yang berusaha berfokus pada kajian Sumber Daya Alam (SDA). Ali Murtadho mengulas secara lengkap organisasi ini.

Dua organisasi tersebut juga berafiliasi dengan PCNU di Kabupaten Sumenep. Lalu ketiganya menyatukan persepsi akan bahaya akuisisi lahan oleh investor. Bahkan pada 22-23 Desember 2018, ketiganya bersinergi mengadakan kongres petani dan santri sebagai bentuk keprihatinan di kalangan aktivis muda, petani dan santri. Poin penting yang diperoleh di antaranya; pertama, hentikan privatisasi dan eksploitasi SDA Madura dalam berbagai modusnya secara legal atau pun illegal. Kedua, hentikan proyek infrastruktur dan bisnis properti di Madura. Ketiga, menolak peraturan daerah proinvestor. Keempat, meminta NU lebih kritis. Kelima, mendorong pesantren agar merumuskan dan memuat materi lingkungan hidup atau fikih pertanian dalam pendidikan para santri. Terakhir, mendorong pemerintah agar lebih aktif dalam merespons kebutuhan petani dan nelayan di Madura (hal. 67).

Demaduralogi dan Ecocriticism

Demaduralogi merupakan gagasan yang ditawarkan oleh Moh Royhan Fajar. Ia beranggapan bahwa selama ini sejarah tentang Madura yang ditulis oleh orang non-Madura senantiasa menjadikan masyarakat Madura sebagai objek kajian, bukan sebagai subjek.

Dirinya menganggap bahwa apa yang ditulis De Jonge (lengkapnya : Huub De Jonge) tentang Madura dan sering dijadikan referensi senantiasa mendudukkan masyarakat pulau itu pada sisi terendah. Salah satu yang dikritisi oleh Royhan adalah spirit kolonial yang diadopsi De Jonge dalam tulisannya tentang bagaimana keuletan laki-laki dan perempuan Madura dalam bekerja. Royhan menulis, “Mendudukkan rakyat Madura sebagai buruh terbaik berarti sama saja mengampanyekan Madura sebagai wilayah yang memang cocok untuk selalu dijajah” (hal. 143).

Berbeda dengan Royhan, Sujibto menawarkan gagasan dari perspektif seni. Ia beranggapan bahwa seni perlu terus berpijak pada konteks, realitas, dan lingkungan sekitar di mana senimannya bertumbuh dan berkembang (hal. 170).

Sebenarnya gagasan ekokritik (ecocriticism) merupakan nama lain dari gerakan kritik literasi yang menaruh perhatian terhadap lingkungan  dan bertujuan untuk melawan berbagai bentuk ekploitasi. Ekokritik merupakan studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik (Physical environment) yang mengambil pendekatan pada bumi untuk studi-studi sastra.

Dan sebagai konklusi pada tulisan ini adalah bahwa masyarakat Madura (Sumenep secara khusus) telah melawan eksploitasi lahan yang memiliki dampak berkepanjangan. Uniknya para aktivis tersebut hampir keseluruhan merupakan santri atau bahkan pengasuh pesantren, yang dengan hal ini menegaskan bahwa relasi santri dengan masyarakat akar rumput itu sangat bersifat fundamental.

Yogyakarta, 23 September 2021.

Data Buku

Judul               : Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep
Penulis             : A Dardiri Zubairi, dkk.
ISBN               : 978-623-6063-19-4
Penerbit           : Cantrik Pustaka, 2021
Halaman          : 211

Multi-Page

Tinggalkan Balasan