Sisi Lain Akhlak

933 kali dibaca

Ketika ditanya karakter apa yang idealnya dimiliki seorang anak, banyak muslim di Indonesia menjawab, akhlak. Di pesantren, di sekolah, di pelajaran agama, di mimbar, di buku-buku, akhlak digambarkan sebagai kepatuhan total yang tak pernah diceritakan sampai mana batasnya, hingga menoleransi otoritarianisme, tindakan pejoratif, dan pengabaian terhadap kemanusiaan dan empati terhadap yang lebih muda.

Pelajaran akhlak umumnya tersaji dalam bentuk seragkaian deskripsi-deskripsi perilaku untuk tiap situasi sosial yang seakan mutlak selalu seragam dari satu ke lain tempat ataupun orang. Dalam pelajaran akhlak, situasi sosial digambarkan sebagai sesuatu yang statis. Implikasinya, kapan deskripsi-deskripsi perilaku itu mendapat pengecualian, atau bahkan tidak berlaku, tidak pernah diceritakan.

Advertisements

Dengan kata lain, ada ketimpangan narasi dalam menceritakan dan mengajarkan akhlak. Dalam wacana mainstream, akhlak berwujud dalam bentuk tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Akhlak akhirnya menjadi aparatus pembentuk dan kontrol kualitas manusia yang lebih muda, sambil menyajikan alasan-alasan pelarian bagi yang lebih tua untuk menutup pintu koreksi kesalahan-kesalahannya, baik berupa pemikiran, keputusan, ataupun sikap. Ini memang tidak mutlak terjadi pada semua orang, tetapi pembaca dapat merefleksikan sejauh mana intensitasnya terjadi.

Hubungan keduanya dapat menjadi lebih kompleks bila ditempatkan dalam satu masalah yang determinan bagi nasib hidup salah satu pihak. Di situ, biasanya akan terlihat bagaimana konflik kepentingan membajak argumentasi-argumentasi akhlak sebagai perisai.

Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, akhlak tidak netral, yakni ia dapat mudah diinstrumentalisasi untuk memiliki keberpihakan. Kedua, sisi lain akhlak (the other side of the coin), yakni kontrol kualitas manusia yang lebih tua agar yang muda layak memberikan akhlak padanya, tidak pernah mendapat perumusan ataupun penekanan yang imbang sebagaimana kontrol kualitas terhadap yang muda.

Orang dapat mengutip ayat ataupun hadis tentang pentingnya kasih sayang dan lemah lembut terhadap yang lebih muda untuk menyanggah hal ini. Tetapi ayat ataupun hadis itu terbatas sebagai kutipan yang baru muncul bila ada protes soal evaluasi praktik akhlak secara keseluruhan.

Dalam ilmu komputer, seorang pengembang software akan selalu membolehkan aplikasinya untuk dibedah dan diuji semaksimal mungkin oleh orang lain agar menemukan ‘bug’, atau ‘error’, yang ia tak sadari. Masalahnya adalah, akhlak sering dipandang sebagai sesuatu yang given, atau turun dari langit begitu saja. Mempertanyakan ataupun menggugat akhlak dapat diartikan sama dengan pembangkangan aturan agama.

Romantisme terhadap akhlak sering mengabaikan bahwa, ayat ataupun hadis adalah bersifat polisemik, yakni memiliki banyak makna: baik itu makna semantik yang erat kaitannya dengan budaya di suatu daerah, ataupun makna diskursif yang ditentukan oleh praktik wacana ayat dan hadis di suatu masyarakat. Sebagaimana fikih yang turun dari olahan teks-teks suci, akhlak juga merupakan produk kebudayaan.

Oleh karena itu, akhlak tidak mutlak soal dosa-pahala ataupun agama. Padangan tersebut cenderung reduktif, mengingat lokus akhlak memiliki posisi yang cukup berperan dalam menentukan prosedur operasional hubungan sosial antargenerasi di Indonesia. Akhlak, oleh karena itu, perlu ditinjau ulang dari segi sosiologi dan kebudayaan untuk membedah oksimoron yang selama ini tak pernah dibahas secara lugas.

Misalnya, seseorang dapat mengharuskan orang lain untuk menghormatinya tanpa meninjau ulang kesantunan permikiran, sikap ataupun bahasanya, semata karena usianya lebih tua. Di Indonesia, pengetian ‘kesantunan’ adalah salah satu ranah yang paling terdampak politik bahasa dari pengalaman periode otoritarian. ‘Kesantunan’ di Indonesia lebih diartikan sebagai praktik berpikir, berbahasa dan bersikap yang memiliki estetika yang ekpslisit, terlepas dari kualitas substansinya seperti apa.

Oksimoron itu kemudian muncul dalam bentuk: pertama, menoleransi kerapuhan logika berpikir dan tindakan dengan mengatas-namakan maksud baik; kedua, terbudayakannya sikap baik sebagai drama sosial yang sering berkebalikan dengan sikap sebenarnya; ketiga, tidak tercakupnya praktik diskursif sebagai ukuran kesantunan berbahasa.

Bahasa disebut kasar ketika memiliki intonasi tinggi atau memuat umpatan dan kata-kata kotor (meski substansinya berbobot), bukan ketika memuat diksi komparatif-pejoratif (membandingkan untuk merendahkan), atau ketika memuat diksi asosiasif-divisif (menyamakan seseorang dengan kualitas tertentu) seperti misalnya: hitam-putih, pintar-bodoh, saleh-jalang, dan asosiasi lain yang mengandung bias diskriminasi sosial berbasis rasial, intelektual, gender, ataupun moral.

Hierarki diskriminatif tersebut dapat disampaikan dengan intonasi santun, dan dapat terjadi baik dalam hubungan antara warga, orang tua-anak, guru-murid, ataupun agamawan-orang awam. Pengertian dan narasi akhlak di arus mainstream cenderung melupakan kausa sosial, bahwa menjadi dihormati atau dihargai adalah hak yang didapat setelah kualitas diri telah tuntas. Akhlak kemudian lebih bermakna hierarki, dibanding kesalingan yang sama ketat.

Repotnya lagi, akhlak yang bermakna demikian, meminjam banyak teks agama sebagai pelindung  sampai orang takut untuk mengevaluasi kemapanan yang selama ini diterima begitu saja sebagai sesuatu yang given. Variabel-variabel sosial seperti budaya patrimonial Asia Tenggara, sisa nalar feodalisme Jawa, dan sisa pengalaman dominasi politik otoriter luput dari pertimbangan, bahwa variable-variabel itu juga telah meninggalkan pengaruh pada pemaknaan akhlak dalam kacamata Islam dan Indonesia.

Tanpa keberanian untuk mengevaluasi praktik akhlak agar sama tajam ke atas dan ke bawah, dan tanpa keberanian untuk menambahkan variabel pertimbangan lain selain agama, maka relasi sosial antargenerasi yang konstruktif sulit terjadi, dan hierarki diskriminatif terus terpelihara. Akhlak dapat menjadi kontrol sosial yang baik, entah bagi yang tua ataupun muda, bila tradisi pengejawantahannya mengarah pada kritisisme pada diri sendiri, dibanding kritisisme terhadap orang lain. Masalahnya adalah, di Indonesia, perlakuan baik dan hormat dari orang lain ditagih meski sikap diri masih cenderung permisif dan mendua.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan