Si Tua “Pembohong”

2,775 kali dibaca

Di suatu kota, terdapat sebuah rumah sakit yang diperuntukkan bagi  korban perang. Ratusan korban perang ditampung di tempat tersebut. Memang pada masa itu, perang menjadi sesuatu yang sangat jamak ditemui. Setiap senggolan ringan pasti diakhiri dengan perang, seolah-olah perang telah menjadi jawaban mutlak untuk semua gesekan. Semua orang, baik yang suka perang maupun yang benci, yang tua maupun muda, kaya atau miskin, duda atau berkeluarga, semua terseret arus tersebut. Mereka semua diperah tenaganya, dan dipaksa terjun ke medan perang.

***

Advertisements

Suatu hari, seperti hari-hari biasanya, rumah sakit tersebut kedatangan pasien baru. Seorang pemuda dengan kaki hancur terkena ledakan ranjau. Kakinya hancur, dagingnya berserakan, dan darah mengucur deras dari kakinya. Dia ditempatkan di sebuah ruangan sempit yang sebenarnya bukanlah sebuah ruangan rawat. Ruangan itu sebenarnya adalah ruangan administrasi yang berukuran kira-kira 4×5 meter persegi. Ruangannya pengap dan sempit, hanya ada sebuah jendela berukuran 40×40 sentimeter di dinding.

Hanya ada dua orang di ruang itu, si pemuda tadi dan seorang kakek yang entah sejak kapan menjadi penghuni ruang pengap itu. Tempat tidur kakek itu berada persis di sebelah jendela tersebut, sedangkan dipan pemuda itu berada agak jauh dari sana. Setiap hari, pemuda tersebut hanya berbaring di kasurnya. Itu karena kakinya yang hancur baru saja diamputasi. Kondisi itu menghalangi geraknya. Sekaligus, membuat mulutnya yang terus mengumpat. Tiada lagi anggota badan yang bebas dia gerakkan.

Dengan sedikit kesal, dia berteriak kepada si kakek teman sekamarnya itu, yang setiap pagi dan sore selalu menatap keluar jendela.

“Hey Pak Tua!” teriak pemuda itu kesal. “Apa yang kau lihat di luar sana? Kenapa kamu suka sekali melihat jendela bangsat itu?” Rasa jenuh bercampur nyeri di kaki dan badanya telah membuat pemuda itu menjadi kasar.

Orang tua itu tetap pada posisinya, menatap khusyuk keluar jendela, tidak bergerak dan tertarik dengan omelan pemuda itu. Pemuda itu pun semakin kesal dan berteriak-teriak mengumpat orang tua tersebut. Begeitu terus dalam waktu yang sangat lama.

Hingga secara tiba-tiba, suatu hari, kakek itu masih dengan posisi menatap jendela, berbicara kepada pemuda tersebut lirih.

“Aku melihat bunga bermekaran di luar sana, melihat warna-warni kupu-kupu yang beterbangan mengisap sari-sari bunga,” ucap kakek tersebut lancar.

“Awan berarakan membentuk wajah-wajah anak kecil yang tersenyum, berlatarkan langit biru yang sangat jernih,” lanjut sang kakek.

“Aku melihat bayangan cerah negeri ini dari balik jendela kecil ini. Menatap bunga-bunga bermekaran seolah membawaku ke masa kecilku yang sangat hangat, melihat kupu-kupu terbang di sana berhasil membawa kenanganku pada kebebasan akan ketakutan, dan melihat putihnya awan yang beriringan membuatku merindukan hangatnya kejernihan yang pernah merangkul tanah ini. Aku, kamu, dan semua orang di sini telah kehilangan jiwa. Senyuman telah menguap entah ke mana. Perang ini telah mengubah surga menjadi neraka, mengubah manusia putih sepertimu manjadi sehitam asap tank-tank dingin dan angkuh itu, mengubah anak-anak kita yang manis menjadi sepahit empedu. Aku tidak menyalahkanmu atas kata-katamu, atas umpatan-umpatanmu. Tidak, aku tidak membenci sampah, karena kalaupun sampah dapat memicu bencana, aku akan lebih membenci sumber dari adanya sampah itu! Tapi lihatlah di sana, di luar jendela itu, aku melihat bunga bermekaran, indah, sangat indah.”

Tak terasa, air mata pemuda itu meleleh. Dia menyadari bahwa jiwanya kosong selama ini. Dia kehilangan dirinya yang dulu dan kata-kata orang tua itu telah mengingatkannya kembali. Semenjak itu, pemuda tersebut kembali menemukan jiwa hidupnya. Dia menjadi sosok yang hangat, dan berteman baik dengan orang tua itu. Setiap hari dia mendengarkan cerita tentang bunga dan kupu-kupu. Tentang langit biru dan awan-awan putih. Dan, setiap kali mendengar cerita itu, semakin bersemangat pula dia. Dia ingin segera sembuh dan melihat kupu-kupu dan bunga-bunga itu dengan mata kepalanya sendiri.

Hingga suatu hari, dia menemukan bahwa lelaki tua tersebut telah meninggal di dipannya. Meninggal dengan tersenyum. Dua bulan setelah meninggalnya kakek tua tersebut, pemuda itu memaksakan diri untuk berpindah ke dipan, di mana orang tua tersebut biasanya duduk dan berbaring. Dia ingin melihat kupu-kupu, bunga-bunga, langit biru, dan awan yang berarak melalui jendela kecil itu.

Namun, alangkah terkejutnya pemuda itu ketika dia melihat jendela terebut. Tak ada bunga, kupu-kupu, maupun langit biru. Hanya ada tembok tinggi kusam yang membisu dingin. Benar-benar berbeda!

Selanjutnya, dia bertanya kepada seorang perawat tentang lelaki tua yang sering bercerita tersebut. Perawat itu menjawab, bahwa lelaki tua itu adalah korban perang. Kedua matanya buta terkena percikan ledakan mesiu!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan