Setan Suradal

1,163 kali dibaca

Mereka mengatakan bahwa Wak Amad kencing berdiri di dekat pohon keranji. Padahal Wak Amad tidak mengencingi batang pohon itu, melainkan hanya di sekitarnya. Pohon dengan satu batang besar yang menunduk menyentuh tanah. Siapa yang lewat di jalan itu akan merinding luar biasa. Tidak ada kuburan, tidak ada rumah tua, hanya pohon besar yang berdiri bertahun lamanya.

Wak Amad memang tidak percaya pada kekuatan pohon. Kata dia, pohon tidak jauh beda dengan manusia, sama-sama ciptaan yang Kuasa. Naas, sembilan jam sesudah Wak Amad kencing berdiri, ia tertimpa musibah besar. Saat hendak buang air besar di kakos, Wak Amad tidak bisa mengeluarkan air seni dari saluran kencing. Ia teriak-teriak minta tolong pada Sapeya, istrinya.

Advertisements

Sapeya bingung berhari-hari, perut Wak Amad semakin membesar. Keseringan pula Wak Amad merintih di atas ranjang yang sering berderik itu. Sapeya duduk sepanjang hari di sisinya, memegangi tangan Wak Amad, menciumi sekali-duakali. Di saat seperti itu, Sapeya merasa menyesal mengapa tidak bisa mempunyai anak sejak mereka muda. Akibatnya, tidak ada yang bisa membantu lebih saat diterjang badai sedih. Setelah Wak Amad tidak bisa bekerja seperti itu, maka satu-satunya jalan pengahasilan tertutup.

“Besok aku akan pergi ke Mak Mar untuk menanyakan penyakitmu.”

“Mak Mar tahu banyak hal tentang pohon Keranji itu.”

Perkataan Sapeya hanya disambung sendiri, Wak Amad sudah tidak bisa berbicara sama sekali. Malah, yang tersisa hanya bulir-bulir air mata di pipi Wak Amad. Seumur-umur Sapeya, itu kali kedua melihat suaminya menangis. Kali pertama, saat Wak Amad berhasil mengucapkan ijab kabul tatkala mereka menikah setelah sebelumnya berlatih setengah bulan lebih.

Sapeya mendatangi Mak Mar, ia menceritakan musabab kemalangan suaminya. Mak Mar memejamkan mata dan membaca beberapa larik mantra yang tidak dimengerti Sapeya. Sampai lima belas menit sepuluh detik, baru Mak Mar membuka mata dengan senyum yang lepas. Seolah-olah hendak mengatakan, bahwa suami Sapeya bisa sembuh secepat mungkin. Tetapi, sangkaan Sapeya salah, Mak Mar mengaku keberatan. Mata Sapeya sembab, terus-terusan memandangi dinding rumah Mak Mar yang terbuat dari triplek tipis-tipis. Deru-deru angin seperti mengalir di dada Sapeya.

“Bukannya Mak Mar tidak mau membantu, tetapi urusan dengan pohon itu sedikit rumit. Masalahnya, suamimu tidak kencing pada batang pohon keranji, melainkan di sekitarnya. Andai kau tahu, di sekitar pohon itu atau yang dikencingi suamimu, terdapat rumah dari makhluk ketiga yang juga mengalami kemalangan dalam hidupnya.”

“Lalu, apa yang bisa saya lakukan, Mak, agar suami saya bisa sembuh?”

Mak Mar bergeming, seperti kehabisan kata-kata. Ia kembali memejamkan matanya, mengatupkan bibir kuat-kuat. Mak Mar menggeleng, Sapeya semakin putus asa dengan kejadian di sepetak kamar yang sempit milik Mak Mar. Sapeya memilih berpamitan sambil meletakkan harapan-harapan besar di dadanya. Ia menceritkan pada Wak Amad apa yang terjadi di rumah Mak Mar. Suami Sapeya itu samakin terlihat putus asa. Kepalanya menerobos seperti kembali ke masa lalu, saat duduk di teras rumah dengan neneknya dari masa lalu.

***

“Dulu pohon itu kecil dan tidak memiliki tangkai menjuntai, tetapi setelah besar dahannya juga membesar dan hampir menyentuh tanah.”

Wak Amad yang masih berusia tujuh tahun kurang dua bulan hanya dengan khidmat mendengarkan cerita nenek. Bahkan, perkataan sang nenek seperti tertancap di tempurung kepalanya. Benar, pohon itu bukan sembarang pohon yang tertanam dengan sendirinya. Dahulu di sekitar pohon itu terdapat bangunan berbentuk kubus. Di atas bangunan itu, orang-orang biasa melakukan ritual penyambutan makhluk dari alam lain. Penyambutan dimaksudkan untuk menghormati makhluk tak kasat mata.

“Apakah orang-orang dahulu tidak takut menyambut makhluk halus, Nek?”

“Makhluk halus sebetulnya senang dengan upacara penyambutan, itu sebabnya tidak akan ada yang merasa takut.”

Makhluk itu tidak banyak, bukan pula seperti bala tentara. Hanya satu. Orang-orang menyebut Suradal. Tidak ada yang tahu dari bahasa mana nama itu. Bahkan, nenek Wak Amad sendiri tidak memberikan jawaban ketika ditanya Wak Amad apa arti dari Suradal. Ia hanya menggambarkan bahwa Suradal bermata hitam dengan putih kecil di bagian tengah. Di kepalanya terdapat tiga tanduk sebesar buah salak.

Betul apa yang dikatakan Mak Mar, Suradal juga mengalami kemalangan. Ia pada muasalnya juga mempunyai istri yang cantik jelita sebagaimana manusia. Mereka berumah di pohon keranji yang pada saat itu tidak besar dan batangnya hanya cukup menampung dua orang.  Entah masalah yang bagaimana hingga Suradal diusir istrinya dari pohon itu. Akibatnya, Suradal mengembara ke mana-mana. Seringkali Suradal masuk ke rumah penduduk dan mengetuk pintu-pintu rumah. Itulah sebabnya mengapa orang-orang malakukan penyambutan, agar Suradal yang putus asa merasa dihargai.

Tak disangka, bangunan berbentuk kubus yang dijadikan tempat penyambutan seketika roboh pada suatu malam yang hujan. Tidak ada yang berani mendirikan kembali bangunan di sekitar pohon keranji itu meski untuk menyambut Suradal. Kata nenek Wak Amad, bangunan itu sengaja dirobohkan oleh Suradal karena menurut orang-orang ia sudah bosan disambut setiap kali datang. Meski, kenyataannya penyambutan itu hanya dilakukan setiap malam Selasa.

Setahun yang lalu, Masnan juga mengalami hal yang paling menyedihkan sepanjang hidup. Ia tidak kencing sebagaimana yang dilakukan Wak Amad di area pohon itu. Masnan hanya memetik daun keranji yang sudah berwarna kuning. Menurut pikirannya, daun itu akan gugur juga makanya ia terlebih dahulu mengambilnya. Seminggu sesudah itu, istrinya yang hamil tiba-tiba kempis perutnya. Tentu, Masnan kebingungan, bagaimana mungkin orang hamil tiba-tiba hilang anak yang dikandungnya.

Ia bertanya kepada dukun, tetapi bukan Mak Mar. Katanya, kehilangan janin dalam perut istrinya disebabkan oleh ulah Masnan yang memetik daun setangkai. Sesudah jawaban itu, Masnan menangis berhari-hari. Sedang istrinya tidak percaya bahwa bayi yang dikandungnya tiba-tiba raib seketika. Jadilah mereka keluarga yang sama-sama mengurung diri dalam rumah dan tidak keluar sampai berbulan-bulan.

Tidak cukup sampai di situ, istri Masnan juga frustrasi dan tidak mau makan berminggu-minggu. Itulah yang mengantarkan istrinya berpulang. Masnan ditinggal sendirian, ditinggal istri dan bayi raib hanya sebab daun yang kuning. Masnan mengutuk dirinya, hingga sekarang ia menjadi orang gila yang duduk di pasar Bunagung sepanjang pagi dan siang. Orang-orang dengan mudah mengenali Masnan yang gila hanya karena selembar daun keranji.

***

Tetap saja, bibir Wak Amad tidak bisa berbicara. Nyeri di bagian bawah tubuhnya sudah tidak bisa tertahan. Suaranya hanya erangan-erangan yang tidak jelas dan membuat mata Sapeya membengkak. Wak Amad seperti ingin menceritakan pada Sapeya tentang asal pohon itu yang sebetulnya. Selama perkawinan mereka, tidak sekali pun Wak Amad bercerita perihal pohon keranji. Padahal, setiap menjelang tidur biasanya Wak Amad bercerita banyak hal. Mulai dari kuda Jokotole yang bisa terbang sampai perahu Dampoawang yang juga mengawang-awang.

Sapeya semakin diserang perih, ia tatap mata Wak Amad yang sudah sembab. Ia tidak menemukan hari-hari cerah yang biasa memancar dari sana. Wak Amad kehilangan hari-harinya. Sapeya sekali lagi berhasrat untuk mendatangi Mak Mar dan menanyakan bagaimana kelanjutan penyakit suaminya. Ia berharap Mak Mar bisa memberikan saran yang bisa membuat hatinya menjadi lega dan suaminya kembali terjaga.

Bagiamana pun, Sapeya sudah tidak tahan dengan ranjang yang ditempati Wak Amad dan terasa bau pesing. Padahal, Wak Amad tidak perah kencing, ia hanya tergolek lemas di ranjang itu berhari-hari. Entah, Sapeya juga tidak tahu darimana bau pesing itu berasal. Yang jelas, itu bukan dari kencing suaminya. Seprai berwarna jingga di ranjang itu pula semakin kusut.

Mak Mar yang didatangi Sapeya duduk tenang di ruangan ditemani teplok di dinding. Malam meninggi sampai wuwungan rumahnya. Ia berharap Mak Mar sebisa mungkin mengerahkan seluruh kemampuannya menyelasaikan kemalangan ini. Sapeya mendudukkan pantatnya di atas ubin. Sebagaimana biasa, ia merapal mantra dan memejamkan mata. Sepuluh menit merapal banyak hal, ia berteriak.

“Itu Suradal! Itu Suradal!”

Sapeya terkejut sambil memandangi Mak Mar yang kembali terdiam. Tak disangka, Mak Mar melompat ke dada Sapeya. Sambil berucap bahwa Suradal berada di situ, maka tangan Mak Mar mencengkeram dada Sapeya. Di kepala Sapeya tidak ada apa. Ia hanya pasrah dan membayangkan suaminya yang tergolek lemah. Sementara, telpok di dinding apinya meliuk-liuk nyaris mati, umpama nasib Wak Amad setelah kencing berdiri.

Yogyakarta, 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan