Seri “Wali Pitu” di Bali (6): Sang Penunggang Kuda

4,692 kali dibaca

Ada satu pemandangan ganjil di Bali, Pulau Dewata yang dipenuhi patung-patung para dewa. Dari tepi jalan yang menyisir pantai, di Desa Kusamba, Kecamatan Dawah, Kabupaten Klungkung, terlihat berdiri dengan anggun sebuah patung. Bukan patung dewa, tapi justru lelaki bersurban dan berjubah yang sedang menunggang kuda. Bersurban hijau, lelaki itu berjubah putih dan dengan gagah menunggang seekor kuda yang juga berwarna putih.

Ya, itulah patung Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid. Tentu Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid bukan orang sembarangan hingga sosoknya dibuat patung oleh masyarakat setempat, juga kudanya.

Advertisements

Berdasarkan silsilah keluarga, Sang Habib adalah keturunan ke-36 dari Nabi Muhammad Saw. Berikut adalah nasabnya: Habib Ali bin Abubakar bin Umar bin Al-Hamid bin Syaikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin Abdullah bin Abdurrohman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Muqoddam bin Ali Bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khola’ Ghosam bin Alwi Ats-Tsani bin Muhammad Shohibus Saumiah bin Alwi Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uroidhi bin Ja’far Ash-Shoddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain As-Sabith bin (Ali bin Abi Tholib + Fathimah Az-Zahro binti Nabi Muhammad Saw).

Tapi bukan cuma karena nasab sang penunggang kuda ini diberi penghormatan tinggi hingga sosoknya dibuat patung. Sang Habib, yang pada abad ke-17 diketahui tinggal di Desa Kusamba itu, adalah seorang pendakwah. Ia dikenal alim, memiliki ilmu yang tinggi, dan jujur atau dapat dipercaya. Itulah yang kemudian membuat Raja Klungkung, Dalem I Dewa Agung Jambe jatuh hati.

Saat itu, berpusat di Gelgel, Klungkung menjadi kerajaan terbesar di Pulau Bali, yang membawahi kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Dewata ini. Di masa hidup Sang Habib, Kerajaan Klungkung dipimpin Dalem I Dewa Agung Jambe. Mengetahui Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid sebagai orang yang pandai, Raja Klungkung meminta Sang Habib untuk menjadi guru dan juru bahasa Melayu di kerajaannya. Itu terjadi antara tahun 1790 hingga 1809. Tak hanya itu, karena memiliki kedekatan dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sulawesi, Sang Habib juga diutus sebagai duta dagang antara Kerajaan Klungkung dengan raja-raja di Sulawesi. Jadilah, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid menjadi orang kepercayaan Raja Klungkung.

Namun, meskipun telah menjadi orang istana, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid tetap tinggal di Desa Kusamba, yang jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari istana. Tujuannya, agar Sang Habib tetap bisa dekat masyarakat desa, tetap bisa berdakwah untuk menyebarkan ajaran Islam di lingkungan terdekatnya. Di lingkungan istana pun, di sela-sela kesibukannya sebagai orang kepercayaan raja, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid juga dengan tekun mendakwahkan ajaran yang dibawanya.

Praktis, untuk bolak-balik dari rumahnya ke istana dan sebaliknya, jarak sejauh 20 kilometer itu ditempuh dengan jalan kaki. Mengetahui perjuangan orang kepercayaannya yang saban hari harus jalan kaki itu, Raja Klungkung kemudian memberi hadiah seekor kuda putih. Kepada Sang Habib, Raja bertitah agar kuda itu ditunggangi jika hendak bertugas ke istana. Dengan demikian, saat pergi-pulang dari rumahnya ke istana, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid mulai menunggang kuda, tidak lagi berjalan kaki.

Rupanya, kedekatan Raja dengan Sang Habib menimbulkan kecemburuan dan keirian di kalangan pejabat-pejabat istana. Suatu hari, saat pulang dari istana menuju rumahnya dengan menunggang kuda, Sang Habib berpapasan dengan salah seorang putra keluarga kerajaan yang bergelar Mangkubumi. Putra raja ini sedang berjalan bersama-sama dengan temannya. Sang Habib yang sedang menunggang kuda ditanya tentang kuda siapa yang dinaiki. Sang Habib kemudian memberi penjelasan bahwa dirinya bekerja di istana sebagai guru bahasa Sang Raja. Adpun, kuda yang dinaikinya adalah pemberian Sang Raja.

Namun, penjelasan itu tidak bisa diterima oleh Mangkubumi. Anak raja ini memaksa Sang Habib untuk turun dari kudanya dan bersujud memberi hormat layaknya kawula kepada raja. Jika tidak, maka ia akan dihukum. Namun, Sang Habib tidak menjawabnya dan langsung saja pergi meninggalkan mereka menuju ke rumahnya di Kusamba. Keesokan harinya, peristiwa itu dilaporkan kepada Sang Raja. Ia juga bermaksud mengembalikan kudanya lantaran menimbulkan kecemburuan. Namun, Sang Raja menolak dan tetap meminta Sang Habib menunggangi kudanya. Raja menyarankan kepadanya supaya melewati jalur lain yang aman.

Pembunuhan Sang Habib

Rupanya, perlakuan istimewa Raja kepada Sang Habib makin mengobarkan kecemburuan dan keirian di lingkungan istana, termasuk Patih Kerajaan Klungkung. Sang Patih juga waswas kedudukannya bisa terancam oleh kehadiran sosok Sang Habib ini. Karena itu, Sang Patih berencana melenyapkan nyawa Sang Habib. Ia kemudian mengumpulkan orang dan mengupah pembunuh bayaran.

Suatu hari, saat Sang Habib keluar dari kompleks istana menuju kediamannya, Sang Patih segera menyuruh anak buahnya untuk membuntuti guna membunuh Sang Habib. Benar saja, saat di tengah jalan, Sang Habib yang sedang menaiki kuda dicegat oleh orang-orang suruhan Sang Patih. Terjadilah pertarungan yang tidak imbang. Akibatnya, Sang Habib meninggal setelah dikeroyok oleh para pembunuh bayaran tersebut.

Tak lama kemudian, jenazah Habib ditemukan oleh penduduk sekitar dan akhirnya dimakamkan di Desa Kusamba. Hari itu keajaiban terjadi. Pada malam hari setelah pembunuhan tersebut,  makam Sang Habib tiba-tiba mengeluarkan bola api yang membubung ke angkasa. Semburan api tersebut kemudian bergulung-gulung, terbang ke banyak arah, untuk mengejar para pembunuh. Menurut cerita-cerita lisan warga setempat, tempat-tempat persembunyian para pembunuh tak ada yang luput dari kejaran api yang menyembur dari makam Sang Habib. Para pembunuh satu demi satu mati hangus terbakar. Tak tersisa.

Kini, jejak Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid adalah berupa makam keramat dengan ikon patung lelaki bersurban dan berjubah menunggang kuda. Makam ini terletak tidak jauh dari selat yang menghubungkan Klungkung dengan Pulau Nusa Penida. Desa Kusamba berada di jalan raya antara Klungkung dan Karangasem (Amlapura), dekat dengan Goalawah. Makam ini dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik umat Islam maupun Hindu. Selain makam keramat tersebut, jejak keberadaan Sang Habib adalah Desa Kusamba, salah satu kampung muslim terbesar di Bali.

Inilah seri terakhir dari Seri “Wali Pitu” di Bali.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan