Kitab Serat Puspa

Serat Puspa, Manuskrip Tauhid dari Sumenep

1,196 kali dibaca

Konon, Serat Puspa ditulis oleh Al-Imam al-Ajal al-Zahid Abu-l-laisy Muhammad as-Samarqandi. Menelusuri biografinya agak sulit karena tidak tertulis atau terdokumentasi di dalam kitab Serat Puspa ini.

Namun, menurut penuturan Kiai Sutra’, al-Ajal al-Zahid merupakan salah satu tokoh tasawuf penganut Imam al-Ghazali. Di bidang tauhid, ia penganut Imam Asy’ari.

Advertisements

Yang kita tahu, manuskrip ini ditulis ulang oleh Syekh Muhammad. Syekh Muhammad merupakan tokoh langgar (Kajih, istilah lain dikenal dengan tokoh masyarakat) dari Desa Poreh, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Selain itu, Syekh Muhammad menjadi salah satu pendiri samman di desanya. Di masanya, samman adalah kompolan unggulan masyarakat Poreh.

Tidak ada informasi yang pasti tentang kelahirannya. Cuma, menurut pemegang kitab Serat Puspa, Syekh Muhammad lahir di Desa Poreh sekitar abad ke-18. Namun, sampai saat detik ini tidak tersedia data valid untuk mengungkap profilnya. Menurut sebagian informasi, semasa hidup, Syekh Muhammad menekuni bidang tauhid dan tasawuf.

Berdasarkan keterangan KH Sutra’, Serat Puspa merupakan kitab unggulan masyarakat Poreh. Kitab ini sebenarnya pernah menjadi rebutan di antara saudara Kiai Sutra’. Akan tetapi, setelah melalui proses panjang, KH Sutra’ yang “diijazahkan” langsung oleh H Hasyim Islam untuk mewarisi kitab ini.

H Hasyim Islam merupakan tokoh masyarakat yang tidak mempunyai keturunan. Ia kemudian mengasuh dua anak saudaranya yang bernama Syam dan Muna. Suatu saat, Kiai Sutra’ tertarik dan kemudian meminang Muna. Pinangan itu dikabulkan H Hasyim, dan dilangsungkan pernikahan antara Kiai Sutra’ dengan Muna. Itu terjadi pada 1840-an.

Pasangan Kiai Sutra’-Muna ini kemudian memiliki dua putra, Sutahir dan Sutra’. Namun, yang berumur panjang hanyalah Sutahir.

Kitab ini berada di tangan H Hasyim Islam sekitar 100 tahun. Dengan rincian matematis, yang pertama dilihat dari segi umur, H Hasyim Islam berusia sekitar 125 tahun. Kedua dilihat dari pasca meninggalnya H Hasyim Islam, berkisar 35 tahunan yang lalu. Sementara sebelum diwariskan kepada Kiai Sutra’, ada tiga generasi, namun hanya pada generasi ketiga diketahui keberadaannya, yakni saat dipegang oleh H Hasyim Islam.

Pada generasi pertama dan kedua, Kiai Sutra’ tidak mengetahui namanya, karena tidak ada keturunan yang dapat dijadikan informan. Akan tetapi, menurut perkiraannya, antara generasi pertama dan kedua berkisar 250 tahunan. Bentuk utuh kitab ini, menurut Kiai Sutra’, ada pada generasi pertama dan kedua.

Ketidaklengkapan kitab ini diketahui setelah Kiai Sutra’ pindah dari Dusun Sarpereng ke Dusun Laok Songai. Kitab ini ditemukan di lemari yang rusak. Sebenarnya kitab kuno peninggalan H  Hasyim Islam cukup banyak. Namun, saat pindah rumah, banyak barang antik yang hilang, bahkan kitabnya banyak yang tak terselamatkan.

Dalam bentuk utuhnya, Serat Puspa terdiri dari sekitar 300-an lembar. Hanya tersisa 14 lembar. Ketidaklengkapan ini bukan karena kelalaian, akan tetapi secara alamiah. Banyak kertasnya yang dimakan rayap.

Kitab ini ditulis dalam bentuk prosa menggunakan bahasa Arab. Sebagai prosa, Serat Puspa ditulis dalam gaya bahasa sederhana, meskipun materi yang dibahas cukup berat. Pada bagian awal, misalnya, kitab ini dimulai dengan pertanyaan tentang hakikat iman “مالايمان”. Dimulai dengan lontaran pertanyaan “Bagaimana beriman kepada qadadan qadar Allah.

Ulasan dari pertanyaan tentang hakikat keimanan merupakan persoalan yang mendasar, namun mengandung faedah yang luar biasa. Bahkan di dalam kitab tersebut juga dikuatkan dari berbagai hadis Nabi sebagai landasan utama sebagai pendukung pendapatnya.

Misalnya, dalam soal hakikat keimanan. Abul Lais As-Samarqandi menyelipkan hadis yang di riwayatkan oleh Imam Muslim Sayyidina Umar dari Hadis Jibril. Sedangkan, dari jalur Bukhari melalui Abu Hurairoh, salah satu sahabat Nabi yang paling banyak hafal hadis. Juga dengan matan yang sama. Dengan arti, “Saya beriman kepada Allah, malaikat, Rasul-rasulnya, hari Ba’ats”; dengan makna saya membenarkan adanya Allah, Sifat-sifat-Nya yang wajib, dan dengan adanya malaikat bahwa para malaikat adalah termasuk hamba yang dimuliakan oleh Allah.

Lebih lanjut, di dalam kitab tersebut juga disuguhkan beberapa komentar ulama. Bahwa sebagian ulama berkata, “Seseorang yang belajar mulai waktu kecil tentang hakikat keimanan, maka akan mendapatkan keimanan yang sempurna.”

Di dalam Serat Puspa juga terdapat beberapa pendapat ulama yang menjadi perbandingan dari pendapat yang pertama. Misalnya, ada rujukan, “Bahwa seseorang yang menyatakan keimanan ketika maut menghampirinya, di mana pada waktu itu manusia sudah diperlihatkan tempatnya (neraka atau surga), maka imannya tidak akan terima.”

Yang menarik, di dalam kitab ini juga terdapat kutipan Naskah Macopat Maduratna. Pada halaman pertama diawali dengan kata-kata “الم; “setiap ayat al-Quran yang didahului oleh huruf hijaiyah, maka mayoritas ulama tafsir menyatakan dengan kalimat “الله اعلم بمراده”, Allah yang mengetahui maksudnya.

Pernyataan ini menunjukkan kehati-hatian ulama memberi penafsiran terhadap ayat yang masih mutashabihat. Atau, dengan bahasa lain untuk menghindari kekeliruan yang fatal dalam menafsirkan ayat.

Meskipun, ada juga sebagian ulama tafsir yang memberanikan diri untuk menafsiri kalimat huruf tersebut. Tapi kami lebih sepakat terhadap pendapat mayoritas ulama. Dengan beberapa alasan: yang pertama, karena nihilnya keilmuan, karena kurangnya mengasah hati dengan zikir, akal dengan berpikir.

Bagaimana dengan pengawalan kalimat huruf ”الم” di dalam kitab ini, tentunya ini adalah sebuah ambigu bagi kita, terutama di kalangan awam untuk memberikan tafsir. Sementara, bagi ulama khas, mereka bisa menyelami rahasia makna yang terkandung di dalamnya.

Ini hanya sebagian isi dari kitab Serat Puspa, sedangkan pada lembaran-lembaran berikutnya tidak dapat dipahaminya karena berbagai faktor. Di antaranya, karena lusuhnya kitab, tidak lengkapnya kurasan kitab.

Namun, intinya ini merupakan kitab tauhid yang menjadi pegangan kaum muslimin dalam menyelamatkan hatinya dari kekufuran. Di kitab ini ada sebagian perkataan ulama yang dikutip seperti ini: “Bahwa belajar tentang keimana merupakan awal dari semua pembelajaran yang harus diketahui.”

Hanya sebatas ini saja yang penulis temukan di kitab Serat Puspa, disebabkan banyaknya lembaran yang tidak ada.

Kitab Serat Puspa ini kini menjadi “harta pusaka” KH Sutra. Beliau termasuk orang yang dikenal saleh, selalu gotong royong, dan pemurah. Bahkan, di desanya beliau dijadikan rujukan permasalahan hukum, juga perobatan. Doanya dikenal mustajab (mantih do’anah).

Pemilik kitab ini bukan orang sembarangan. Meskipun beliau layaknya seperti orang-orang biasa, akan tetapi dibalik itu ada mutiara yang terpendam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan