Sepucuk Surat Al

2,611 kali dibaca

Tepat di pojok perempatan samping musala. Sebuah rumah megah mentereng berdiri. Halamannya luas, penuh dengan tanaman dan bunga. Lengkap dengan rumput hijau yang tumbuh rata di sekitarnya. Bagai sebuah karpet berwarna hijau indah. Al yang kerap kali lewat di depannya tak pernah melewatkan pemandangan itu. Terlebih lagi pada jendela paling pojok atas rumah itu. Dia menanti bunganya yang mekar membuka jendela. Sampai dia hafal kapan saja waktu dia membukanya. Dan saat itu tiba dia akan mencari-cari alasan untuk lewat depan rumahnya.

Tapi ada satu waktu. Saat Asya tak menampakkan wajahnya, tak membuka jendelanya. Namun Al merasa itu adalah saat semua keindahannya muncul. Bagai baskara saat pertama muncul di ujung timur, dan mega yang akan selurup di ufuk barat. Bahkan dengan mata telanjang pun mampu menikmatinya. Itu adalah saat antara dua salat yang paling dekat. Akan ada gorden di jendelanya. Sebuah lampu pijar akan menyala. Daun jendelanya di tutup rapat. Namun bias bayangnya akan lekat pada sang jendela. Setelah itu lirih nada akan terdengar. Melafalkan bait-bait sakral ciptaan maestro kehidupan. Setelah itu dia akan selalu melangkah berjamaah saat adzan selanjutnya terdengar.

Advertisements

Alaudin dan Mojin yang telah selesai menutup kitabnya akan merebahkan badan di serambi. Kadang mereka hanya duduk menanti jamaah. Dan ketika takmir telah memukul beduk, itu adalah saat yang Al tunggu. Sahabatnya Mojin yang sangat mafhum akan hal itu selalu saja menyindir Al yang akan kabur saat sayup-sayup sosok Asya terlihat dari kejauhan. “Al, kali ini jangan kabur.”

Pemuda itu menatap Mojin penuh makna, serta sedikit menggelengkan kepalanya. Dia selalu saja kabur saat wanita pujaannya datang. Tanpa tahu bahwa dia selalu dipertanyakan tingkahnya kepada sahabatnya. Dan saat mereka bertemu tanpa kesengajaan, bibirnya seolah sangat kering untuk dibuat bicara. Otaknya akan kusut untuk hanya memulai sebuah pembahasan, yang pada jauh-jauh hari selalu Al susun di sebuah buku catatan. Membayangkan jika dirinya memang bisa berbincang lepas dengan sang bunga.

“Sudah kuberitahu, kan? Dia akan pergi seminggu lagi. Tak ada waktu, kau tak ingin ungkapkan rasamu atau hanya sekadar berbicara padanya?”

“Tak ada orang yang lebih tahu aku ketimbang dirimu kan?”

“Lalu buat apa catatan yang kau susun tiap hari, bila pada saat terakhir pun tak kau sampaikan padanya?”

“Biarlah.”

“Bila memang jodoh kami akan dipersatukan, entah di kenyataan atau dalam impian,” serobot Monji menirukan kata-kata Al yang selalu diulang tiap waktu hingga membuatnya geram.

Namun memang tak salah. Hanya ada dua alasan kenapa Al selalu membawa buku catatan kecilnya tiap waktu. Pertama adalah karena dia pelupa dan akan mencatat hal-hal yang rawan dilupakanya. Dan yang kedua adalah adalah pertanyaan-pertanyaan yang disusun untuk bertemu Asya, adalah salah satu hal rawan yang sering dia lupakan.

Semakin dekat hari keberangkatan sang dambatan, semakin sering juga Al gusar. Degupnya seringkali naik turun tak terduga. Di kepalanya terbayang jarak yang tak pernah dia bayangkan. Bahkan dengan teknologi yang semakin canggih pun dia tak pernah membayangkan. Karena hanya dengan bayangannya yang melekat di jendela dengan disorot lampu pijar, jantungnya bisa merekah. Langkahnya menjawab panggilan Tuhan ke musala yang membuatnya tenang. Dan lirih nada saat berbicara dengan siapa pun membuatnya setia menunggu di musala.

Mungkin alasannya ke musala tak seikhlas alasan orang lain. Tapi Al tak pernah peduli. Bukankah yang menabur benih di dadanya adalah sang pencipta, oleh karena itu yang bertanggung jawab seharusnya sama. Bukankah yang menyuruh untuk tidak memikirkan wujudnya adalah Dia. Jadi apa salah juga bila mengagumi ciptaannya. Setidaknya Asya menjadi salah satu motivasi kenapa Al tak pernah absen memaknai kitab gundulnya di musala.

“Al, woi Al. Alauddin Hasmi!”

“Eh iya, kenapa?” tepukan Monji mengakhiri dialog imajinasi Al dengan dirinya.

“Sudah kepikiran ide saat mau ketemu Asya?

“Sudah ini.”

Monji secepat kilat menyambar buku catatan itu. Al berusaha menggapainya kembali. Tapi percuma saja, dia akan selalu kalah tinggi dan kuat dengan anak tukang kebun itu. Semua yang ada di sana telah dibaca Monji. Sekejap kemudian dikembalikan catatan itu pada sang pemilik. Buru-buru Al mencari halamannya. Jemarinya cepat melipat lembar demi lembar kertas putih itu. Lalu saat telah ditemukan, dia robek dua halaman itu seketika. Dia genggam menjadi gumpalan dan melemparnya ke sungai. Sekejap kertas itu lebur bersama aliran air, dan hanyut menuju hilir bersama gelombang.

“Eh, kenapa kau buang? Sayang banget.”

“Biar. Mau ditaruh mana mukaku saat bertemu Asya dan melayangkan kata-kata seperti itu.”

“Menurutku itu sudah bagus. Buat saja seperti biasa kau lakukan di pikiranmu.”

“Hah?.”

“Buat seolah kau memang berbicara dengan Asya.”

“Soal apa?” umpannya balik.

“Soal semua yang kau pendam.”

Monji tahu keresahan sahabatnya itu. Beberapa waktu lalu dia melihat karibnya itu menuju makam di pojok kuburan. Monji pernah diberitahu bahwa salah satu wasiat buyutnya bila sedang susah agar meminta petunjuk. Pertama dengan salat malam. Kedua dengan nyekar ke makam tersebut. Dan setelah itu kumpulan kata entah dari mana selesai disusun Al pada sebuah kertas bekas undangan. Entah siap tak siap dia akan menemui Asya dan memberikannya. Tinggal menunggu waktu.

Esok hari Al kebingungan. Kertasnya yang belum sempat disalin lenyap dari depan meja televisi. Seisi rumah sudah diobrak-abrik dan tak ada tanda menemukan hal yang dicarinya.

“Lah, kamu kenapa Le?” ibunya bertanya saat pemuda itu termenung memegangi kepala.

“Ibu tahu kertas yang saya taruh di sini kemarin?”

“Oh itu buat bungkus lauk ke sawah tadi pagi.”

“Terus sekarang ke mana?”

“Ya sudah dibuang.”

Al hanya tersenyum dengan wajah pasi. Kembali kelapanya dipegangi di kedua sisi.

Sorenya dia mengawali menuju musala. Wajahnya tampak semakin tak bergairah. Bahkan sampai tak lagi memandang rumah Asya dan jendela pojok atasnya. Meskipun dari balik gorden ada sepasang mata yang memperhatikan. Di sana Al bertemu dengan Pak Sigit, orang yang mengajar ngaji. Pak Sigit bertanya ada apa gerangan. “Memang selalu ada ya pak, cobaan buat orang yang berjuang.”

Pak Sigit tertawa sejadinya ketika menebak apa yang terjadi. Dan tampaknya tebakan itu tak terlalu meleset. Pak Sigit menyarakannya untuk tirakat. Bila memang itu masih belum cukup, cobalah malamnya kau begadang. Bacalah tiap doa yang kau tahu, pintu langit terbuka lebar saat malam. Karena doa tak terlalu terjejal dan para malaikat tak pusing untuk mengurutkannya. Ucap gurunya itu sambil berkelakar.

Tersisa tiga hari hingga Asya berangkat ke perantauan ilmunya. Al yang tak punya cara lain mencoba saran dari Pak Sigit. Tiga hari dia berpuasa, tiga malam pula tak tidur dan hanya berdoa. Di malam terakhir entah mendapat wangsit dari mana, empat lembar curahan hatinya bisa tersusun rabi di atas kertas HVS. Tapi sebelum subuh dia baru ingat. Bagaimana cara dia menyerahkannya. Otaknya kembali meledak, matanya tak kuat menopang kelopaknya. Tangannya yang menggenggam kertas terlepas, jatuh di atas obat nyamuk yang menyala.

Mojin kebetulan ingin meminjam buku di pagi hari. Ibu Al mempersilakan langsung ke kamar. Di ujung hidungnya tercium bau hangus. Cepat-cepat dia mengambil tumpukan kertas yang terbakar dan memadamkannya. Hanya sepucuk tulisan yang dapat diselamatkan. Lalu dilihatnya Al dengan kantung matanya yang hampir menghitam “Dasar bodoh, kau pasti tak tidur untuk ini.”

Sepucuk surat mendarat di bawah pintu kamar Asya pagi itu juga. Di pojok amplopnya tertulis namanya dan sedikit pesan, agar tak membukanya kecuali sudah mendarat di tujuan. Gadis itu menyimpannya dengan baik, seperti rasa penasarannya. Saat pesawat telah mendarat, sebelum taksi jemputannya datang, dia membuka isi surat misterius itu.

“Teruntuk Asya, apa kamu tahu bagaimana cinta ini ada? Itu seperti bunga yang tumbuh di sela retakan gedung beton. Hanya Tuhan yang tahu kapan dan bagaimana benihnya ditebarkan, tumbuh, dan merekah.”

Di pojok kiri bawah ada nama seseorang yang lewat rumahnya tiap sore menuju musala. Yang sekejap akan berhenti dan memandang ke jendelanya. Dan dia akan mengintipnya dari balik gorden dengan senyum merekah.

Selang beberapa hari sebuah surat datang ke rumah Al. Dari perangkonya tak nampak bahwa itu perangko lokal. Al yang murung sejak suratnya hangus dilalap bara obat nyamuk seakan tak punya daya. Mojin sampai lelah untuk menghiburnya. Ibu membawa beberapa cemilan ke kamar bersama surat itu. Al tampak tak percaya dari siapa surat itu berasal. Dibukanya dengan tergesa.

“Terima kasih atas suratmu. Maaf bila lama membalas. Kantor pos lumayan jauh dari asrama. Bolehkah bila berkenan kita berbalas surat lewat email. Kutunggu kembali dikotak masukku. Asya.” Beserta sebuah alamat surel yang tertulis di pojok kiri bawah.

Dia tak mengerti apa maksud surat itu. Sampai dia menatap Mojin dengan wajah yang cukup payah.

“Terima kasih sama bapak, kau berutang sebungkus rokok padanya.”

Sekejap dia lupa bahwa ayah Mojin biasa melewati kamar pujaannya untuk mengambil perkakas kebun di loteng. Suatu kali Al pernah mendengar hal itu darinya. Sukurnya Al tak terkira hingga peluh di pojok matanya yang hampir kering menetes tanpa sadar. Menetes bahagia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan