Sepasang Mata Gagak

1,868 kali dibaca

Sorot mata yang menuntut keadilan memang selalu menggelisahkan. Dul Karim telah menghabiskan dua linting keretek, sementara gagak berbulu sehitam sulang itu masih bertengger di atas dahan pohon akasia. Tatapannya tajam dan menusuk, seolah-olah hendak menelanjangi dosa besar Dul Karim, mengabarkan petaka, dan meminta pertanggungjawaban.

***

Advertisements

Udara terasa pekat. Awan seputih kapas dan langit bak gelaran tirai biru. Dari sela rimbun daun akasia masih tampak puncak Gunung Suroloyo —lebih tepat dikatakan bukit, serupa nasi yang dicetak menggunakan mangkuk agar berbentuk bulat sempurna— memunggungi langit.

Dul Karim terus mengayuh sepeda. Bulir keringat sebesar biji jagung mengaliri pelipisnya. Baru beberapa kali kayuhan, ia harus menghentikan laju sepedanya. Sebab, runcingnya bebatuan kapur bukan tidak mungkin akan menggelincirkan Dul Karim berikut sepedanya.

Sejatinya, Dul Karim telah mengangguk setuju. Diresmikan dengan tanda tangannya di atas meterai sepuluh ribu. Ia sudah membaca seluruh perjanjian yang tertulis sebelum ujung pena di tangannya menggores tinta di atas kertas putih. Itu artinya Dul Karim berhak atas cek seratus juta sebagai imbalan keikutsertaannya dalam penandatanganan izin tambang. Tetapi, Dul Karim sama sekali tidak menyangka bila kebahagiaan mengantongi uang sebanyak itu harus dibayar mahal dengan kondisi yang dialami saat ini.

Sesungguhnya, Dul Karim masih tidak percaya bisa memegang uang seratus juta. Jumlah yang tiada disangka-sangka sebelumnya. Dalam benaknya, ia tidak perlu menanam padi dan jagung beberapa tahun ke depan untuk memenuhi kebutuhan. Sebab, uang itu akan mencukupi semuanya, demikian pikir Dul Karim.

“Belikan motor, juga, ya, Pak. Orang-orang beli motor. Murti malu kalau ke mana-mana cuma pakai sepeda,” rengek anak pertamanya yang sebentar lagi merayakan kelulusan SMK. Telah lama ia mengidam-idamkan sepeda motor sebagaimana teman-temannya miliki. Maka, ketika mengetahui bapaknya menerima bonus atas izin lahan tambang yang cukup besar, Murti pun lekas-lekas mengutarakan keinginan itu. Maka, keesokan harinya sebuah motor matik tiba di rumah Dul Karim.

Dul Karim menghela napas begitu teringat kebahagiaannya kala itu —beberapa bulan sebelum akhirnya menyesali keputusannya. Tentu, tidak mungkin ia membeli sepeda motor baru, kalau bukan tak sampai hati mendengar Sumi, istrinya, ikut-ikutan membujuk rayu.

“Semua tetangga punya motor dua sampai tiga. Apa Bapak mau jadi bahan gunjingan karena kita cuma beli motor seken?”

Dul Karim pun goyah, tak enak hati, dan akhirnya membelanjakan uangnya untuk membeli motor baru. Tetapi, dadanya serupa dijejali gabus basah ketika mengingat-ingat betapa jumlah uang hanyalah bilangan angka yang terdengar besar, namun sejatinya ia serupa sabun batangan yang akan habis bila digosok terus-menerus.

***

Begitu siang memberikan terik, suhu udara panas, dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan. Dul Karim berhenti pada sebuah gubuk beratap ijuk di dekat penambangan kapur. Di gubuk itulah, Dul Karim biasa melepas penat. Ia gegas menyalakan kereteknya. Asap putih pekat lekas-lekas membumbung, bergoyang-goyang, sebelum akhirnya lenyap ditiup angin.

Tiba-tiba seekor burung gagak hitam mengejutkan Dul Karim ketika dirinya sedang menengadah memperhatikan cuaca. Gagak itu tak lekas berkoak, hanya bertengger di atas dahan akasia. Entah bagaimana, Dul Karim merasa gagak itu sedang menatapnya tajam.

Kemunculan burung gagak tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu. Tidak pula mesti dihubungkan dengan firasat kematian. Sebab, hampir setiap hari lokasi penambangan kapur tempat Dul Karim bekerja didatangi kawanan burung gagak.

Dul Karim lekas mengalihkan perhatian pada sebatang keretek yang diapit kedua jarinya. Namun, belum sempat Dul Karim menjentikkan abu pada ujung keretek itu, seseorang menghampiri.

Listen to me, Dul,” ucap pria jangkung berkulit pucat sembari menepuk pundak Dul Karim.

Tanpa menoleh, dari bahasanya sudah terbaca pasti suara Ernest si Londo kesasar itu. “Kata Simbah, Wong Jawa aja lali jawane,” lanjut Ernest seakan-akan mengingkari lidahnya.

Dia berbicara dalam Bahasa Jawa dengan logat Melayu dan beraksen British: asing. Dul Karim menyebutnya ‘Londo’ walau kenyataannya Ernest bukanlah berasal dari Belanda seperti yang dipahami warga, tetapi kelahiran Inggris yang kebetulan pernah mencari peruntungan di negeri seberang: Malaysia.

Kegelisahan Dul Karim makin bercabang-cabang. Bukan, bukan takut segala wujud dedemit yang konon menghuni Gunung Suroloyo, atau alangkah mengerikannya melihat kawanan burung gagak yang berkoak-koak sepanjang hari mengawaninya bekerja. Namun, bagaimana jika mereka benar-benar murka, menuntut keadilan, dan memintai pertanggungjawaban?

Percaya tidak percaya, Gunung Suroloyo berpenghuni lelembut yang senantiasa menjaga warga desa dari bala. Pernah suatu kali seorang maling sapi tiba-tiba tidak bisa melihat jalan usai melintasi Gunung Suroloyo. Kontan ia tertangkap sebab tak bisa melarikan diri.

“Dengan gunung itu, keamanan desa kita terjamin sejak dulu. Banyak orang luar yang tidak berani macam-macam!” Demikian cerita Bapak Dul Karim ketika ia masih kecil.

Sebongkah batu besar merah membara. Apinya yang beringas membakar langit. Bongkahan lain merobohkan rumah-rumah di lereng gunung, lalu melemparkannya ke udara. Bayangan menyeramkan itu sejatinya hanya lahir dari rahim cerita Dul Karim semasa kecilnya. Namun, apa jadinya jika bapak Dul Karim mengetahui kondisi Gunung Suroloyo tak lagi permai seperti dahulu? Dul Karim menelan ludah, pahit sekali.

***

Raungan truk melewati jalanan berbatu pula licin, berdegam-degam seolah kiamat hendak datang lebih awal. Dul Karim kembali menjentik abu yang menutupi bara di ujung rokoknya. Lalu, lintingan keretek yang tinggal seujung jari itu diisapnya dalam-dalam. Bak-bak truk itu sudah menantinya, seolah tak pernah merasa cukup walau selalu diisi setiap hari.

“Hanya dari menambanglah dapur bisa mengebul saban pagi! Tak mungkin mengandalkan hasil tani yang tidak seberapa itu,” ujar Dul Karim mencoba membela diri setelah beberapa saat. Ia merasa disudutkan. Bagaimana mungkin seorang pribumi malah dinasihati perihal kelaziman adab masyarakat Jawa oleh orang dari negeri yang senantiasa mengedepankan logika macam Ernest.

Walau telah berpindah kewarganegaraan, Ernest tetaplah hanya seorang pendatang. Kalau bukan Nurul mantan TKW sepuluh tahun itu yang memboyongnya usai menikah di negeri Jiran, manalah mungkin Ernest berkehendak datang jauh-jauh ke pedalaman yang masih terbelakang hanya untuk melihat lereng Suroloyo yang kian hari makin tergerus longsor karena ulah tangan-tangan jahil.

Namun, ia juga tidak dapat mengingkari bila akhir-akhir ini udara makin panas. Pagi tidak semestinya memberikan panas yang menyengat, tetapi lereng Suroloyo memang telah dipeluk udara yang membara sejak petambangan kapur dilakukan membabi buta. Tidak lain dan tidak bukan sebabnya adalah jati dan mahoni turut ditebang untuk mengeruk harta karun di bawahnya.

Pada pemikirannya yang lugu, Dul Karim tidak pernah mengira kapan petaka akan terjadi. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya dapur istrinya tetap mengepul. Pun, bocah berusia setahun anak keduanya itu tidak sekadar dikasih air tajin untuk menggantikan susu formula yang harganya setara satu sak biji jagung kering.

“Juragan bilang, tambang ini sudah legal. Ada tanda tangan kepala desa juga kok.” Dul Karim kembali berkilah. Walau sesungguhnya, ia juga tidak percaya tambang itu bersih dari praktik kongkalikong juragan dengan perangkat desa dan dinas terkait demi mendapat tanda tangan dan stempel perizinan.

Akhir Desember sengkarut di desanya dilahirkan bertubi-tubi. Air sumur lebih dulu mengering padahal kemarau baru saja bertandang. Udara dua kali lipat lebih panas dari biasanya. Betapa penyesalan turut bertalu-talu menghujam dada warga yang telah kehilangan mata pencaharian. Diperumit dengan sisa tabungan yang kian menipis karena tidak bisa mengelola uang dengan baik. Lereng Suroloyo yang loh jinawi mendadak jadi desa melarat.

Ihwal gambaran masa depan yang cerah, jumlah uang yang nol-nya berderet-deret, jaminan kehidupan sejahtera yang sudah jelas membayang di depan mata, semua tinggal penyesalan. Begitu banyak hal terjadi di luar rencana. Iming-iming uang segudang telah merusak nalar orang-orang yang semula hanya mengerti cangkul dan arit, lantas berambisi hidup sejahtera bak orang kaya. Padahal, sedikit banyak karut-marut di desanya juga berasal dari nafsu pribadi.

Dul Karim tahu, almarhum bapaknya acap menasihati sama persis seperti ucapan Ernest ketika baru tiba beberapa saat lalu: orang Jawa jangan lupa jawanya, begitu kira-kira maksudnya. Etika luhur masyarakat Jawa yang terkenal akan tata kramanya tidak hanya perihal menjaga perangai terhadap sesama manusia, tetapi juga mengistiadatkan adab adiluhung untuk menjalin hubungan dengan alam.

“Sekarang,” lontar Dul Karim sembari mengenakan kembali capilnya. Peluh masih membasah di kaus cokelat kumal bergambar wajah caleg dua tahun lalu. Giliran Ernest yang melihat gelagat aneh sepupu dari istrinya itu. “Climb up the mountain!” tukasnya dalam bahasa yang lebih ganjil dan yang pasti mengkhianati lidahnya sendiri.

Ernest yang sedari tadi berdiang menjaga api dalam tungku —yang biasa digunakan untuk menghangatkan air atau membakar singkong— malah meraih knop tutup panci daripada menanggapi ucapan Dul Karim. Asap menjelanak menerpa wajah keduanya. Para buruh tambang kapur sudah tidak menggunakan kompor gas lagi. Sebelumnya, ada satu buah tungku kompor gas lengkap dengan gas melon. Namun, begitu kondisi sudah tidak memungkinkan, mereka kembali memakai tungku dan kayu bakar sebagaimana dilakukannya dulu untuk sekadar menghangatkan nasi atau menjerang air agar bisa sedikit menghemat pengeluaran.

You want coffee?” tawar Ernest.

Dul Karim mengangguk. Gegas Ernest meracik dua sendok kopi dan sepucuk sendok gula. Air panas yang baru dijerang dituangkan ke dalam gelas seketika menguarkan aroma sedap. Dul Karim menghirup aroma kopi yang merangsek ke dalam rongga hidungnya. Sejenak ia dapat melupakan kegelisahannya. Kegelisahan yang ia rasakan usai mendapati kenyataan keadaan desanya yang karut-marut.

Ia mendongakkan kepala. Sang gagak masih bersetia di atas dahan akasia. Sesekali terbang berkitar-kitar, dan kembali ke tempat semula. Dul Karim merasa pergerakan gagak sedang memberinya isyarat. Namun, ia tak cukup lihai menerka-nerka sebuah isyarat.

“Kalau sudah seperti ini, apalagi yang kau harapkan? Limestone is like bone and water is blood,” ucap Ernest yang kontan membuat Dul Karim terlonjak kaget.

Dul Karim melipat dahi membentuk tiga garis vertikal. Memahami lawan bicaranya telah memberi sinyal atas ketidakmengertiannya, Ernest lekas-lekas menjelaskan dengan isyarat. “Itu batu,” lanjutnya sembari menunjuk rekahan batu kapur. “Batu sama dengan tulang, dan air adalah darah. Kalau kedua-duanya rusak, rusaklah badan kita sebagai manusia, yeah,” tukasnya dengan tersendat-sendat.

Air muka Dul Karim beringsut murung. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. Deru truk pengangkut batu kapur masih berdentum di tengah senyap antara Dul Karim dan Ernest. Keduanya masih dalam pikiran masing-masing.

Ia sejenak termangu. Obrolan tidak berlanjut. Ia tak hendak mendebat Londo itu, karena Dul Karim sendiri pun tahu, selantang apa pun ia mengelak, tidak dapat mengembalikan apa yang telah raib.

Kepak burung gagak itu tiba-tiba menyentak kesadaran Dul Karim. Ia bersicepat menghambur ke pelataran, dekat pohon akasia. Ia melihat gagak itu gelisah. Terbang rendah, berputar-putar, dan terkadang diam. Kemudian, gelisah lagi. Seperti sebuah isyarat agar Dul Karim mengikuti jejaknya. Belum tandas kopi yang dihidangkan padanya, Dul Karim gegas meraih sepeda dan mengayuhnya.

Terbang gagak itu membawa Dul Karim menembus belukar. Bebatuan kapur yang tajam pula runcing berkali-kali menggores telapak kakinya. Gagak itu membawanya menaiki gunung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tetapi medan penuh mara bahaya. Mungkin saja, gagak itu hendak pulang ke hutan lebat di puncak Suroloyo yang selama ini memberinya kebebasan: alam tanpa tepi, udara segar, dan tentu saja ulat dan belalang di balik rerumputan. Sangar koak gagak terus menuntunnya mencapai puncak.

Dul Karim mengayuh sepedanya kuat-kuat. Memecah kesunyian. Menyisir kekalutan di sepanjang setapak menuju puncak gunung. Jurang curam membentang. Selarik aliran air tertangkap ujung matanya.

Napasnya hampir habis. Sebotol air putih langsung tandas begitu saja. Dihunusnya tatapan pada setiap sisi. Ia terpana, matanya terkejap-kejap, dan mulutnya menganga. Tiada gelap gulita seperti dulu ketika ikut bapaknya mengejar maling sapi yang kabur ke arah gunung. Tersisa onggokan pohon-pohon jati yang telah roboh. Pandangannya memusat pada celah galian. Area pertambangan tidak hanya terjadi di lereng pegunungan, tetapi sudah hampir membelah gunung.

Gunung itu diyakini memiliki jiwa. Ia akan permai menghadapi jiwa-raga yang suci, tetapi tidak akan membiarkan niat buruk selamat dari jeratannya. Sejenak suara bapaknya berkelebat dalam ingatan Dul Karim.

Burung gagak itu, masih burung yang sama dengan bulu sehitam sulang, di pesakitan dahan jati yang telah tumbang, berkoak-koak mencari peradilan. Gagak itu tidak lari, hanya bersembunyi dari rupa-rupa manusia dengan raut keruh sempurna. Ia hendak menggugat: sungai-sungai yang telah jadi kota, hutan-hutan yang sering membara, dan tambang-tambangnya bekas nyanyian duka. Lagi, kawanan burung itu menyenandungkan seloka yang tinggal harapan: kini ibu sedang lara, merintih, dan berdoa.

ilustrasi:pxhere.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan