SENI MERACIK TAKDIR

397 kali dibaca

*fragmen catatan perjalanan KKN Kolaboratif Persemakmuran.

***

Advertisements

AROMA SURGA DI PASAR BUKU WILIS

Aku menyukai Malang dengan sepasang mata elangnya; tajam menyiratkan tekad

namun genggamannya bagai musim dingin yang mendamaikan.

Aku pernah memperkenalkan diri sebagai perempuan gila paling antah

yang ditersesatkan takdir di kota Malang.

Diam-diam, menelusuri pasar buku Wilis

barangkali kutemukan kewarasan di stan buku beraroma surga yang berdesakan di pinggir jalan.

Rasanya begitu surga.

bukankah buku adalah rahasia surga yang sengaja Tuhan tinggalkan di bumi?

aku berupaya mencari lebih banyak kata

setidaknya bukan untukku-

tapi untuk seulas senyum di sudut bibirmu.

 

BUKIT BINTANG ADALAH NASIB

Selepas mengabsen sederet kegiatan pengabdian, kita sibuk menghibur diri

beramai-ramai, Bukit Bintang jadi tujuan

melipat jarak saat lampu-lampu kota mulai meninggi.

Aku sepakat, bukit Bintang adalah nasib

di sana, rencana-rencana disusun seperti takdir yang kita rancang sendiri.

Aku terlalu khawatir saat kita duduk melingkar

ada penyusup yang diam-diam membakar dinding pembatas pada masing-masing kita.

Tapi kukira itu benar; bahwa bukit Bintang adalah nasib

yang nakal

membuat kita kacau menentukan menu camilan.

Ketika dingin mulai beringas menyapa

senyum kita berpelukan tanpa permisi.

Kita larut dalam permainan.

Aku menghindari penghakiman,

dengan menunjuk secara asal wujud kebaikan Tuhan yang lain

demi rasa penasaran manusia; acapkali enggan puas dengan sekadar mengira-ngira.

tapi diam-diam, manik mataku menyepakati bentuk lain.

Bukit Bintang adalah nasib.

Aku menemukan apa yang orang lain tidak temukan-

di sana

ada pintu surga. Dari celah tatapnya, kuharap ia pelukan

-yang mendamaikan.

GIGIL KENANGAN SEPASANG LENGANS MERANGKUL INGATAN

Tepat di jantung kota Batu, aku berusaha melepas separuh diriku

meninggalkannya di sana bersama keraguan yang mencekik malam.

Taman kota memang selalu lebih mampu mengartikan pelukan pertemuan

dan aku menemukan tatap dengan lebih

banyak penafsiran.

Sementara pikiran kita sibuk menebak-nebak takdir dengan pongah, padahal nasib manusia

bukan milik manusia.

Orang lain sibuk berbicara, tapi senyum mereka mengatakan lebih banyak kata

anak-anak berlarian penuh cita, berkejaran dengan usia sebelum mereka benar-benar dewasa.

Tapi aku sibuk membisu,

semesta, boleh kuminta pahat kenangan ini sebagai sebuah paling yang saling?

tapi aku tetap diam, meski pikiranku terlalu banyak menyampaikan sesuatu

sisanya-

rapalan doa-doa.

Riuh taman kota Batu mulai sepi. Gigil kian meresapi kenangan bagai sepasang lengan merangkul ingatan.

 

DI ATAS MINIBUS

Minibus membawa lari seabrek kemungkinan dengan ugal-ugalan

pak sopir hanya tersenyum; enggan menyulut api di dada masing-masing penumpang yang tampak mulai mual.

Aku kehilangan arah dan lupa kiblat tujuan

menyadari bahwa membelakangi hadap untuk menghadap belakang.

yang kuingat adalah bahwa Dau akan menjadi tempatku tinggal

Sungguh atau singgah

Tak ada yang tau

Atau berhak sok tau.

Sepanjang jalan menuju Tegalweru, orang-orang sibuk menghiburku untuk lebih tabah

merasakan pening teramat menyiksa

Aku tau tak akan ada yang mampu kulakukan kecuali bus berhenti di tempat tujuan dan aku turun mengakhiri penderitaan

Sesak dan berhimpit jadi alasan

ingatan para penumpang tumpang tindih dan saling senggol.

Di minibus, masing-masing memangku budaya adat dengan erat. Saling toleh untuk melepar senyum;  bersalaman.

Budaya-budaya berbeda itu bisa saling berpelukan. Tak perlu disembunyikan.

Jalan kian menanjak, sementara keinginan untuk sampai kian tidak berjarak.

Celoteh-celoteh mulai kehabisan amunisi, menit jadi terasa semakin lambat, saling lirik, sisanya penumpang memilih memejamkan mata

; menjenguk kampung halamannya dalam mimpi.

 

TEGALWERU DAN SENI MERACIK TAKDIR

Tegalweru adalah pecahan surga yang kutemukan di bawah langit Malang.

Ia dataran tinggi-

yang dari sana, aku dapat melihat hamparan harapan manusia memanjang dari ingatan sampai tangan-tangannya.

Mereka menanam jeruk

-sebagai komoditas utama di tanah surga.

Tangan mereka lentik dan cekatan

apapun bisa tumbuh subur.

Tapi jeruk adalah takdir yang mereka racik sendiri

kukira, Tuhan menyepakati

kemudian malaikat mencacakkan tugu desa

dengan jeruk di bagian teratas.

-bagian paling tinggi dari takdir manusia

adalah hasil upaya keras mereka sendiri.

***

ilustrasi foto: liputan6.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan