Semarak Dunia Santri Digital

991 kali dibaca

Situs web www.duniasantri.co menjadi situs berita yang ditulis oleh para santri, alumni pesantren, dan orang-orang yang memang bergiat di dunia pesantren. Sebagai alumni santri Fathul Hidayah Karanganyar, saya menemukan wadah mengekspresikan kreaktivitas menulis secara daring. Sebelumnya, saya bergelut di organisasi pers tingkat kampus dan kerap menjadi pengisi kegiatan literasi di berbagai kegiatan formal maupun nonformal.

Ada relasi kuat antara santri dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat yang disimbolkan dengan keberadaan pondok pesantren. Wahana media daring ahlussunah wal jamaah terpantau aktif bersaing dengan website Islam konservatif atau fundamentalis yang mencoba merongrong dasar negara dan kebudayaan bangsa.

Advertisements

Kemunculan website moderat seperti duniasantti.co, islami.co, gusdurian.net, alif.id, hingga induk NU Online menjadi penenang masyarakat akan ketakutan penggusuran ideologi khilafah yang mulai dikampanyekan di media daring. Tentu ada harapan santri berkontribusi melawan narasi takfirisme yang menyasar generasi muslim milenial dengan simbol-simbol Islam seperti tauhid, hijrah, hingga kembali pada Al-Quran dan Sunah.

Meski bukan satu-satunya metode membendung arus Islam fundamentalis, setidaknya duniasantri.co mampu menjadi wadah santri mengeluarkan kreaktivitas literasi. Bukan hanya menjadi khasanah keilmuan untuk masyarakat luas, namun juga bisa menjadi sarana mendapatkan penghasilan tambahan dari menulis.

Patut dimaklumi, pengalaman saya menekuni dunia kepenulisan hampir empat tahun di koran-koran nasional hingga menerbitkan beberapa buku, tidak bisa dijadikan mata pencaharian utama. Menulis kurang mendapatkan ruang secara komersial ketika minat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Namun setidaknya penulis diingatkan dengan kutipan legenda Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Ketika mengamati perkembangan website duniasantri.co, saya melihat banyak penulis muda dan pemula yang cukup berkualitas menyusun artikel. Dalam hal ini, duniasantri.co menjadi wadah eksperimental santri belajar berliterasi. Mengembangkan minat baca dan melatih gaya menulis yang menarik.

Ketika ada pandangan miring mengenai kualitas akademik santri dibandingkan yang menempuh pendidikan formal, duniasantri.co membuka mata dunia bahwa santri juga punya kualitas menulis, bersastra, dan menyampaikan sudut pandang unik melihat realitas kehidupan beragama dan bernegara. Ini mengingatkan peran santri dalam proses kemerdekaan hingga menjadi benteng NKRI hingga saat ini.

Meskipun pondok pesantren punya dua jenis pembelajaran (klasik dan modern), namun santri memiliki tujuan yang selaras menganai konsep kebangsaan dan sikap moderasi beragama. Santri adalah potensi negara dilihat dari sudut pandang akademis, sosial, dan politik. Bahkan banyak politikus yang aktif menghibahkan diri di lingkungan pondok pesantren agar bisa mengantongi banyak suara di pemilu.

Menyambut HARLAH (Hari Lahir) duniasantri yang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, saya punya banyak harapan mengenai peran media dalam memajukan pondok pesantren dan ulama nonpopuler untuk dimunculkan di dunia maya. Saya yakin banyak santri yang sepakat bahwa di Indonesia punya banyak “Gus Baha” yang belum muncul di media.

Selanjutnya adalah strategi membangkitkan gairah berlitarasi di ponpes-ponpes daerah yang masih tertinggal dalam mengikuti perkembangan teknologi digital. Untuk itu, duniasantri harus bisa berafiliasi secara sosial keagamaan membantu dan berperan dalam kemajuan pondok pesantren, utamanya pondok pesantren klasikal. Namun perlu kolaborasi yang solid ditunjang dengan kekuatan modal yang stabil untuk mengadakan pelatihan atau seminar secara daring maupun luring.

Apa pun itu, sejauh ini duniasantri telah mampu menjadi wadah yang konsisten bertahan di tengah arus deras informasi digital yang banyak dibanjiri informasi SARA, clickbait, hoaks, pornografi, dan radikalisme. Tinggal menunggu momentum kemunculan santri-santri potensial yang dapat dilihat dari cara pandang dalam menulis dan mengungkap problematika nasional.

Santri harus punya motivasi “memamerkan” kualitas keilmuan agar tidak terdistorsi narasi-narasi radikalisme dan terorisme yang mengancam generasi milenial. Setidaknya sejauh ini, kajian pondok pesantren mampu meredam segala bentuk argumentasi radikalisme, terorisme, intoleran, hingga konsep khilafah Islamiyah.

Selanjutnya, tinggal bagaimana organisasi, komunitas, dan wadah-wadah lain ahlussunah wal jamaah memfasilitasi santri potensial diidolai masyarakat luas seperti kemunculan ulama Gus Baha, Gus Miftah, Gus Muwafiq, Gus Nadir, dan lain sebagainya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan