“Selfie” Santri Tempo Dulu…

3,304 kali dibaca

Bertemu secara sengaja atau tidak dengan teman-teman alumni pondok setelah bertahun-tahun tidak bersua, merupakan suatu hal yang fantastis, spektakuler, dan sangat menggembirakan (excited). Karena, bersama teman-teman “seperjuangan” inilah kami bisa mengenang kembali masa-masa sulit saat di pondok dalam hampir semua hal, mulai dari yang sangat urgen sampai tetek bengek tentang pahit manis kehidupan di pondok.

Cerita-cerita masa lalu dengan sendirinya akan mengalir deras dari mulut-mulut kami diiringi suara tawa yang membahana. Apalagi mengenang hal-hal yang bersifat jenaka dan juga memalukan.

Advertisements

Beberapa hari lalu dalam sebuah momen, penulis bertemu dengan dua orang teman akrab dan bahkan sekamar bernama Zahrah Tamamah dan Fatiya. Layaknya orang-orang yang hidup di zaman digital saat ini, secara refleks kami pun berfoto-foto ria dengan gaya anak-anak muda atau remaja seperti dahulu kala.  

Cekrek, cekrek, cekrek! Masing-masing dari kami memegang kamera handphone sendiri-sendiri lalu berfoto-foto selfie dan narsis pun berjalan dengan mulus, tanpa kendala apa pun. Berbagai macam gaya yang eksentrik dan pose yang njelimet dari berbagai angle pun kami lakukan sesuai dengan selera kami masing-masing. Seolah mengqada masa lalu yang jarang sekali kami melakukannya.

Berbekal kamera smartphone, kami bertiga mengabadikan foto-foto selfie dan narsis kami itu dengan sebanyak-banyaknya dan sepuasnya tanpa merasa takut kehilangan biaya maupun berbayar seperti yang dahulu kami alami. Foto-foto yang sekiranya tidak sesuai selera, kami delete dengan seenaknya. Atau kami edit sendiri layaknya kameraman, sehingga menjadi lebih kelihatan glowing dan hasil foto lebih cerah dan bagus seperti di studio cetak foto tahun 1990-an akhir sampai tahun 2000-an awal. Atau lebih tepatnya saat kami berseragam putih dongker sampai putih abu-abu (MTs-MA) di Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep.

Setelah kami bertiga puas dengan ber-foto-foto selfie dan narsistik, kami pun teringat saat masa–masa dahulu, di kala kami masih remaja dan mengalami masa-masa pubertas, kerap bersemangat sekali untuk mengabadikan wajah-wajah polos kami pada suatu momen penting seperti ulang tahun, acara khitobah, atau hanya just for fun belaka.  “Santri juga mengalami pubertas,” itu kalimat yang muncul dari mulut kami saat mengenang hal itu, lalu diiringi tawa menggelegar.

Kala waktu mondok dulu, saat kami ingin berfoto, kami harus menyewa kamera atau dulu disebut dengan “Kodak”. (Meski  istilah Kodak itu sendiri adalah nama merek sebuah kamera produksi sebuah perusahaan Amerika Serikat, yang kabarnya saat ini mengalami penurunan penjualan karena ketatnya persaingan kamera digital). Atau kami para santri pun kerap mendatangkan kameraman dari studio foto untuk keperluan itu.

Selain itu jika memungkinkan, kami biasanya berembuk bersama teman-teman santri putri yang lain, baik teman-teman sekamar ataupun lintas kamar untuk memohon izin kepada pengurus pondok atau kepada pengasuh untuk pergi ke studio foto, dengan alasan mau mengambil foto atau pemotretan untuk keperluan ijazah, kartu pondok/santri, hingga kartu perpustakaan dan alasan-alasan lainnya.

Jika tidak mendapat izin, maka kami biasanya nitip kepada santri putra atau sopir taksi untuk membelikan roll film. Namun jika mendapat izin, kami pun bersama-sama dengan didampingi pengurus pondok, berangkat naik taksi untuk mendatangi studio foto. Waktu itu, studio foto yang bagus hanya ada di daerah Prenduan, dekat Pondok Pesantren Al-Amin. Dan ada juga di tengah-tengah kota Sumenep, nama studionya KONICA Film/ Fuji Film dan Shinta Carolina Film, dengan studio yang cukup besar dan fasilitas lengkap yang tentunya jauh lebih mahal.

Kami juga mengumpulkan paling sedikitnya sepuluh orang teman untuk join dan ambil bagian dalam pemotretan atau pengambilan foto. Karena biasanya pihak studio tidak mau menyewakan kameranya atau mendatangi kami jika pesertanya kurang dari 10 orang. Alasannya rugi transportasi.

Waktu itu, tidak ada yang namanya foto selfie atau narsisme seperti sekarang. Biasanya pihak studiolah yang melakukan shoot untuk pemotretan atau pengambilan gambar kami. Kami juga tidak bisa seenaknya bebas berpose, karena pihak studio yang mengatur semuanya. Mulai dari posisi badan, kepala, tangan, kaki, hingga tatapan mata yang diatur sedemikian rupa. Sehingga tidak heran jika hasil foto-foto jadul (jaman dulu) atau zaman old, jarang tersenyum apalagi tertawa, karena dianggap tidak sopan. Di tambah rasa sedikit kesal karena posisi kami yang kadang serba salah di mata kameraman dan tidak kunjung dipotret.

Mengingat hal itu, kami bertiga pun auto tertawa sampai mengeluarkan air mata saat dulu kami harus urunan untuk membeli satu roll film yang dulu kalau tidak salah bisa dipakai untuk kurang lebih foto 35 kali. Kalau kamera girl-nya canggih, kami bisa mendapatkan foto-foto yang lumayan keren dan cerah tanpa zonk. Meminjam sana-sini kostum dan wardrobe juga merupakan drama yang cukup complicated. Dari satu kamar ke kamar santri yang lain kami lakukan demi mendapatkan pinjaman sepatu, topi, bandana payung cantik dan lain sebagainya demi menunjang penampilan kami saat pemotretan. Alamak!

Pihak pondok sebenarnya memperbolehkan dan sah-sah saja santri melakukan foto-foto dan menyetak foto, dengan catatan santri tidak boleh membuka aurat, tidak boleh berpakaian mini dan ketat (press body) ataupun memakai make up berlebihan. Hal itu mengajarkan kami, lebih-lebih pada saat ini dimana media sosial berkembang pesat, agar dalam meng-upload foto hendaknya tetap sopan dan tidak mengumbar aurat serta memamerkan perhiasan secara berlebihan.

Setelah jadi, foto-foto tersebut lalu kami simpan di album foto atau dimasukkan ke dalam pigura atau bingkai foto lalu dikaitkan di paku yang tertancap di dinding-dinding kamar pondok atau dibawa pulang ke rumah saat liburan tiba. Hal itu cukup menciptakan feeling good dan kepuasan tersendiri saat melihat foto-foto kami berjejer rapi. Kami juga saling menukar foto dengan teman-teman santri yang lain sebagai kenang-kenangan.

Pada kenyataanya, kehidupan santri di pondok-pondok pesantren tidak hanya berkutat pada rutinitas kesantrian semata seperti ajian kitab, sorogan, ngasok ngaji Al-Quran, setoran hafalan kitab Alfiyah dan lain sebagainya. Namun kami juga mempunyai sisi-sisi hiburan yang cukup berarti dan menyenangkan seperti salah satunya misalnya acara berfoto-foto ria dengan tetap sopan dan menjaga nilai-nilai kesantrian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan